Jagad LanggengDurasi: 04:00Oleh: Okta Viviana Asmi Nusantari Asal: Kota Batu, Jawa Timur
Deskripsi:“Meskipun kapal karam, kita harus tetap berenang”
Laku kesempurnaan hidup untuk menyelaraskan jagat alit/mikrokosmos (diri sendiri) dan jagat ageng/makrokosmos (alam semesta) membawa aktornya untuk semakin menyadari tentang keberadaannya di jagat raya ini. Manusia yang tercipta sebagai makhluk yang memiliki peluang lebih kompleks dan paripurna dalam penataan jagat raya telah lama menggaung dalam konteks human life. Kesadaran spirit nyawa dan jiwa roh manusia, serta tataran ragawinya yang terdiri atas unsur yang kompleks menjadi inti keberadaannya sehingga sosoknya disebut-sebut sebagai representasi jagat raya. Empat unsur kosmik dalam pembentuk raga manusia yang menjadikan satu kesatuan jiwa manusia dengan mengawinkan bagian dari keempat kiblat dalam alam yang terdiri atas tanah, api, air, dan angin. Tatanan mikrokosmos tersebut ternyata ada pada jagat raya. Implikasi dari serangkaian tatanan kosmik tersebut hadir pula pada kajian falsafah spiritual Jawa mengenai terminologi ‘Sedulur Papat Kelimo Pancer’. Dimana pada penciptaan manusia itu sendiri, Kang Akarya Jagad telah memberikan penyelaras, penjaga pada jiwa manusia yang tak tampak itu seiring pertumbuhan pada fase kehidupannya. Keberadaan ‘kakang kawah adi ari-ari’ sebagai ‘sedulur papat’ sebagai penyelaras dan penyeimbang laku hidup manusia dalam menjaga dan memelihara tatanan jagad raya ini dengan ‘pancer’ (pusat) manusia itu sendiri yang senantiasa dituntun lakunya oleh Kang Akarya Jagad Raya.
Sisi konstruktif manusia sebagai yang selalu menjaga hubungan baik antar sesama, menyelaraskan tatanan semesta yang suci dan harmonis agar tercapai keseimbangan kosmos mengindikasikan bagaimana keagungan luhur Sang Akarya Jagad pada makhluk hidup yang diciptakannya satu ini. Namun di lain persimpangan, atas berkat kebebasan-Nya dalam kita menjalankan laku di jagat ini sesuai kapasitas, tidak sedikit sisi destruktif manusia tampak pada permukaan. Proses destruksi pada manusia yang tengah mengedepankan sisi egosentris demi tercapainya kepentingan diri sendiri pada kehidupan di muka bumi ini membuat beragam kehancuran dalam skala minim hingga yang masif. Namun atas kuasa Gusti sebagai sumber dari segala yang ada untuk meluruhkan sebagian laku sisi destruktif manusia tersebut menjadi realitas yang tak terpisahkan untuk kembali menjaga dan menyelaraskan tatanan jagat raya ini.
Manusia memang terikat dalam satu sistem kerja jagat semesta berupa hukum alam, wohing pakarti. Setiap tindakan akan selalu mendatangkan resiko tertentu, sama halnya bagaimana peradaban saat ini sebenarnya dapat kita refleksikan dari pola peradaban ratusan bahkan ribuan tahun silam. Hal tersebut merupakan siklus natural agar manusia semakin matang dan memiliki kesadaran luhur akan menghormati, menyeimbangkan, menjaga tatanan jagat raya yang langgeng agar mencapai dimensi spiritual yang membawa kedamaian absolut dalam diri sendiri.
Jiwa paripurna dan tangguh akan dapat memperkaya laku spiritualnya dalam menjalankan segala fase kehidupan pada jagat raya hingga jagat kelanggengan (Loka Baka, alam setelah kematian dimana tempat asal mulanya manusia itu sendiri).