KITAB
Jagad Kertas Dalam Renungan
Pameran Kitab: Jagad Kertas Dalam Renungan adalah pameran tunggal yang dilaksanakan melalui platform virtual. Pameran ini mengelaborasi gagasan bagaimana sebuah pameran virtual “Kitab” memberikan sebuah tawaran yang menjawab tantangan berbagai konteks dan situasi tentang perubahan yang ada di sekitar seniman. Dari beberapa karya yang muncul, aspek metaforik dan simbolis merupakan representasi atas respons seniman tentang situasi sekarang yang mengubah banyak perilaku dan kondisi keseharian kita. Kitab pada pameran ini diambil dari salah satu seri karya yang ditampilkan. Kitab pada tataran bentuk adalah sebuah tumpukan dari beberapa lembar/suhuf. Pada aspek metaforik, kitab seperti sebuah sumber pengetahuan maupun sebuah panduan. Dari teks yang merepresentasikan keseharian hingga tanda keberadaan diri, dari yang simbolik sampai yang abstrak, dari yang personal sampai yang universal, pameran ini memberikan jangkauan luas pada ihwal bagaimana kita melihat dunia yang sedang berubah.
Tentang “Kitab”
Diskusi ini merupakan sebuah bentuk pendekatan kurasi yang dilakukan untuk mengungkap aspek dan berbagai kecenderungan yang hadir dalam karya Setiawan Sabana. Diskusi dilakukan antara Danuh Tyas P. dan Zusfa Roihan sebagai kurator pameran, dengan penanya adalah Dr. Kiki Rizky SP, M.Sn, (seorang pengajar dan peneliti yang fokus pada aspek kreativitas, pengarsipan, dan metodologi penciptaan seni rupa)
Penanya:Mengenai pameran tunggal Setiawan Sabana, yang telah 50 tahun melewati proses artistiknya. Kira-kira, bagaimana proses terjadinya kekaryaan Pak Wawan saat purnabakti; sehingga tetap intens, tidak lagi disibukan dengan pekerjaan di kampus, sehingga punya banyak waktu untuk pengalaman estetis? Jelaskan juga kronologi singkat pelaksanaan pameran tunggal Pak Wawan?
Zusfa:Sejak tahun 2019 ada tawaran untuk Pak Wawan untuk pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang tadinya akan dilaksanakan pada Maret 2020. Namun harus postponed karena pandemi. Dari Danuh dan saya, rencana awalnya karya-karya instalasi Pak Wawan akan dipajang di Gedung A GNI. Karena situasi pandemi yang tidak memungkinkan terutama untuk Pak Wawan pameran akan dilaksanakan secara online dan karya Pak Wawan yang berupa instalasi tidak dapat dipamerkan di pameran ini.
Situasi pandemi menggeser cara kita untuk mengapresiasi seni dan juga kekaryaan senimannya yang tidak lagi bisa berhubungan dengan ruang, selain itu apa lagi perubahan yang disebabkan oleh pandemi ini?
Zusfa:Perubahannya dari pengalaman apresiasi seni, karena pengalaman keruangan tidak bisa digantikan oleh sekadar foto/tampilan virtual. Di pameran Pak Wawan nanti akan ada karya 3D yang dipamerkan, namun pasti akan terbatas dari pengalaman apresiasinya walaupun dihadirkan secara advance, seperti rotasi 360° dan semacamnya. Pergeseran ruang ini sangat signifikan mempengaruhi pengalaman apresiasi seni baik oleh pengunjung maupun pada seniman. Termasuk untuk Pak Wawan yang mendapat kesibukan dari penyesuFaian kondisi kekaryaan saat pandemi ini.
Danuh:Kondisi pandemi ini merubah: satu, kuratorial: perubahan bahasan keruangan dari karya instalatif, serta bahasan teknik cetak dan olah kertas atau medium yang tadinya akan banyak melakukan eksperimen di studio kampus, namun akibat kondisi pandemi, penggunaan medium yang eksperimental akan direduksi. Dari Pak Wawan sendiri juga menganggap apabila karyanya akan ditampilkan secara virtual, maka pengalaman apresiasi terhadap medium akan sangat berkurang. Dua, visual karya: dari skala dan jumlah akan direduksi akibat keterbatasan ruang, yang berupa format foto dan video di dalam website, sehingga tidak dapat menampilkan karya instalasi yang masif maupun karya tunggal dalam jumlah banyak. Karena pergeseran fisik karya dari 3D menjadi 2D maka dimensi karya yang dipamerkan akan turut mengikuti, namun masih memiliki ciri khas kekaryaan Pak Wawan, terutama dalam seni cetaknya.
Ada banyak negosiasi antara tim kurator, Zusfa dan Danuh dan Pak Wawan akibat pergeseran ruang saat pandemi ini, yang mempertimbangkan karya-karya yang nantinya akan ditampilkan, bagaimana proses negosiasi tersebut berlangsung?
