Galeri Nasional Indonesia - 2020

Manifesto #vii PANDEMI

Manifesto sebagai Pameran Bienial Seni Rupa

Tahun 2008 adalah momen yang penting bagi Galeri Nasional Indonesia karena tahun itulah diselenggarakan “Pameran Besar Seni Rupa Indonesia - Manifesto 2008” untuk pertama kalinya. Gagasan utama penyelenggaraan kegiatan pameran itu adalah menunjukkan sebentuk tanggapan dan tanggung jawab seni rupa Indonesia atas kenangan lahirnya satu abad semangat kebangsaan di tahun 1908. Rancangan kuratorial pameran disusun oleh kelompok kerja yang melibatkan kurator Galeri Nasional Indonesia (Rizki A. Zaelani & Kuss Indarto) serta para kurator tamu yang diundang khusus (Jim Supangkat, Farah Wardhani, dan A. Rikrik Kusmara) memutuskan untuk menjadikan presentasi ekspresi karya-karya para seniman sebagai bentuk manifesto kesadaran. Tiga ratus buah karya, yang berarti terdapat tiga ratus orang seniman, terlibat dalam menyatakan manifesto tersebut; pihak kurator kemudian menyusun dan menyatakan catatan pembagian tentang empat tema utama pernyataan manifes. Pameran ini boleh jadi berkaitan dengan gagasan tentang manifes kesadaran yang pernah dinyatakan para seniman Indonesia di tahun 1950’an (Manifesto Kebudayaan - Manikebu), namun dinyatakan dengan cara yang sama sekali berbeda. “Manifesto 2008 – Galeri Nasional Indonesia” menyatakan bahwa ekspresi karya seni rupa sebagai bentuk pernyataan kesadaran (manifesto) itu sendiri, sehingga ditampilkan kurang lebih empat sudut pandang perhatian dengan 300 jenis perspektif pandangan yang tidak sama persis namun tetap saling berhubungan. Penyelenggaran “Manifesto 2008” menjadi kenangan peristiwa yang sangat penting; mungkin, untuk pertama kalinya Galeri Nasional Indonesia dipenuhi oleh ratusan seniman yang datang dari berbagai kota pada acara peresmian pameran. Ratusan orang lebih lain yang hadir pada malam peresmian itu adalah para pendukung seniman, pemerhati seni, wartawan, dan para penikmat seni rupa di Indonesia.

“Pameran Besar Seni Rupa Indonesia: Manifesto” kemudian ditetapkan sebagai agenda kegiatan pameran berkala Galeri Nasional Indonesia yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali, yang dalam tradisi seni rupa dikenal sebagai kegiatan bienial Seni Rupa (Art Biennale). Galeri Nasional Indonesia tidak pernah menggunakan istilah ‘bienial seni rupa’ dalam setiap penyelenggaraan Pameran Manifesto sehingga bagi banyak pihak serta pengamat seni rupa kegiatan itu dianggap tak sama dengan kegiatan bienial seni rupa yang telah ada di Indonesia sebelumnya, yaitu: di Yogyakarta (Biennale Yogya) dan di Jakarta (Biennale Jakarta). Namun bagi tidak sedikit seniman Indonesia, Manifesto justru adalah pameran dengan semangat teguh penyelenggaraan sebuah art biennale. Pemakaian istilah ‘manifesto’ memang terasa asing bagi para pengamat seni rupa yang terbiasa mengenal jenis kegiatan art biennale yang selalu dikaitkan dengan merek identitas sebuah kota: Jakarta Biennale, Yogya Biennale, Venice Biennale, Sydney Biennale, Singapore Biennale, Beijing Biennale, dan lain sebagainya. Bagi tidak sedikit seniman Indonesia, penyelenggaraan Manifesto – Galeri Nasional Indonesia justru dirasakan memiliki aroma art biennale dengan semangat yang khas dan ‘nasionalistik’ sebagaimana muncul untuk pertama kalinya sebagai gagasan “Pameran Besar Seni Rupa Indonesia”. Tanpa terlalu banyak ‘drama’ pada setiap skema persiapan manajerial maupun kuratorial dalam setiap dua tahun (sebagaimana sering berlangsung pada penyelenggaraan kegiatan bienial seni rupa di Indonesia), agenda Pameran Manifesto Galeri Nasional Indonesia terus bergulir, tanpa jeda, tepat jadwal, dan selalu menghadirkan presentasi karya-karya penting di Indonesia dengan jumlah kesertaan para seniman yang signifikan. Agenda pameran dua tahunan Galeri Nasional Indonesia: Manifesto (sebagaimana juga agenda pameran dua tahunan lainnya: “Pameran Seni Rupa Nusantara”), pada praktiknya, telah dianggap sebagai bentuk pameran mutakhir dan penting bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Hingga kini, tahun 2020, Pameran Manifesto mencatat penyelenggaraan yang ke-7, atau berarti telah berlangsung selama 14 tahun. Pameran Manifesto, dengan demikian, bisa dinggap sebagai kegiatan yang bernilai ‘sakral’ bagi lembaga Galeri Nasional Indonesia.

