Pameran Seni Rupa “TITIK BALIK” dalam rangka Temu Karya Taman Budaya ( TKTB ) 2022 diselenggarakan di UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Timur. Pameran yang diinisiasi oleh Galeri Nasional Indonesia (GNI) bekerja sama dengan Forum Taman Budaya se-Indonesia ini, dilaksanakan secara luring pada tanggal 19 hingga 23 September 2022. Penjaringan peserta dilakukan dengan secara terbatas, di mana seleksi tahap awal dilakukan oleh taman budaya atau instansi budaya lainnya di tiap provinsi. Kemudian panitia menerima ajuan karya sejumlah 67 dari 64 perupa yang berasal dari 18 provinsi di Indonesia. Seleksi tahap kedua oleh Tim Kurator, yang akhirnya memilih 50 karya dari 49 perupa untuk dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa “Titik Balik. Karya-karya itu berupa lukisan, patung, grafis, dan instalasi. Tema “Titik Balik” mengajak para perupa untuk memaknai, mengungkapkan gagasan, dan merespons tema melalui sudut pandang masing-masing seniman.
Titik balik adalah sebuah momen penting dalam kehidupan seseorang di mana mereka menemukan sebuah pencerahan melalui peristiwa-peristiwa dalam hidupnya dan membuat mereka bangkit dan berubah menjadi orang yang lebih baik serta menginspirasi orang lain. Titik balik menjadi sebuah periode yang dialami oleh seseorang ketika terjadi transformasi besar dalam menentukan pandangan tentang diri. Menilik kembali karya-karya yang terseleksi secara kurasi dalam pameran ini setidaknya memunculkan beberapa respons, yaitu para perupa yang melihat persoalan sesuai pengalaman pribadi realitas hidupnya dan para perupa yang membaca tema dengan menggagas ide yang disertai opini secara kritis.
Pada pameran ini, klasifikasi karya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kecenderungan sudut pandang tematik. Seperti karya-karya yang menyajikan titik balik dari pengalaman pribadi akibat badai Covid-19. Dahsyatnya badai Covid-19 yang melanda dunia seakan memaksa dan menawarkan perubahan di segala lini kehidupan. Dengan Covid-19 yang banyak memangsa korban, pun dengannya tidak sedikit hal positif yang menggerakkan Indonesia bangkit perlahan menuju ruang-ruang metaverse. Mengantar budaya dan kearifan lokal memenuhi ruang-ruang digitalisasi. Optimisme, semangat bangkit, pemulihan, dan keyakinan bahwa badai pasti berlalu nampak pada karya-karya milik: Mudahar (“Kembali”); Danny Yuwanda (“Three Moon”); Rudiansyah (“Rekam Jejak”); Dyah Paramita Candravardani (“Semusim Berlalu”); Dharmawan Budhi Utomo (“Back_Go”); Yopie Liliweri (“Di Antara Kehidupan”); Abduh Sannassa (“Phinisi Menuju Metaverse”); Zainal Beta (“Badai Pasti Berlalu”); dan Christian Dan Dadi (“Angalai: Berkah Setelah Musim Paceklik”).
Sementara tema-tema yang berpusar pada trauma masa lalu, proses yang menyertai perjalanan hidup serta kenangan akan kasih sayang orang tua menjadikan momen titik balik dan membuat ruang imajiner untuk merenung dan berpikir dalam menentukan langkah berikutnya nampak tergambar pada beberapa karya-karya dari: Andi Jhon Korwa (“Hidup Dari Karya”); Alif Priyono (“From Bangkok to Sydney, Back to Palembang”); Emus Selvis Larmawata (“Deden Enhanar-Inspeksi”); M. Khusni Thamrin (“Revolusion”); Sutrisno (“Penantian”); Sugeng Hariyanto (“Mencoba Busana Terakhir”); Rudy Prasetyo (“Rinduku di Masa Kecil”); Ruby Ernawati (“Move On”); Mintosari (“Prasasti Kebangkitan”); Dewi Kurnia Sari (“Kunci”); Atien Purwaningsih (“Tutur Batin”); Alm. Widji Paminto Rahayu (“Proses yang Tak Pernah Selesai”); M. Angky Jatsa Gianitheri (“Closer”); Eris Lungguh Sumantri (“Ruang Renung”); Tia Sofiana (“The Kids and Their Flip-Flops”); Rohmad Taufiq (“Spirit Game Tunas Bangsa”); dan Khalil Zuhdy (“Pupus”).
Konsep lain yang diusung adalah konsep – konsep yang menggambarkan alam tradisi sebagai simbol faktual bagi pengalaman titik balik seniman. Kembang setaman selalu hadir sepanjang daur kehidupan, menjadi penanda setiap momen penting, menjadi pelepas batas rasionalitas menuju kemisterian. Alam dan panorama merupakan kesatuan kosmos yang saling melengkapi. Cerita ini hadir pada beberapa karya perupa seperti M. Nur Abdullah (“Panorama Alam”); Muhamad Ruslan (“Kembang Setaman”); Wisnu Aji Kumara (“Kembali Ke Selatan”); M. Rizky Kadafi (“Endangered”); Muhammad Hapide (“Sapeq Karang dan Tubuh Ritus”); Lumaksana (“Air Mata Enggang”); Budiantoro (“Bersama Menggapai Asa”); Amir Patang (“East Kalimantan Youth”); Agung Suroso (“Relung Etnis”); Barons Anthonius Baboe (“Raja Telu Hakanduang” dan “Tiruk Patahu”); Syamsul Arifin (“Reboisasi”); dan Dama Nuansa Adam (“Graphitenesia”).
Kekhawatiran para seniman tentang di tengah kemajuan teknologi yang dahsyat saat ini, perlahan realitas mulai hilang dan kebenaran acap kali menguap, silang sengkarut, mengabur bersama simulakra. Nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan pada siswa di bangku sekolah, angka-angka yang dihitung, rumus-rumus yang dihafal oleh anak-anak tiap pagi, bahkan dongeng negeri maritim dan agraris yang makmur tepat di garis khatulistiwa, hanyalah serpihan-serpihan paradigma, metafor, dan dogma. Kenyataannya tak serupa pada apa yang dilihat dan dirasakan. Menjadikan kontradiksi atas kondisi yang ada dan menjadikan catatan kecil. Interaksi menjadikan titik balik bagi peradaban manusia ke arah yang lebih baik, nampak tervisualkan pada karya-karya dari: Arrif Ismail (“Interaksi”); Miftahol Khoir (“Mimpi Si-mulakra”); Harianto (“Apel Hijau Bintik Putih”); Bagus Triyono (“Sihir Abad Modern”); Alhendra DY (“Nasbung (Nasi Bungkus)”); Muhamad Idris (“Enjoy”); Agustin Panca Wardany (“Yang Dulu dan yang Sekarang”); Julia Tejaningsih (“Enjoy Your Life”); Sigit Phrabu (“Deadlock”); Syarwani (“Mimpi di Tahun 2057”).
Dari paparan di atas kita bisa melihat bagaimana para perupa merespons tema “TITIK BALIK” dari berbagai sudut pandang. Mari kita apresiasi karya-karya yang dipamerkan dalam pameran ini.
Balikpapan, September 2022
Surya Darma,
Kurator