Awalnya dianggap seorang pemberontak yang menentang the poser of Power, kapitalisme, ketidakadilan, fanatisme agama, namun karya2 Arahmaiani sesungguhnya dipicu oleh kesadaran dan keinginan akan kemanusiaan, kedamaian, hubungan egaliter, kebhinekaan, pluralisme. Kemudian Arahmaiani menemukan bahwa prinsip prinsip tersebut sesungguhnya berakar pada era Borobudur di Indonesia. Keyakinan dan harapan Arahmaiani akan kemanusiaan dan perdamaian memica ratusan karya lukisan, instalasi, drawing, music, puisi dan terutama dengan praktek performance yang ia lakukan secara individual maupun dengan berbagai komunitas.
Menarik bahwa selama 10 tahun projek komunitas di Tibet, ia jadi tahu bahwa pengertian serupa masih hidup di Tibet, dimana masyarakatnya mengapresiasi sebagai pusaka penting hal mana menandakan hubungan kultural yang ada sajak seorang biarawan India membawa ajaran ajaran dari masa Borobudur itu ke Tibet bernama Atisha Dipankara Srijnana dan biasa dipanggil Jowo Atisha atau Lhama Atisha.
Pada mulanya, di tahun 1980an, performance Arahmaian yang pertama terjadi sebagai protes terhadap meningkatnya kecelakan di jalan utama di Bandung. Ia membungkus tiang lampu dengan kain verban yang diberi bercak2 merah sebagai metafora untuk darah. Lalu ia berhentikan lalu lintas dan membagikan flyer yang memuat detail jumlah dan jenis kecelakaan. Karya lain yang membuat ia dihukum dan bahkan diberhentikan dari sekolah di ITB adalah karya performance di jalan lainya. Yang dibuat pada saat perayaan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1983. Karya “Tanpa Judul” ini adalah ungkapan tentang makna kemerdekaan yang masih harus dipertanyakan. Ia membuat puisi dan gambar peralatan dan senjayta kekerasan dengan kapur di jalan aspal.
Sejak itu Arahmaiani menjadi pejuang untuk keadilan dan kemanusiaan, menentang kekuatanrepresif, jender dan fanatisme agama .
Dengan segala cara Arahmaiani berupaya untuk menunjukan wajah kemanusiaan agama Pada karya Stitching the Wounds, Arahmaiani membuat instalasi huruf Arab Melayu/Pegon dengan teknik bantal berukuran besar. Yang kemudian dikembangkan menjadi karya “I Love You” kalimat yang ditulis dengan huruf Arab Pegon/Melayu/Jawi
Dari ratusan karya yang ia pernah ciptakan, adalah dua karya yang menonjol dan sampai sekarang diperbincangkan dunia. Yaitu karya Karya Lingga Yoni dari 1994, yang mengandung aksara Arab Melayu dan Sanskerta, yang secara symbolis dan filosofis ingin memberi aksen pada bentuk phallus dan vagina sebagai entitas sakral yang tak terpisahkan. Karya ini disalah tafsirkan hanya sebagai ungkapan aktivis-feminis belaka, padahal karyanya berbicara lebih jauh sepertu tulisan aksara Arab Melayu-nya yang bermakna ‘Alam Adalah Buku’. Namun kini karya itu di akui sebagai hal yang menjelaskan hal yang hakiki tentang prinsip keseimbangan atau dinamika hubungan kekuatan yang berlawanan di alam yang harus dipahami secara bijak demi untuk mewujudkan kebersamaan dan perdamaian.
Karya kedua yang sampai kini masih berkembang adalah Proyek Bendera (Flag Project) yang merupakan performance berbasis komunitas, yang di ciptakan sebagai metoda dialog untuk membangun dan memberdayakan komunitas, dan mengeksplorasi kreativitas untuk menemukan solusi alternatif dari masalah2 yang dihadapi komunitas. Seperti contohnya; Kerja dengan komunitas Muslim Jawa salah satu fokusnya adalah memahami kembali fungsi dan makna dari aksara Jawi dalam konteks budaya lokal yang bersifat sinkretis. Juga fungsi sisial politiknya. Dimulai dengan satu bendera yang di desain dan ditulis dengan huruf Arab Pegon/Jawi dengan kata kunci:‘Akal’ yang merupakan kata dalam bahasa Indonesia dan berasal dari bahasa Arab. Proyek berbasis komunitas lokal ini merupakan proyek jangka panjang dan masih berlangsung di berbagai tempat dan Negara. Mengangkat isu isu yang aktual pada masing masing komunitas. Karya ini juga membawa pesan dan kritik atas kapitalisme & budaya konsumerisme, yang di simbolkan dengan nama nama korporasi multinasional seperti dan Coca Cola. Proyek ini melebar ke Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Jepang, China, dan bahkan Eropa & Canada. Memahami dan merespon isu isu setempat yang bisa berbeda selain tentunya juga memahami dan menanggapi isu-isu gobal yang sama.