Manifesto dan Gejala Perkembangan Seni Rupa

Pada penyelenggaraan Manifesto yang ke-4 (dengan tema “Manifesto: Mencandra Keseharian”) identitas judul Manifesto mengalami perubahan: dari sebutan “Pameran Besar Seni Rupa Indonesia” menjadi “Pameran Seni Rupa Kontemporer Indonesia”. Perubahan tersebut berkaitan dengan pertimbangan atas kebiasaan penyelenggaraan sebuah art biennale secara internasional yang cenderung menekankan sifat penting penyelenggaraan pameran sebagai sebuah mekanisme maupun cara untuk menangkap serta menanggapi berbagai gejala, fenomena, bentuk perubahan mutakhir dalam dunia praktik dan teorisasi seni rupa. Dengan pertimbangan jadi semacam bentuk konversi atas konteks kemajuan seni rupa global bagi Indonesia, penyelenggaraan Manifesto coba merumuskan, memunculkan evaluasi terhadap berbagai kemungkinan makna serta tanda-tanda pergerakan, perubahan, dan kemajuan praktik seni rupa di Indonesia.

Perspektif kerja kuratorial Manifesto dilandasi pengamatan atas perkembangan praktik seni rupa di Indonesia, sembari mencermati perubahan serta perkembangan seni rupa di level internasional. Gagasan kuratorial Manifesto berupaya untuk menemukan bentuk pernyataan proses translasi dan interpretasi perkembangan seni rupa global oleh para seniman di Indonesia. Meski setiap penyelenggaraan Manifesto hanya diikuti peserta seniman Indonesia saja, namun bobot dan lingkup pencermatan atas persoalan seni rupa yang terjadi, sesungguhnya, bersifat internasional (global). Dalam praktiknya, Pameran Manifesto Galeri Nasional Indonesia adalah pameran dengan skala perhatian yang bersifat internasional (global) dalam pernyataan perspektif para seniman Indonesia. Penyelenggaraan Pameran Manifesto hingga kini telah menampilkan ratusan karya para seniman Indonesia dengan aneka jenis dan bentuk karya, pendekatan teknologi penciptaan dan representasi karya yang beraneka ragam, hingga penampilan para seniman yang berasal dari berbagai lapisan, golongan, serta angkatan. Penyelenggaraan Manifesto berusaha menampilkan perkembangan mutakhir seni rupa Indonesia tanpa kemestian menjadi sibuk mematut, membandingkan diri, atau memaksa melibatkan diri dengan trend tertentu dalam pola penyelenggaraan bienial internasional. Pameran Manifesto Galeri Nasional Indonesia justru terus berusaha menyatakan perkembangan seni rupa global dalam sudut penafsiran yang bersifat personal, lokal, bahkan nasional.

Tema : Pandemi

Gagasan kuratorial Pameran Daring MANIFESTO VII adalah soal pandemi. Gagasan ini tentu saja berkaitan dengan fenomena merebaknya wabah Covid-19 yang mengancam keselamatan hidup manusia. Penyebaran virus yang berskala besar ini, bahkan telah diakui untuk dinyatakan sebagai momen peristiwa yang bersifat global, pada praktiknya, tak hanya mengandung dimensi persoalan yang bersifat medis saja, tetapi juga bersifat sosial, ekonomi, politik, serta kultural. Model penanggulangan penyebaran virus ini, pada kenyataannya, memaksa umat manusia untuk memikirkan kembali model cara hidup dan berinteraksi secara berbeda, menciptakan dan menegaskan diterimanya cara hidup baru yang berbeda -yang berjarak dan berhati-hati- yang disebut sebagai cara hidup dengan predikat ‘normal baru’. Bagi negara-negara maju dengan tingkat kemajuan teknologi komunikasi dan interaksi yang mutakhir, saat kini adalah suatu momen untuk menegaskan peralihan kultural dari cara hidup yang bersifat langsung dan manual menjadi pola-pola hidup yang didukung interaksi kemajuan teknologi digital. Bagi masyarakat dan kebudayaan khas semacam yang hadir di Indonesia, peristiwa ini adalah tantangan situasi yang baru dan penuh resiko. Istilah pandemi yang digunakan sebagai judul Pameran Daring MANIFESTO VII ini dimaksudkan untuk mencatat dan mengenali perubahan situasi dan peristiwa hidup yang tengah terjadi dalam perspektif yang luas, tidak terbatas hanya sebagai tantangan penanggulangan bencana secara medis, tetapi juga berbagai fenomena ‘keharusan’ baru yang mengguncang segi-segi kebiasaan hidup secara politik, ekonomi, sosial, dan kultural.

