Pematung terkemuka Dolorosa Sinaga merupakan perupa perempuan yang telah membawa angin baru pada khazanah patung Indonesia. Dengan sebagian besar dari karyanya berupa sosok perempuan, ia telah menerobos tradisi sosial dan ranah seni maskulin sembari menandakan spektrum baru pada seni rupa Indonesia, terkhusus pada dunia patung Indonesia. Ia disebut pamatung terampuh Indonesia di akhir abad keduapuluh. Ia menerima penghargaan Citra Adikarya Budaya (1997),dan Anugerah Seni Budaya (2009) dari Pemerintah Republik Indonesia.
Dolorosa lahir di Sumatera Utara sebagai anak keempat pengusaha Karel Mompang Sinaga dan istrinya Nur Pinta Sihombing. Dia dikenal sebagai pesona dengan kemauan keras, berdisiplin dan pembela kaum terpinggir.
Perjalanan berkesenian Dolorosa Sinaga merupakan perjalanan panjang. Semula mematung bukan pilihannya, alasannya karena menurutnya menjadi pematung haruslah mempunyai daya juang dan kerja keras yang tinggi. Namun menjelang ujian akhir di LPKJ, ia merasakan bahwa ia lebih senang pada waktu bekerja dengan volume, membentuk massa menjadi sebuah ekspresi. Maka sejak itu Dolorosa menekuni studi patung pada Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, kini IKJ), dimana iapun menjadi lulusan pertama, dosen (sampai sekarang) dan menjadi Wakil Dekan (1988-1992) dan Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ (1992-2001) dan Ketua Senat Fakultas Seni Rupa 2008 – 2016.
Ia menempuh studi pasca sarjana seni patung di St. Martin School of Art, London (1980-82), dan mengikuti berbagai pendidikan singkat di luar negeri, belajar tentang proses pengecoran patung perunggu, menggunakan medium ceramic shell untuk membungkus dan membuat cetakan patung dimana cairan logam perunggu akan dituang kedalam cetakan tersebut. Ia juga memperlajari proses dan teknik teknik pewarnaan kimiawi pada logam perunggu di Piero Art Foundry Berkeley; proses cetak manusia hidup di San Fransisco Art Institute; proses membangun foundry di fakultas teknik Maryland University; proses cetak patung dengan medium pasir kaca di Sonoma State Univeristy; dan teknik dan proses pembuatan model patung dalam ukuran skala bagi pembesaran dimensi patungyang diperlukan di Ringling School of Art di Sarasota, Florida, USA. Dolorosa juga mengikuti simposium patung di tambang batu marmer yang tidak lagi berproduksi di Kornarija, Ljubljana, Yugoslavia.
Sebagai pematung perjalanan perintis Dolorosa menerobos tradisi sosial dan ranah seni maskulin lalu tumbuh menjadi pematung terampuh Indonesia di akhir abad keduapuluh.
Keberpihakan pada kaum terpinggirkan, yang tertindas, atau di marjinalkan meliputi seluruh kekaryaan Dolorosa Sinaga. Tubuh perempuan menjadi medium berekspresi dan metafora untuk pengalaman manusia. Lewat tubuh perempuan ia berbicara mengenai kondisi humanity, dengan tubuh perempuan pula ia menegakkan keterpurukan menjadi kebangkitan dan kekuatan yang melawan.
Untuk membuat patung, Dolorosa menggunakan media Perunggu. Alasan menggunakan perunggu yaitu karena perunggu mempunyai kualitas yang dapat memberikan kesan yang memukau dan permukaannya juga mengkilat. Selain itu, di dalam perunggu terdapat karakter seorang wanita dan juga memiliki karakter laki-laki yang cenderung memiliki kekuatan dan ketahanan. Ia senang dengan ketegangan yang secara inheren terdapat dalam perunggu. Mematung merupakan ‘an act of tension’, ia pernah jelaskan mengenai ketegangan emosional dan fisik pada patungnya. Selain perunggu, Dolorosa juga memakai aluminium dengan lapisan resin, yang membuat karyanya lebih ringan dan elegan, terkhusus pada seri perempuan menari.
Pada periode awal kekaryaannya, tragedy dan kesedihan menjadi keprihatinan utama, seperti tertera pada karya Olympa , Tragic Tendency, TheWailings (1994) namun segera disusul dengan karya karya yang sarat dengan semangat menentang kondisi pada masa itu. Patung Resistante (1996) menampakkan figur perempuan dengan satu tangan mengepal dibelakang tubuh, sembari tangan satunya meremas dadanya selagi rasa sakti dan rasa marah menyatu kedalam ekspresi wajahnya.
Karya karya besar Dolorosa antara lain Solidaritas (2000) yang menjadi simbol pergerakan dan menyingkapkan bahwa pergumulannya dengan gejolak ekonomi,sosial politik dan budaya di masa Orde Baru dan Reformasi telah mewarnai konsep dan praktiknya dalam berkesenian.