Zusfa:Satu, menegosiasi soal waktu yang terbatas; di awal pandemi masih ada ekspektasi bahwa pameran akan dijalankan secara offline. Namun, karena adanya ketidakpastian terhadap waktu, beberapa karya beliau, yang tadinya akan dipamerkan perdana di GNI, ada yang sudah dipamerkan di tempat lain & harus membuat karya yang baru. Sehingga diputuskan melalui platform web galnasonline.id. Dua, keputusan pameran secara online; dari tim kurator tidak bisa menuntut banyak terhadap kondisi pandemi ini dan banyak dari kekaryaan seniman, pemilihan medium, ruang pamer, dan lainnya, yang harus beradaptasi dengan keadaan. Untuk Pak Wawan, ini merupakan tantangan tersendiri karena banyak penyesuaian dengan cara artikulasi dan format.
Danuh:Kalau dari saya justru negosiasi akan lebih susah apabila pameran harus tetap diadakan offline. Karena, apabila offline Pak Wawan akan melakukan eksplorasi medium atau jumlah secara masif, sehingga dari tantangan tersebut akan memakan banyak waktu eksplorasi dan pengerjaan. Sedangkan untuk pameran online ini, Pak Wawan sudah menguasai medium artistiknya, terlebih karena pemampatan dalam bentuk online, harus membuat karya yang jumlahnya terbatas dan dalam skala kecil, sehingga memudahkan Pak Wawan dan memakan waktu yang seharusnya lebih singkat.
Saya tertarik dengan istilah ‘pemampatan’ karena istilah tersebut terkesan menyederhanakan bentukan pameran, yang memampat pada ruang virtual, tanpa menghilangkan gagasan yang ingin dibawakan oleh seniman sehingga pameran virtual tersebut bukan sekadar pajangan atau dokumentasi dari karya. Sebelum melanjutkan ke karya, apa gagasan yang telah dinegosiasi, perihal ruang virtual, dari pameran ini?
Zusfa:Kalau saya tertarik apabila pameran berbentuk data web ini menjadi arsip digital, selama website-nya masih ada, maka karyanya akan tetap ada di sana. Untuk gagasan karya, saya masih membayangkan karakter dari karya abstrak Pak Wawan, juga melihat latar belakang Pak Wawan sebagai seniman grafis. Di Indonesia sendiri cukup jarang ada seniman grafis yang membuat karya abstrak, biasanya karya abstrak dibuat oleh seniman lukis. Saya tertarik dengan teknik pembuatan karya yang memiliki output abstrak, dan bagaimana kemudian via visual, karya tersebut berkompromi dengan ruang virtual untuk bisa dinikmati, dalam hal ini melalui layar device.
Danuh:Karya ini, yang akan dipamerkan, bukan karya digital, tapi berupa fisik. Jadi akan terlihat tekstur, layering teknik grafis, kombinasi media fisik yang terlihat jelas, dan sebagainya. Yang dilematis adalah bahwa pameran ini bersifat online sehingga ‘menipu’ mata yang mempercayai karyanya bentuk fisik, namun tidak bisa melihat fisiknya secara nyata karena hanya berupa foto dalam layar. Sementara secara kualitas, karya-karya ini akan menampilkan banyak kualitas dalam tekstur dan elemen fisik lain. Selain itu, pengalaman apresiasi dari audiens juga dipertimbangkan dalam dilema ini dari cara mengapresiasi bentuk konkrit dalam tampilan maya, sejauh mana audiens bisa berimajinasi.
Masuk ke karya, kurator membuat pengkategorian karya, 2D dan 3D. Untuk karya 2D ada beberapa konfigurasi berkaitan dengan teknik pembuatan karya, berupa warna, tekstur, ber-output dilematis yang dibahas di jawaban sebelumnya. Lalu saya bertanya-tanya saat melihat beberapa cetakan tangan, apakah berkaitan dengan penyematan identitas diri, seperti halnya budaya orang zaman dahulu? Apa maksudnya cetak tangan tersebut?
Zusfa:Dari penjelasan Pak Wawan sendiri, cetakan tangan mempunyai aspek simbolis perihal garis hidup atau identitas. Beliau pernah memakai gagasan tersebut dalam karya-karyanya. Tetapi saya dan Danuh mencoba untuk melakukan penafsiran sendiri. Tangan yang dihadirkan dalam karya terlihat kontras dengan sekelilingnya, dari warna dan bentuk tangan, sangat disadari untuk harus terlihat, berulang, serta seimbang antara penggunaan tangan kanan dan kiri. Yang menarik adalah, karya Pak Wawan bersifat abstrak yang bermakna luas, namun menghadirkan cetakan tangan yang bermakna sempit (identitas, jejak kehidupan). Juga untuk karya-karya yang seri koran, ada detail yang memancing penekanan secara visual dari teksnya seperti vaksinasi, bencana, dan sebagainya, namun dikelilingi oleh warna dan bentuk abstrak yang kontras dengan hal itu. Dari sini saya berpendapat, umumnya karya-karya Pak Wawan ini disengaja untuk menimbulkan situasi ambigu, simbolis yang personal dengan abstrak yang universal. Situasi yang merujuk pada kondisi hari ini, yang hadir belum tentu nyata dan yang terlihat belum tentu yang sebenarnya.
