Melati Suryodarmo

Melati Suryodarmo

Melati Suryodarmo adalah perempuan perupa Indonesia dengan karya berciri khas performans berdurasi panjang (long durational performance) yang dihadirkan di kancah kontemporer di tanah air dan luar negeri sepanjang masa karirnya sepanjang lebih dari dua puluh tahun.

Ia memperlihatkan leadership dengan keberanian melawan arus dan membawa pengertian baru dari istilah kontemporer: dibawah pimpinannya sebagai direktur artistik pada Jakarta Biennale 2017, ia merujuk pada kekuatan gagasan yang ada pada sejarah seni dan budaya tradisi lokal.dengan mengangkat ‘Jiwa’ menjadi tema biennale, sedangkan ritual para bissu dari budaya Bugis meresmikan pembukaan biennale kontemporer tersebut.

Untuk karya performans terbarunya If We Were XYZ, Melati, dengan bantuan seorang ahli teknologi data dibawah sadar, membuat sebuah laboratorium mimpi (Sleep laboratory) yang membuat penafsiran dengan masukan tradisi Jawa kuno.

Drawing equally upon Javanese mysticism, neuroscience, and Freudian psychology, If We Were XYZ delves into the realm of dreams as they pertain to the slumbering subconscious and the conscious manifestation of desire. This multimedia project was developed from the artist’s 2019 performance of the same title, commissioned as part of Asia Society’s Creative Common Ground initiative. This trio of videos, inspired by Goya’s 1799 etching, The Sleep of Reason Produces Monsters, and incorporating the artist’s REM waves as documented in a sleep laboratory, leads the viewer through the scientific, surreal, and psychological landscape of our dreams as an attempt to understand the impact of the subconscious on our daily activities.

Supported by The Andrew W. Mellon Foundation.

Below: Melati Suryodarmo, If We Were XYZ trailer. Video courtesy of the artist.

Melati Suryodarmo lahir di Surakarta (Solo) dan dibesarkan dalam suasana seni dan multi budaya. Ibunya, Siti Nuryamtinah seorang penari tradisional, ayahnya Suprapto Suryodarmo, sorang penari dan pencetus Joget Amerta, suatu bentuk tari yang ia kembangkan sendiri. Melati dikenalkan dengan teater sejak SMP, dan belara menulis puisi dari Widji Thukul. Melati belajar Taichi dari seorang guru yang mengkombinasikan elemen China dan Jawa. Ia belajar dan mempraktekan vipasanna dan berbagai tehnik meditasi terutama sumarah, suatu bentuk meditasi yang membangun sensitivitas dan sikap nrimo lewat relaksasi tubuh, emosi dan batin.

Melati sarjana jurusan ilmu sosial dan politik, Universitas Padjajaaran, Bandung dan lulusan Hochchule fur Bildende Kunste Braunschweig, Jerman, dmana ia dibimbing oleh Anzu Furukawa, ahli Butoh tersohor sampai tahaun 1997. Ia kemudian menyelesaikan program Master dengan konsep ruang dibawah bimbingan Marina Abramovic yang terkenal sebagai pionir performance sebagai bentuk seni visual.

Tinggal di Jerman selama kurang lebih 20 tahun, karya karya Melati terpengaruh oleh pengalaman hidup antar budaya Barat dan Timur dan banyak juga mendapat mengaruh dari budaya local Indonesia. Maka banyak diantara ratusan kaaryanya bersifat hybrid dan sinkretik dalam penggarapannya. 

Dalam seni perfomans dunia nama Melati dikenal sebagai salah satu penampil besar. Performans artist tersohor dunia Marina Abramovic memasukkan nama Melati ke daftar 10 performance artists yang harus ditonton sebelum mati.

Kekuatannya terletak pada penggalian atas kedalaman persepsi yang sangat personal di mana sebuah tema dilakukan dengan suatu kekuatan fisik yang luar biasa. 

