Memiliki bakat menggambar sejak kecil, seni gambar atau drawing tidak pernah terlepas dari Dn Adam. Hampir semua karya-karya Dn Adam menggunakan media pensil, baik di atas kertas maupun kanvas. Pensil grafit adalah alat utamanya dan surealisme menjadi gaya karyanya. Ia mencoba mengundang pikiran pribadinya di mana batas antara mimpi dan kenyataan sulit dibayangkan. Ia mengatakan memang sedari awal berkarya, pensil menjadi media yang kerap ia gunakan. Untuk khatam dulu sama pensil sebelum memutuskan ke media lain. Ia habiskan dulu, karena merasa belum ada pencapaian. Pria yang bernama lengkap Dama Nuansa Adam ini mulai aktif dalam dunia seni rupa sejak tahun 2015 silam. Ia juga sering berpameran diberbagai daerah di Temanggung hingga saat ini, dan tergabung dalam komunitas seni rupa "Cah Temanggung Creatif" (Catec). Pada tahun 2020 telah mengikuti pameran yang bertajuk "Jiwa Tak Terbatas" di Pendopo Pengayoman Temanggung bersama seniman-seniman ternama. Semenjak itu karya-karyanya mulai dikenal luas masyarakat hingga saat ini. Kota Surakarta menjadikan Kota yang terakhir kalinya ia berpartisipasi dalam pameran seni rupa di Taman Budaya Jawa Tengah pada tahun 2022 ini. Menggambar baginya mengajarkannya banyak hal, termasuk kesabaran. Drawing membutuhkan porses step by step yang cukup detail, ini menguji kesabaran. Selain itu juga melatih kepekaan, misalnya merespons permasalahan lingkungan.
Graphitenesia
2020
Pensil pada kanvas
130 x 60 cm
Media adalah jendela informasi yang setiap narasinya diharapkan mampu menyegarkan pandangan masyarakat. Namun tak dipungkiri, media tak mampu berdiri netral ketika alat ini diprivatisasi yang setiap orang mampu bernarasi. Efek laju perkembangan teknologi bukan menjadi sampul baru namun telah merubah tatanan wajah media. Semua mampu merubah data yang jauh dari realita. Hoax dan fakta seolah-olah sulit lagi diterka. Layaknya tongkat sihir yang menyulap obyek sesuai tujuan mengaburkan pandangan. Media menjadi tongkat sihir abad modern di era teknologi yang wajahnya abu-abu layaknya dipersimpangan kebenaran. Tentu menjadi kesadaran kolektif, apakah fenomena seperti ini harus ada bangunan yang menata agar data dan fakta serta realita kebenaran tetap terjaga? Ataukah kita tetap asyik dengan urusan egoisitas bahkan memanfaatkan keadaan statusquo pribadi dan kelompok. Semua berpulang kepada kita dan pemangku kebijakan.