Yang sangat unik adalah juga proyek kolaborasi dengan biarawan Buddhis di Tibet, dimana Arahmaiani selama 10 tahun dengan sukses melakukan upaya upaya dengan masyarakat setempat (di wilayah Khamp) untuk mengurangi kerusakan ekologi di Plateau Tibet. Yaang merupakan wilayah penting dan dikenal sebagai “Tower Air Asia” serta “Kutub Ketiga”. Berkat interaksinya dengan para bhiksu Tibet, ia kemudian memahami bahwa banyak prinsip prinsip mengenai humanisme, kesetaraan dsbnya yang ia yakini selama ini, ternyata ada di dalam budaya dan ajaran keyakinan di Tibet, sebagai pusaka yang hidup dan berkaitan dengan budaya yang berakar di era Borobudur. Shadow of the Past , sebuah video yang mengetengahkan isu isu kultural dan syncretisme, keterkaitan manusia dengan alam dan tempat perempuan pada tradisi keagamaaan dan spiritual.
Karya Shadows of the Past mengeksplorasi bebgai isu budaya yang bersifat synkretik serta koneksi manusia dengan alam, serta prinsip feminisme pada tradisi2 keagamaan dan pada kehidupan spiritual pada umumnya.
Sampai sekarang Arahmaiani masih aktif dengan komunitas di berbagai tempat, sambil juga mengshare pengalaman dan pengetahuan sebagai dosen di perguruan tinggi di Universitas Passau, Jerman.
Sejak 1980, Arahmaiani telah ikut dalam lebih dari seratus pameran solo dan berkelompok di dunia seni kontemporer internasional. Karyanya telah di tampilkan dan dipamerkan baik di berbagai museum dan biennale:
Venice Biennale (2003); Biennale of the Moving Image, Geneva (2003); Gwangju Biennale (2002); Bienal de São Paulo (2002); Performance Biennale, Israel (2001); Biennale de Lyon (2000); Werkleitz Biennale (2000); Bienal de la Habana (1997); Asia-Pacific Triennial, Brisbane, Australia (1996); and the Yogya Biennial (1994), Kunming Biennale (2016), Biennale Yinchuan (2018), Biennale Macau (2020)
“After Hope: Video Resistance” Asian Art Museum, San Fransisco-USA (2020), “Solidarity As A Means of Action” Haifa Museum, Israel (2019), “Flag Project” SMAK Museum of Contemporary Art, Ghent-Belgium (2017), ”In & Out” Asia Society Museum, New York-USA (2016), “Suspended History” Van Loon Museum, Amsterdam-Holland (2013) Global Feminism, Brooklyn Museum (2007)
Pameran Tunggal:
Politics of Disaster: Gender, Environment &Religion” PAV (Parte Arte Vivente) Turin-Italy (2020), “The Past Has Not Passed” MACAN: Contemporary & Modern Art Museum, Jakarta (2018), “Shadow of The Past” Tyler Rollins Gallery, New York-USA (2016), “Violence No More” Haus Am Dom, Frankfurt-Jerman (2015), ”Stitching The Wound” Jim Thompson Art Center, Bangkok-Thailand (2006)
In New York City, she was included in the landmark 1996 exhibition, Traditions/Tensions, di Asia Society, dan di pameran Global Feminisms, Brooklyn Museum ( 2007). Selebihnya karya performance dan karya lainnya telah di pamerkan di Amerika, Kanada, Jerman, Belanda, Jepang, Singapura, Australia, dan tentunya di Indonesia.
/CB-Arahmaiani June 20
2013
Karya seni performance dan foto yang dipamerkan di Museum Van Loon di Belanda
2018
Variable dimension
Fabrics
Proyek seni berbasis komunitas yang masih berlangsung hingga saat ini. Ada 4 versi yang sudah dibuat: versi Global, versi Arab Pegon, versi Nusantara & versi Eurasia. Karya ini dikerjakan bersama berbagai komunitas di Indonesia dan diluar negri.
2022
Karya performance partisipatif terbaru ditampilkan di Jakarta
2019
140 x 120 cm
Acrylic on canvas
Lukisan
2016 - 2018
Performance video documentation
Karya seni performance & video yang dibuat di Lasem dan di Tibet
2005 - 2006
Karya seni berbasis komunitas selama 1 tahun di Thailand. Dimana klompok minoritas Muslim berdialog dan beekerja sama dngan kelompok mayoritas Budhis.
2006
Karya instalasi yang lahir di dalam proyek “Stitching the Wound” yang terispirasi oleh huruf Arab Pegon atau Jawi