Dalam Exergie-Butter Dance, misalnya, ia menari-nari dengan busana hitam ketat dan high heels merah di atas 24 blok mentega yang meleleh dalam proses, sehingga ia berkali-kali jatuh dan terjungkal.

Baginya, tubuh adalah muatan memori yang terus tumbuh dan memiliki resistensi terhadap lingkungan di mana dia hidup. Sistem yang bergerak dalam tubuh psikologis manusia, mendorongnya untuk terus mencari dan menemukan struktur tingkah laku dan pemikiran baru tentang manusia dan karakter kemanusiaannya. Dia tidak hanya sekadar badan yang memiliki fungsi, namun dia merupakan konstelasi segala percampuran dan perubahan peradaban manusia. 

Menjawab dinamika pola budaya yang berganti-ganti, pada tahun 2019 Melati berekperimen dan membuat suatu laboratorium mimpi (Sleep laboratory) yang dapat menghasilkan informasi dari bawah sadar dan yang menjadi dasar karya perfomans baru. If We Were XYZ. Bekerja sama dengan seorang ahli teknologi, data data dibawah sadar ditafsirkan dengan masukan tradisi Jawa kuno. Telah disajikan di Asia Society Museum New York dan akan dipamerkan dalam Asia Society Triennale di New York mulai bulan Maret 2021. 

Pameran tunggalnya “Why Let the Chicken Run?” di Museum Macan Jakarta 2020 telah membawa 10 karya performans terpilih, termasuk Exergie- butter dance, I Love You, I’m a Ghost in My Own House , dan lain sebagainya.

Karya-karya Melati Suryodarmo telah menjadi bagian dalam berbagai pameran termasuk Re-enacting History: Collective Actions and Everyday Gestures (2017), National Museum of Contemporary Art Korea, Gwacheon, South Korea; SUNSHOWER: Contemporary Art from Southeast Asia 1980s to Now (2017), National Art Centre Tokyo & Mori Art Museum, travelled to Fukuoka Art Museum, Japan; AFTERWORK (2016), Para Site, Hong Kong, travelled to (2017) Ilham Gallery, Kuala Lumpur, Malaysia; East Asia Feminism: FANTasia (2015), Seoul Museum of Art, Seoul, South Korea; 8th Asia Pacific Triennale (2015), Queensland Art Gallery & Gallery of Modern Art, Queensland, Australia; 5th Guangzhou Triennale (2015), Guangzhou, China; The Roving Eye: Contemporary Art from Southeast Asia (2014), Arter, Istanbul, Turkey; Medium at Large (2014), Singapore Art Museum, Singapore; Luminato Festival (2012), Toronto, Canada; Beyond the Self: Contemporary Portraiture from Asia (2011), National Portrait Gallery, Canberra, Australia; Marina Abramović Presents… (2009), Manchester International Festival, Manchester, U.K.; Incheon Women Artists Biennale (2009), Incheon, South Korea; Manifesta 7 (2008), Bolzano, Italy; Wind from the East: Perspectives on Asian Contemporary Art (2007), Kiasma, Helsinki, Finland. 

CB/MS/CB 7, 30 November 2020

Karya

Amnesia

2016 - 2022

5 hrs

Long durational live performance with wooden table and chair, chalk, cotton, sewing machine, metal strings


