Kuratorial

Ayo Cat Air, Bangkiiiittt…!

Ada dua peristiwa penting di dalam perjalanan KOLCAI. Keduanya berupa pameran karya seni. Pameran pertama berlangsung di Bandung pada tahun 2013, yang sekaligus merupakan proklamasi atas keberadaan komunitas seni ini. Yang kedua adalah pameran ini yang tengah berlangsung di penghujung tahun 2021.

Terdapat banyak kesamaan dengan sedikit perbedaan pada keduanya. Pameran di Bandung bertempat di Galeri Sarasvati terkesan sederhana dengan semangat tinggi dari para pelukis. Tema pameran “Heritage” rupanya membangkitkan gairah mereka. Begitu banyak lukisan bagus merujuk pada tema tersebut yang gampang berasosiasi dengan bangunan peninggalan masa lalu serta berbagai artefak kebudayaan maupun bermacam piranti yang masih terus mengikuti zaman. Di samping itu juga terkait dengan warisan tak-benda berupa serangkum nilai-nilai yang membangun kosmologi berbagai suku dan kelompok masyarakat. Sebagian di antaranya bisa kita kenali dalam wujud laku budaya, upacara, dan berbagai tradisi, yang terus dirawat melewati berbagai masa. Praktis semua sisi heritagemuncul dalam tafsir dan gaya ungkap masing-masing.

Harus diakui, dengan difasilitasi oleh Galeri Nasional Indonesia, pameran kali ini menemukan posisi tersendiri. Baik dari skala maupun asal peserta terkesan jauh lebih besar mengingat KOLCAI membuka diri bagi pelukis dari berbagai negeri untuk mengirimkan karya. Ini langkah penting di dalam menapaki tahap delapan tahun usianya. Kalau pameran perdana boleh berfungsi sebagai salam pembuka kepada khalayak luas di negeri sendiri maupun di kalangan peseni, pameran kali ini ibarat kartu nama untuk memasuki pergaulan antarbangsa. Keduanya penting dan bermakna.

Di luar berbagai perbedaan tersebut, kedua pameran sama-sama menunjukkan keragaman dalam gagasan, cara pandang, dan siasat untuk mengeksekusinya. Yang tidak kalah penting, sedikit banyak KOLCAI telah menyajikan semacam peta gambaran tentang fenomena lukisan cat air yang digeluti oleh para pelukis Indonesia masa kini. Di samping karya-karya warga KOLCAI, pagelaran seni ini memang menampilkan lukisan hasil seleksi dari proses open-call yang boleh diikuti siapapun. Itu masih ditambah dengan karya undangan yang umumnya adalah para seniman cat air senior, yang sekilas memperlihatkan pencapaian umumnya seni lukis cat air di Indonesia.

Pada kenyataannya, komunitas seni ini memang telah tumbuh begitu besar, jauh melampaui dari apa yang bisa dibayangkan pada masa awal. Menurut seorang aktivisnya, Wawan Weizz, jumlah pengikut KOLCAI di Facebook-nya mencapai 34.000 orang, terbagi di dalam 26 chapter seturut tempat bermukim. Sungguh menarik untuk mengenali bahwa banyak dari mereka itu tinggal di berbagai kota atau daerah yang secara tradisional bukan lahan subur seni rupa seperti Situbondo di Jawa Timur, Batam, Ternate, dan Gorontalo.

Melihat jumlah anggota yang fantastis itu, masuk akal kalau ada yang menganggap KOLCAI adalah komunitas seni yang terbesar, terus aktif, dan masih terus menyedot minat warga baru untuk bergabung. Apa yang segera terlintas melihat kenyataan ini? Jawaban yang spontan adalah, itu potensi berkehidupan seni rupa yang sangat besar, yang sedang bersemi sampai ke berbagai sudut nusantara.