Danuh:Secara umum setuju yang dijelaskan Zusfa, bisa ditarik dari judul pameran Kitab, kita bisa lihat sebagai metafor. Satu, kitab adalah kumpulan lembaran/suhuf yang menjadi kitab; istilah ‘kitab’ ini dari seniman, berkaitan dengan material yang ada di pameran ini. Dua, kitab berisi catatan; dalam kebudayaan manusia, catatan bisa dibuat dari banyak hal; tulisan yang memiliki representasi di karya pameran ini, catatan keseharian berupa gambar seperti relief purba, dan lain-lain. Pameran ini bisa dibilang berupa catatan dari keseharian seniman; representasi pengalaman personal. Ada aspek kebangsaan juga di sekitar diri seniman: seperti mengambil kebudayaan Toraja pada salah satu karya. Kalau dari karya yang berupa tumpukan kertas, ia tidak meninggalkan jejak seperti halnya pada seni drawing atau grafis yang meninggalkan goresan garis. Namun justru lewat telapak tangan, seniman meninggalkan jejak personalnya.
Dalam sejarahnya, tangan menyimbolkan eksistensi seseorang dalam suatu tempat atau masa. Ia mengalami masa itu dan mengalami ruang itu. Di monumen koran ini, Zusfa menjelaskan adanya teks representatif kondisi aktual di kehidupan seniman. Pameran Kitab ini sendiri merupakan kontras antara identitas diri dan kondisi aktual yang sebenarnya. Dan kitab sebagai makna atau objek, berisi pandangan holistik tentang konteks yang berlangsung saat itu dan akhirnya dipelajari. Perihal kondisi pameran online, akan ada pengalaman apresiasi yang berbeda dari pergeseran ruang ini, seperti adanya tekstur atau bentuk yang dialami langsung. Untuk karya 3D, akan ada tantangan apresiasi dari dimensi yang tidak bisa dilihat langsung dengan mata, terutama untuk karya monumen dan artefak kertas.
Zusfa:Untuk karya yang masih berbentuk buku, secara teknis, ia hampir sama dengan karya 2D, namun menjadi 3D dengan dikompilasi dan disusun dalam tumpukan. Buku ini berisi visual abstrak dengan lelehan warna dan cenderung organis. Untuk karya lain, monumen koran yang berisi teks-teks aktual tentang berita keseharian. Sementara pada seri Kitab ada pertanyaan yang hadir setelah pemunculan kata ‘kitab’, lalu membayangkan apakah kitab harus berbentuk buku; seperti kitab suci, Alquran, kitab kuning, dan lain-lain. Untuk karya yang berbentuk buku atau kitab dipadukan dengan adanya rehal, secara bentuk ia terlihat seperti kitab. Dari konstruksi tersebut kita mengetahui makna literal tentang sesuatu yang menyerupai sebuah objek tertentu. Hal ini menunjukkan kondisi yang “maju” dan “mundur” perihal memaknai tentang kitab ini. Hal ini berkaitan dengan aspek penundaan dalam artikulasi bahasa. Perihal kertas, Pak Wawan sering membuat karya dengan kertas teks buku yang dibuat dalam bentuk monumen, beliau selalu concern terhadap bergesernya medium kertas dalam kebudayaan hari ini seperti dalam buku khususnya.
Danuh:Sebenarnya konteksnya tidak akan jauh dari 2D-nya, misalnya tetap kertas yang digarap. Sementara untuk karya 3D, ada faktor yang tidak muncul dalam karya 2D; munculnya visual-visual yang menghilangkan identitas benda awalnya, seperti tulisan, buku, kertas, dan sebagainya. Memunculkan kesan ‘tua’ dari menghilangnya identitas tersebut. Objek ‘artefak’ sendiri memunculkan imaji yang berkesan purba dan lampau yang ditemukan kembali. Monumen juga menimbulkan imaji tentang sesuatu yang diingat, memori, ingatan. Objek-objek di pameran ini, pada umumnya menimbulkan kesan lampau dan beresonansi dengan kondisi saat ini. Seperti pernyataan seniman bahwa kertas akan menjadi benda yang lampau dan ditinggalkan. Itu semua terjadi di hari ini, di mana semuanya bergeser pada ruang virtual, dan kita sebagai audiens, juga melepaskan hal-hal fisik dalam keseharian. Pameran ini pula bersifat virtual yang akan meninggalkan jejak digital, juga membuat audiens merasakan kesan ‘ditinggalkan’ oleh objek-objek yang ada karena tidak melihatnya secara langsung.