“Anda diundang untuk menyampaikan secara visual tentang pengenalan, pengalaman, pengakuan, harapan, atau perasaan Anda: mengenai, sebab, maupun akibat Covid-19 di Indonesia.”

Undangan kuratorial pameran yang bersifat terbuka, disusun secara khas melalui skema gambar, terbuka tentunya bagi berbagai cara penafsiran para peserta pameran yang khas dan unik. Undangan ini pada dasarnya mengajak untuk mencatat lahirnya urgensi kesadaran baru bagi setiap individu, menimbang menjadi bagian dari ikatan masyarakat lokal-nasional yang khas Indonesia, sekaligus menjadi pelaku budaya jamak Indonesia yang kini memasuki medan persaingan budaya secara global. Undangan sikap Pameran Daring MANIFESTO VII “PANDEMI” adalah juga undangan atas sikap nalar kita agar terus mampu mematut gagasan kesatuan kebangsaan, mungkin jadi perspektif pencarian dan perenungan yang mendasar, jauh lebih penting dari sekedar dianggap jadi bagian dari ‘komunitas’ masyarakat global dan internasional. Gagasan kuratorial pameran ini hendak menggali kemungkinan terbesar, terjauh, sekaligus terdalam yang mampu menyatakan respons setiap orang terhadap perubahan cara dan kemestian hidup di masa kini dan mendatang.

Tema ‘pandemi’ telah mendapatkan sambutan sikap, cara pemahaman, serta tanggapan yang berbeda-beda. Memang, tak ada situasi yang dihadapi dan dialami masing-masing orang secara persis sama; nilai perbedaan ini lah yang menjadikan sebuah ekspresi seni menjadi penting dan berharga. Di dalam kesimpulan besar yang menyatakan klaim, bahwa “dunia kini telah menghadapi petaka pandemi global,” maka dalam dan melalui ekspresi seni kita masih bisa menemukan varian perbedaan dan nilai penting dari ketidak-samaan.

Jika keadaan fisik seluruh manusia umat dianggap sama, yang karenanya semua orang bersifat rentan terhadap serangan penyakit yang menyebar secara kasat mata dan bersifat pandemik, maka ekspresi seni mengingatkan-kembali kita bahwa, tak ada perasaan manusia yang akan berlaku sama persis. Pikiran manusia, boleh jadi, bisa diaku dan diuar-uarkan sebagai hal yang bernilai sama, yang bisa dicapai melalui diskusi, konsensus, dan jalan pewacaan. Perasaan setiap orang, bagaimanapun, tak akan pernah menjadi sama persis bahkan bagi sepasang yang saling mencintai serta tengah menaruh harapan satu sama lainnya.

Pikiran seseorang sering kali mengaku telah berperan utama dan pertama sebelum seseorang menyatakan sikap perasaannya. Ada perasaan yang memang kemudian menjadi sikap, setelah memperoleh peneguhan dari pikiran. Namun juga terdapat kondisi perasaan-perasaan yang terus menerus berubah dan tak pernah atau gagal secara menerus menjadi sebuah sikap. Jika pikiran dipercaya turut menentukan sikap perasaan seseorang; apakah juga berlaku sebaliknya? Sikap perasaan tertentulah yang sesungguhnya telah menentukan jalan pikiran seseorang? Sebuah ekspresi seni, dalam hal ini, sering kali menantang pendapat keyakinan kita dengan pertanyaan, bahwa kondisi perasaan-perasaan yang tengah dan terus berubah itu sesungguhnya adalah juga kumpulan pikiran seseorang yang terus-menerus gagal merumuskan makna atau artinya?