Tangguh, bersolidaritas dengan kaumnya, karya-karya yang menampakkan kebangkitan dan percaya diri perempuan dapat dilihat terutama pada patung Solidaritas dimana kekuatan dan keyakinan percaya diri perempuan juga terlihat pada ekspresi bentuk kaki yang kuat berdiri menginjak bumi, bergandeng tangan membangun dinding yang tak pernah bisa dirubuhkan oleh kekuasaan, atau pada gestur-gestur tangan seperti pada Lawan Kekerasan (1999), Solidaritas (2001), Avante (2001), We Will Fight (2003). . Secara dahsyat Dolorosa memvisualkan bagaimana proses kesakitan dapat bertransformasi menjadi kekuatan yang mampu membebaskan perempuan dari belenggu kesedihan.
Gestur dan aksen menjadi kekuatan pada beberapa patung, seperti terlihat pada Dance of Solitude (2002), sedangkan lapisan lipatan yang bergelombang memberi aksen dramatis seperti pada The Grief (2002).
Meninjau karya Dolorosa dari waktu ke waktu selama 4 dekade, dapat dicermati bahwa lebih dari 600 patung berbicara mengenai kehidupan manusia dari segala sisi kehidupan., Sungguh luar biasa bahwa diantara 600 patung itu, hanya ada 5 patung figur laki laki, yaitu Soekarno, Multatuli, Wiji Thukul, Dalai Lama, dan Gus Dur. Kelima figur laki-laki itu memiliki kesamaan kesamaan karakter, yakni para pejuang humanis, yang tak pernah menyerah.
Banyak diantara karyanya yang sangat ekspresif mengingatkan pada Kaethe Kolwitz, perupa grafis yang ekspresionis Jerman yang berpihak dan menyuarakan pembelaannya pada pada pekerja miskin dan menderita. Dolo pernah katakan Kaethe Kolwitz memberi saya inspirasi untuk membela dan menegakkan harkat perempuan sebagai pusat dari umat manusia..
I, The Witness (2002) adalah penghormatan Dolo pada Ita Martadinata (1980-1998), salah seorang korban perkosaan massal kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Pada 8 Oktober 1998, Martadinata dibunuh dengan brutal di kamar tidurnya, hanya seminggu sebelum dia bersaksi di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Kasus pembunuhan ini belum terpecahkan sampai sekarang1. “ Aku harus mewujudkan harapan Ita untuk bersaksi kepada dunia”, kata Dolo, dan di tangannya Ita berdiri tegar, bersaksi kepada dunia. Karya ini sangat minimalis nyaris abstrak, tetapi hadir dengan tenaga dan daya gugat yang mengajak kita untuk ikut memikirkan.
Tentu karyanya tidak mencakup hanya perjuangan hidup, tapi juga meliput the joy of life, seperti yang tampak antara lain pada seri tari Pas de Deux (2004), dan kehidupan manusia yang berkasih saying seperti The Lovers (2005).
Beberapa patung juga dibuat di luar negri seperti Gate of Harmony (1987) di Kuala Lumpur Malaysia, Theme for us today: The Crisis (1998) dan At the Border (2004) di Hue, Vietnam, Faith and Illusion (1996) dan Stand in the Queue (2006) di Pievasciata Sculpture Park of Chianti, Itali, dan Monumen Semangat Angkatan 66, di daerah Kuningan, Jakarta, Monumen Sukarno di Aljazair (2020).
Seperti tertera dalam buku berjudul “Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk dan Substasi yang disunting oleh Alexander Supartono dan Sony Karsono pada tahun 2019 Dolorosa mengatakan bahwa karir dirinya sebenarnya adalah perjalanan panjang mewujudkan nilai-nilai demokratis. Baginya keterlibatan seniman dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis menjadi keniscayaan..
CB-Dolo, 25 november 2020
2022
95 x 48 x 74 cm
Fiberglass
2015
40 x 50 x 26 cm
Copper-colored fiberglass
2017
21 x 13 x 45 cm
Aluminium foil, silver-colored fiberglass
2018
24 x 0,7 x 45 cm
Aluminium foil, silver-colored fiberglass
2002
13 x 28 x 38 cm
Perunggu
2016
5 panels, 50 x 50 cm each
Aluminium sticks on wooden panels
2020
28 x 10 x 20 cm
Aluminium foil, silver-colored fiberglass
2018
24 x 0,9 x 49 cm
Aluminium foil, silver-colored fiberglass
2000
110 x 43 x 83 cm
Perunggu
1998
300 x 100 x 475 cm
Batang besi
2020
22 x 0,3 x 35 cm
Aluminium foil, silver-colored fiberglass