PERUPA - Kalimantan Timur

Sigit Phrabu

Sigit Phrabu,lahir di Lamongan pada 7 Februari 1983. Pria berdarah Jawa dengan nama lengkap Sigit Hadi Suyitno ini telah menyelesaikan studi Strata Satu di Universitas Mulawarman dengan gelar Sarjana Hukum. Tahun 2010, Ia mulai bekerja sebagi Analis Hukum Subbag. Hukum dan Tata Laksana Rektorat Universitas Mulawarman di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Sejak kuliah Ia aktif di berbagai Organisasi, dan sampai sekarang masih menjabat sebagai Pembina Unit Kegiatan mahasiswa Teater Yupa Universitas Mulawarman (2022). Selain menulis naskah drama, cerpen, puisi dan mencipta lagu, Pendiri "Roemah Kajoe" dan Kelompok Musik "Rumpun Ilalang" ini juga seorang sutradara teater. Terlibat lebih kurang dalam 100 reportoar dan tak sedikit karya yang lahir dari tangannya berhasil menjuarai festival baik sekala regional maupun nasional. Lahir dari keluarga seniman, ketertarikan pada seni rupa sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam darah dan urat nadi. Bagi Sigit Prhabu melukis adalah media kontemplasi dan jalan sunyi yang ia tempuh dalam merespon peristiwa-peristiwa humanisme, sosial dan multikultural. “jika kata-kata sudah tidak mampu mengungkapkan pentingnya peristiwa, maka seni rupa adalah jalan kemewahan untuk meruang dan mengekspresikannya”.

KARYA

DEADLOCK

DEADLOCK

2022

Cat minyak pada kanvas

70x70 cm

Adalah keniscayaan bahwa alam raya sejatinya Ibu bagi masyarakat adat borneo suku dayak pedalaman Kalimantan Timur. pada hutan mereka menggantungkan hidup, dan di Mahakam mereka larungkan doa benih-benih harapan. Telah berabad para roh leluhur menjaga tiap jengkal tanah keramat, pun juga aliran sungai yang menjadi nadi. Betapapun hidup damai, berkecukupan, bersenyawa dengan belantara bersama segala kebaikan yang terkandung adalah kemewahan yang tak dapat dielakkan. Namun di tengah kemajuan teknologi yang dahsyat saat ini, perlahan realitas mulai hilang dan kebenaran acap kali menguap. Silang sengkarut, mengabur bersama simulacra. Nilai-nilai kemanusian yang diajarkan pada siswa di bangku sekolah, angka-angka yang dihitung, rumus-rumus yang dihafal oleh anak-anak tiap pagi, bahkan dongeng negeri maritim dan agraris yang makmur tepat di garis katulistiwa, hanyalah serpihan-serpihan paradigma, metafor dan dogma. Kenyataannya tak serupa pada apa yang dilihat dan dirasakan. Tanpa sadar daun-daun dari pepohonan yang menjulang terus-menerus berguguran, membusuk dan tumbuh menjadi bebatuan kajang gedung yang tinggi. Debu-debu terbang berdesakan di udara. Gemercik air sungai yang mengalir, perlahan berkecipak menggenangi huma kemudian mengetuk pintu rumah-rumah warga. Banjir lumpur menyerang kota-kota. Anak-anak kehilangan tempat bermain, anak-anak kehilangan identintas yang senantiasa dibanggakan, anak-anak kehilangan masadepan yang dirampok lubang-lubang raksasa yang setiap saat dengan sorai siap melahapnya. Seketika yang tertinggal hanya kecemasan, ketakutan, ketidak berdayaan, duka sebagaimana empat puluh nisan anak bangsa yang tertanam tanpa keperdulian sebagai korban kerakusan. Apa yang salah? DEADLOCK, Kini tak ada lagi ruang diskusi dan kompromi. Negeri ini telah kehilangan kekayaan yang sesungguhnya. Karena kata-kata telah kehilangan maknanya.