Ekspresi seni memberikan tempat bagi keadaan yang tidak menjadi pasti dan memiliki kemungkinan-kemungkinan makna yang terus hidup.

Karya-karya yang ditunjukkan dalam pameran secara daring ini, tentu saja, tak sama dengan pengalaman biasanya kita mengenal karya seni rupa. Jika ada karya lukisan, misalnya, yang kita saksikan dalam kesempatan pameran adalah soal petunjuk yang mengarahkan kita pada persoalan yang hendak diangkat, dikatakan, atau dinyatakan oleh sebuah lukisan. Sang seniman yang mengerjakan karya lukisan tersebut menjadi ‘perantara langsung’ yang mengantarkan cara kita untuk mengenal dan menikmati karya lukisan tersebut. Karya ‘sesungguhnya’ dalam presentasi pameran secara daring ini adalah soal menunjukkan media atau cara-cara lain bagi sikap ‘perantaraan’ tersebut. Dalam kasus ini, maka seni lukis atau sebuah lukisan berada dalam medium baru penyampaian.

Terdapat juga jenis karya-karya yang lain yang dikerjakan dengan medium baru seni, yaitu karya yang diciptakan dengan memanfaatkan bahasa digital, melalui medium virtual, serta mekanisme kerja kreatif dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (A.I). Sifat ekspresi karya jenis ini bersifat langsung, menempatkan pemirsa langsung dihadapan layar sebagai medium interaksi yang utama. Ekspresi karya-karya medium baru seni ini dinyatakan sebagai bentuk karya animasi maupun karya hasil pengolahan data digital.

Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini juga adalah karya yang memiliki sifat mencatat atau mendokumentasikan; dalam beberapa karya bahkan berlaku sebagai rekaman tanda peristiwa maupun ekspresi seni dengan medium yang lain, seperti tarian, pemeranan teater, maupun jadi sejenis jurnal laporan yang bersifat personal.

Pameran Daring MANIFESTO VII “PANDEMI” ini juga mencoba untuk membuka sekat yang memisahkan kesempatan para seniman profesional dengan mereka yang tengah belajar menata diri untuk menjadi seorang pencipta karya seni, bahkan dengan sikap dan pandangan dari publik yang bersifat awam terhadap sifat pernyataan seni secara khusus. Keputusan untuk menghilangkan sekat pemisah ini adalah cara untuk memberikan kesempatan pada kita untuk menemui persoalan tentang pandemi Covid-19 dengan segala bentuk respons terhadapnya dalam sikap yang lebih terbuka dan jujur. Soal pengalaman, penilaian, dan cara penghayatan terhadap situasi yang kita hadapi kini adalah sebagaian dari yang kita ketahui juga tidak kita kenali sepenuhnya. Ekspresi seni selalu akan punya cara untuk menyatakan kompleksitas persoalan yang tengah kita hadapi; tetapi juga memberikan kesempatan pada kesederhanaan dan perlakuan jujur kita.

Para peserta pemeran ini mengerjakan beberapa kemungkinan cara penyampaian maksud yang berkaitan dengan persoalan krisis pandemi secara langsung maupun tidak. Secara keseluruhan, sikap dan cara pemahaman para peserta dipengaruhi oleh isu mengenai keadaan pandemi global, melalui media komunikasi massa, yang kemudian dikaitkan dengan pengalaman hidup masing-masing secara personal. Karya-karya yang mereka hasilkan tidak hanya bisa dipahami sebagai suatu bentuk dari cara tanggap saja, tetapi juga sekaligus mencerminkan keadaan khas serta khusus bagi mereka yang membentuk cara pandang tersebut. Karya-karya yang mereka tunjukkan, kurang lebih, menjelaskan soal: (a) sikap untuk menyatakan respons balik; (b) cara untuk menyatakan sikap asimilasi terhadap keadaan hidup yang tengah berlangsung, yang juga sering mengandung kehendak yang sebaliknya (disimilasi); (c) menyatakan cara penerimaan dengan menyatakan ungkapan persejajaran antara isu pandemi dengan gejala atau pengalaman lain dalam hidup; (d) menjadikan fenomena dan isu pandemi inspirasi sebagai sebuah aksi fantasi; atau bahkan (e) memahaminya sebagai persoalan yang memiliki dimensi nilai yang mengakar dalam, sebagai gema bagi panggilan sikap dan keyakinan diri.