Seandainya hanya lima persen saja dari jumlah tersebut yang kelak tumbuh menjadi seniman tangguh, angkanya sudah lebih daripada 1.000. Itu saja jumlah yang sungguh besar untuk manusia peseni yang mau menekuni dunianya. Bayangkan mereka aktif berkarya dan mampu membangun jaringan pribadi dengan berbagai lembaga kebudayaan, bahkan melakukan penetrasi pasar di dalam dan luar negeri. Sebanyak 95 persen lainnya mungkin cukup puas dengan menjadi semacam “sunday painter”, atau penghobi melukis, atau bahkan sekadar penyuka lukisan cat air. Mereka akan berkembang sebagai khalayak terdidik yang dengan sendirinya ikut meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap dunia seni, utamanya seni rupa cat air.

Dengan program edukasi dan peningkatan literasi seni yang berkelanjutan, kita akan memiliki masyarakat yang jauh lebih sadar akan nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik seni cat air. Tidak lagi ada kolektor yang menganggap lukisan cat air hanyalah nomor kesekian sesudah cat minyak atau akrilik, misalnya. Masyarakat pencinta seni pun tidak lagi “tuna acuan” seperti dikatakan oleh kritikus terkemuka Sanento Yuliman.

Sedangkan sebaran domisili anggota KOLCAI yang begitu luas, lebih menjamin itu semua tidak hanya terjadi di kota tertentu di Jawa atau Bali saja, tetapi lebih merata bahkan sampai ke pulau kecil atau daerah di ujung perbatasan. Pada akhirnya kita akan menemukan masyarakat yang lebih apresiatif dan medan seni rupa yang lebih sehat. Tentu saja syarat-syarat yang lain juga harus dipenuhi agar ekosistem kehidupan seni rupa cat air tumbuh sehat dan bermanfaat. Sebutlah syarat itu misalnya berfungsinya kritik seni dan hadirnya media massa yang bersimpati, pasar karya seni yang menjamin keekonomian bagi semua pihak, lembaga pendidikan, dan balai seni serta galeri dan ruang ekshibisi yang baik.

Patut diingat bahwa yang terpapar di muka baru semacam potensi, yang boleh dibaca sebagai harapan. Itu bukan khayalan yang membuat orang mabuk. Sebaliknya, itulah harapan yang punya daya untuk menggerakkan orang berjuang demi mencapai sesuatu yang lebih baik.

Bukan kebetulan kalau pameran seni rupa ini secara tematis juga bersandar pada sesuatu harapan, sesuatu cita-cita, atau nilai-nilai yang diagungkan. Tajuk pameran adalah “Awaken”, sebuah istilah yang dipakai untuk menggambarkan situasi kejiwaan untuk bisa bangkit. Bangkit dari apa? Bolehlah itu berupa bangkit dari keterpurukan, bangkit dari pemahaman yang keliru, bangkit dari kebiasaan yang melumpuhkan, bangkit dengan cara pandang yang baru, dan seterusnya.

Dalam konteks pameran ini, kepadanya ditambahkan unsur media lukis yang mereka geluti sehari-hari, yaitu cat air. Karakter cat air yang hanya satu kali gores, transparan, menolak untuk ditumpuk dengan lapisan berikut, mengisyaratkan semacam nilai kejujuran. Air sebagai elemen dasar media artistik ini juga mencerminkan sifat utamanya yang selalu merendah dengan mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan luwes dengan selalu selaras mengikuti bentuk apapun yang dilewati. Secara singkat bisa dikatakan bahwa niat pameran ini adalah menggugah semangat dan kemampuan untuk bangkit, berjuang tanpa mengandalkan kekerasan, namun tetap jujur dan rendah hati.

Dengan menyandang semangat kebangkitan seperti itulah sebanyak 161 lukisan cat air hadir ke hadapan khalayak. Warga KOLCAI menampilkan 19 lukisan mewakili chaptermasing-masing (ada tujuhchapter yang tidak ikut berpameran). Mereka semua adalah para penggiat cat air yang sekaligus sibuk mengurus berbagai program kegiatan. Satu di antaranya yang selalu menjadi daya tarik di berbagai komunitas seni rupa tentulah melakukan plein air, melukis di luar ruang, yang populer sejak masa awal impresionisme Prancis di abad ke-19.