Manusia hidup dalam rentang waktu yang terbatas. Ia berada di dalam waktunya dan tidak dapat menghindari kenyataan bahwa tubuh-tubuhnya terbekali dan terbebankan sejarah masa lalu dari tempat asalnya, bangsanya, negaranya, sukunya dan juga keluarganya. Tubuh-tubuh yang secara sadar ingin melepaskan keterikatannya dengan masa lalu sejarahnya, akan tertantang untuk menemukan makna sebuah identitas yang telah melekat pada tubuhnya. Ketika masa lalu dipaksakan untuk dilupakan dan dihapus, maka di masa sekarang hadir manusia-manusia yang tak punya pijakan untuk menemukan dirinya sendiri. Sementara sejarah selalu dicatatkan oleh manusia, namun masih ada begitu banyak yang terbengkalai dari peristiwa hubungan manusia dan sesamanya. Lalu, ingatan yang tercecer mencoba untuk merangkai serpihan peristiwa yang pernah dialami. Dalam Amnesia,Melati Suryodarmo, bersama tubuhnya, memasuki ruangan masa lalu, menjahit, menghitung dan mencatat potongan-potongan hitam dan rasa dari tubuh-tubuh lain dari ruang masa lalu yang terhapus, terlupakan dan yang masih tersisa di waktu ini. Amnesia adalah performance berdurasi lima jam, yang menciptakan ruang misteri hubungan manusia dengan sejarah bangsanya dari sisi paling personal, yang mengajak tubuh-tubuh lupa, mengumpulkan serpihan ingatan dan rasa yang berserakan.

EXERGIE – Butter dance

EXERGIE – Butter dance

2000

Performance Art


Exergie – Butter dance is a performance work, which based on the human body’s recipients on its précised life-time, recognizing the danger and survival. Suryodarmo danced on a square block of butter placed in the middle of a black square. Accompanied by drum music, she moved, fell down, and got up again. The action is repeated. Exergie-Butter dance is a long life project, that will be repeated in different time along the change of the age of the artist. The work was performed for the first time in 2000 at the Hebbel Theatre Berlin.

I am a Ghost in My Own House

I am a Ghost in My Own House


If We Were XYZ

If We Were XYZ

2019

Performance Art, Video


Transaction of Hollows

Transaction of Hollows

2016

Performance Art


Dengan menggunakan sebuah busur panah Jawa, Melati melepaskan ratusan anak panah di ruangan yang dibuat khusus, dengan kehadiran para penonton di dalamnya. Panah-panah melesat di udara dan menembus dinding, dan menghasilkan suara yang sangat keras. Melalui karya ini, Melati berfokus pada arah masyarakat kita yang hilang. Membidik sesuatu bisa berarti harfiah dan metaforis — pemanah membidik seperti mata banteng; sedangkan manusia bertujuan meraih tujuan pribadinya. Filosofi panahan Jawa mengajarkan kepada kita bahwa proses itu sama pentingnya dengan hasil, ini adalah hal yang ini disampaikan Melati dalam karya ini. Ia mengusulkan hubungan yang lebih langsung dengan dunia di sekitar kita, menunjukkan bahwa berurusan dengan proses kehidupan harus menjadi filosofi pribadi daripada bertujuan untuk mendapatkan hasil yang dipaksakan secara sosial.

YOUR OTHERNESS - I’VE NEVER BEEN SO EAST

YOUR OTHERNESS - I’VE NEVER BEEN SO EAST

2016

Dance Performance


Saya menemukan diri saya tumbuh dalam konteks pergeseran budaya antara barat dan timur. Tertantang untuk mengangkat tema ini, sesungguhnya, saya tidak bisa atau lebih tepatnya, saya tidak ingin mengidentifikasi diri saya sebagai representasi dari 'yang liyan' pada masyarakat di mana saya hidup. Bagaimana Mary Wigman, seorang pelopor tari ekspresionis dari Jerman memiliki sudut pandang etnologis terhadap kebudayaan Timur Jauh, terlihat dari karyanya yang berjudul Hexentanz II (1926). Karya tersebut telah menginspirasi saya untuk merenungkan kembali bagaimana saya melihat tarian tradisional dari asal budaya saya sendiri. Saya menelisik kembali bagaimana jarak yang muncul dari proses migrasi mempengaruhi cara melihat kita terhadap budaya tradisional yang tidak lain sebagai objek “yang lain” dari kehidupan kita. “Your Otherness – I’ve never been so east” adalah otokritik atas sisa-sisa peninggalan cara pandang kolonial yang mendidik kita untuk mengeksotikkan kebudayaan kita sendiri.