Cara di antara para peserta untuk merespons balik isu dan gejala pandemi Covid-19, tentu saja, tak ada yang persis sama. Namun secara umum, para seniman melihat seni dengan potensinya sebagai sebuah kutub yang berbeda dengan ‘apapun yang dimaksud sebagai pandemi.’ Sebagian seniman mengangkat seni sebagai cara atau potensi untuk melawan pandemi; tentu perlawanan ini bukan untuk kemenangan seni itu sendiri, tetapi bagi keselamatan dan kebahagiaan manusia secara umum. Sebagian yang lain, bahkan, menyakini bahwa seni menyimpan jawaban atas gejala maupun fenomena pandemi (Covid-19); seni diyakini sedari awal memiliki jawaban bagi berbagai persoalan yang mengancam keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia. Para seniman mengingatkan kita kembali pada keberadaan potensi seni tersebut. Respons balik yang lain adalah ungkapan yang menjelaskan potensi atau kutub seni sebagai cara yang mampu mengantarkan setiap orang pada keadaan atau situasi yang lain, kepada kemungkinan-kemungkinan lain yang tak terkisahkan dalam carut-marut isu tentang pandemi (Covid-19) ini.

Di bagian lain, fenomena pandemi ini ditanggapi oleh para seniman dan peserta yang bukan berprofesi sebagai seniman; mereka, di antaranya, adalah dokter, perawat, mahasiswa, guru, pelajar, pegawai, atau ibu rumah tangga. Sebagian besar dari cara tanggap ini menjelaskan usaha untuk membiasakan diri dengan cara upaya melakukan penyesuaian diri (asimilasi) yang, pada kenyataannya, juga mengandung kehendak atau harapan yang bertentangan dengan upaya-upaya tersebut (disimilasi). Terdapat dua kecenderungan umum pada cara tanggap ini. Sebagian menjelaskan cara untuk menghadapi situasi yang tengah berlangsung kini lewat ungkapan yang menekankan semacam situasi pergulatan atau perjuangan di dalamnya. Sebagian peserta yang lain menggambarkan situasi dan keadaan yang yang berlangsung saat kini sebagai sebuah cermin persoalan yang menggugah kita pada kesadaran tentang persoalan hidup yang lebih luas. Para peserta mengungkapkan semacam laporan situasi yang sekaligus menjadi cermin bagi inspirasi mereka untuk mengajak kita semua melakukan upaya refleksi atau cara penghayatan bagi persoalan yang lebih luas.

Terdapat sekelompok karya-karya lain yang menunjukkan gambaran yang nampak ‘aneh’ dan sepertinya tidak berkaitan secara langsung dengan isu tentang pandemi, sebagaimana umumnya diketahui melalui aneka saluran informasi berita. Karya-karya ini umumnya dikerjakan oleh para seniman yang mengungkapkan simbol maupun tanda-tanda metafor yang khusus sekaligus kompleks. Karya-karya ini menunjukkan upaya penyejajaran antara isu, fenomena, atau persepsi seseorang tentang pandemi dengan objek, gejala, atau suatu lingkungan kondisi tertentu yang dimaksudkan sebagai semacam pernyataan makna-makna substitutif atau makna yang menggantikan. Sebagian seniman menunjuk objek, benda, atau suasana yang terjadi dekat dengan kita, ‘di sini,’ sebagai tanda yang berkaitan dengan isu pandemi; sebagian lain menyatakan gambaran yang lebih jauh, ‘di sana’, yang mengundang seseorang untuk menyusuri relasinya secara berjarak. Makna-makna tentang sesuatu yang berkaitan dengan pandemi itu seakan-akan ada di suatu tempat atau objek yang dekat maupun jauh dengan kita, namun tidak kita sadari lagi arti dan akibatnya terhadap kita.

Sebagian kelompok peserta ‘menyambut’ isu pandemi sebagai tantangan inspirasi bagi mereka untuk mengembara di wilayah imajinasi dan fantasi. Persoalan pandemi yang biasanya dikabarkan sebagai berita dan informasi ditransformasikan menjadi ungkapan fantasi dan imajinasi dalam kisah-kisah, kenangan, bahkan dimensi yang lebih menyatakan ungkapan emosi. Pada bagian ini, menarik dicermati, bahwa banyak dari dari peserta juga berasal dari kebiasaan medium ekspresi yang lain, khususnya: tari, puisi, juga ungkapan musik. Penggabungan medium ekspresi yang memiliki kebiasaan yang lain dari seni rupa ini menjadi mungkin karena dinyatakan sebagai sebuah hasil karya video yang bersifat audio visual. Tema dari aksi fantasi ini terlihat menjadi dua kecenderungan, yaitu: kecenderungan yang menunjukkan cara pengungkapan sebuah kisah tertentu, serta kecenderungan yang menggunakan tubuh sebagai idiom dan tanda ekspresi.