Sebagian besar karya-karya warga KOLCAI ini memikat sejak tampilan visualnya. Coba tengok “Spirit” garapan Lukman Gimen dengan berbagai pondasi yang coba ditopang di tengah lika-likunya masa sulit pandemi. Atau ciptaan Harry Suryo bertajuk “Where is Rudy?” mengusung sepasang sepatu boot yang tampak lecek dalam perjalanan jauh. “Semesta Berkasih” karya Jeffri Gunawan yang bertutur tentang kasih sayang lewat hanya dua telapak tangan dari dua generasi. Atau lukisan Widyanto Gunawan dengan satu sosok manusia di sebuah sudut menunggu uluran tangan penuh bunga (perlambang kasih?) dalam judul “Take Me Out”.

Itu hanya sekelumit contoh mengingat masih banyak yang lain. Pertanyaan yang segera muncul tentu saja adalah, apalagi yang bisa diharapkan pemirsa sesudah terpikat secara mata? Karya Yus R. Arwadinata boleh mewakili untuk menjawab dengan telak: tawaran untuk merenungkan nilai di sebalik gambar. Ia melukiskan dua anak yang asyik dengan gadget, dan di sekeliling bangku tempat mereka duduk ada hamparan mega. Sesudah unsur visual, judulnya “Bergerak Menembus Langit” ikut menantang berbagai tafsir sejak generasi baru yang akrab dengan teknologi sampai bius modernitas yang memabukkan. Itu issuemasa kini yang muncul dengan provokatif.

Dari kelompok karya hasil seleksiopen call, tidak sedikit pula yang atraktif dari tampilan atau kandungan maknanya yang dijanjikan, atau sekaligus keduanya. Di situ ada Kinkin, Santosa Suryatenggara, I Komang Gede Cahya Anggara, I Nyoman Wijaya, Arief Setiawan, dan Dewa Agung Mandala Utama dengan pendekatan cenderung realistik yang apik. Ada Yendrawan Husada yang berhitung dengan cahaya. Ada juga Ngurah Darma dengan gaya blobor yang terkontrol. Abdul Basith PSP mengaburkan sosok dengan permainan warna, atau Eddy Dewa yang cenderung abstrak, dan Umi Haksami yang makin berteguh di jalan abstrak. “Topeng, Masker dan Kita” karya Hadiyanto mengundang diskusi tentang eksistensi warisan tradisi dan masalah kekinian lewat penari topeng yang mengenakan masker medis akibat pandemi Covid-19.

Tentang karya para senior yang memang unggul tidak perlu banyak diceritakan. Tidak ada yang akan mempertanyakan mutu lukisan Agus Budiyanto, Moelyoto, Galuh Tajimalela, Jae Fahru, atau Nanang Widjaya. Tak ada yang meragukan ketokohan Kartika Affandi atau Djaja Tjandra Kirana. Tentu ruangan ini tidak cukup untuk menuliskan semua nama.

Menonton pameran ini Anda boleh berharap bisa menikmati tamasya visual yang begitu beraneka, apalagi kalau ditambah dengan penampilan sejumlah lukisan dari berbagai negara. Sejumlah karya tampak menggiurkan. Perhatikan lukisan potret ciptaan Nader Mohazabnia dari Iran, atau lukisan perahu garapan Sukit Sukrakan dari Thailand, atau karya Nereida Lima asal Honduras yang menyajikan pemandangan bungkus-bungkus cokelat. Itu hanya segelintir dari deretan panjang karya seniman asal 21 negara yang berpartisipasi kali ini.

Siapapun warga KOLCAI yang tekun dan terbuka mengasah diri, punya peluang yang sama untuk berjajar dengan para jawara tersebut. Itu harapan, bukan khayalan. Jadi? Ayo bangkit…!

 

Efix Mulyadi

Kurator

*Efix Mulyadi adalah wartawan, kurator Bentara Budaya, kurator IWS Indonesia