Kelompok terakhir dari sebagian karya-karya pada Pameran Daring MANIFESTO VII “PANDEMI” ini menyiratkan adanya hubungan yang kuat antara persoalan pandemi (Covid-19) dengan struktur nilai dan pemahaman yang bersifat mendalam. Isu pandemi, dalam hal ini, dikaitkan dengan gejala, proses, atau fenomena semesta yang bersifat mutlak dan kekal, yang telah dikenal serta dipahami oleh perkembangan peradaban manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Karya-karya ini, yang seluruhnya dikerjakan oleh para seniman, menunjukkan kepada kita ihwal tatanan gejala dan nilai yang lebih kekal dan berada di luar kekuasaan manusia untuk mengaturnya sendiri. Sebagian karya menunjukkan kaitan pandemi terhadap dimensi siklus kehidupan yang ‘mengatur diri’ sementara manusia diharuskan menjadi taat terhadapnya; sebagian yang lain menjelaskan dimensi misteri atau lapisan kenyataan hidup yang tak bisa dipahami oleh manusia sepenuhnya. Fenomena pandemi Covid-19, sebagai sebuah peristiwa yang bersifat alamiah atau dibuat-buat, pada akhirnya menyisakan misteri pemahaman; misteri yang tak hanya berkaitan dengan ancaman yang disebabkan oleh adanya virus yang bisa mematikan, tapi juga ancaman yang diciptakan sikap manusia sendiri dalam kaitannya terhadap sumber-sumber kepercayaan nilai yang memiliki sifat lebih luhur dan sempurna.

Lebih dari dua ratus karya yang ditampilkan dalam Pameran Daring MANIFESTO VII “PANDEMI” ini, tentu saja, tidak akan bisa dianggap mampu mewakili sikap masyarakat Indonesia secara keseluruhan, apa lagi masyarakat dunia. Namun seluruh ekspresi yang ditampilkan dalam pameran ini tidak satupun yang bisa terhindar dari relasi dan interaksi yang bersifat global dan mendunia. Predikat pandemi global (global pandemic) bagi sebutan gejala dan akibat dari penyakit Covid-19 ini memang tak bisa terelakkan, setidaknya tak ada saluran informasi yang menjelaskan dan mengabarkan fenomena ini yang tak bersifat global. Tinggal tiap-tiap manusia, termasuk para seniman, yang hidup berbeda-beda itu lah yang akhirnya menentukan kadar sifat dan kenyataan global yang sering dibicarakan itu. Pameran ini tak hendak menutupi perbedaan-perbedaan itu.

Pameran Daring MANIFESTO VII “PANDEMI” ini, bagaimanapun, akhirnya adalah juga proyek pemetaan perkembangan seni rupa di Indonesia melalui cara yang lain dan tidak biasa. Penyelenggaraan pameran seni rupa secara daring serta virtual ini, pada kenyataannya, menunjukkan segi-segi persoalan yang khusus dalam perkembangan seni rupa Indonesia masa kini. Perkembangan seni media baru (new media art), yang dianggap sebagai salah satu tanda perkembangan penting dari ekspresi seni rupa kontemporer yang berwatak global, dalam praktiknya, mengandung kompleksitas persoalan yang tidak hanya berkaitan dengan isu-isu tentang seni rupa Indonesia yang biasanya dikenal di seluruh penjuru Indonesia. Pameran Daring MANIFESTO VII “PANDEMI” ini, setidaknya, mulai meretas alur persoalan yang baru bagi skala perkembangan seni rupa Indonesia yang lebih bersifat menyeluruh. Kita tak hanya bicara soal tantangan perkembangan ekspresi seni media baru di Indonesia, tetapi juga memasuki kerumitan persoalan tentang perkembangan media-media baru bagi ekspresi seni rupa di seluruh Indonesia.

Kurator Pameran

Rizki A. Zaelani | Citra Smara Dewi | Sudjud Dartarto | Bayu Genia Krisbie | Teguh Margono