Kuratorial

GERBANG: Pameran Monumen Karya Yusman

Catatan Kuratorial: Suwarno Wisetrotomo

Percakapan dan praksis seni patung di Indonesia sesungguhnya terus menyala, namun dengan pasang surut besaran apinya. Sejumlah nama pelopor – baik saat sebelum lahirnya akademi/perguruan tinggi seni rupa di Indonesia, maupun ketika institusi Pendidikan formal dilahirkan1 – dapat disebutkan dan dikenang karya-karyanya, bahkan sangat intim di ingatan publik, meski kadangkala keliru sebut nama (data karya) secara tepat. Kita pasti mengingat, bagaimana hingga kini sebagian anggota masyarakat, bahkan mereka yang bekerja di media (cetak, televisi, dan lainnya) menyebut Patung Pancoran (yang sebenarnya adalah Monumen Dirgantara), Patung Kuda (yang seharusnya Monumen Arjuna Wijaya), atau Patung Tani (yang sebenarnya Monumen Pahlawan), dan masih banyak lainnya.

Hal demikian itu membuktikan bahwa ada yang rumpang dalam pemahaman seni rupa kita, yakni aspek pendidikan seni dan literasi. Seni rupa, bagi masyarakat pada umumnya, masih sebatas pengetahuan sampingan. Sementara insitusi pendidikan (tinggi) seni, juga institusi pemerintah yang bertaut, masih belum terlalu trengginas mengolah dan mengisi kerumpangan itu. Sesungguhnya, materi yang dapat digunakan untuk membangun dan mendeseminasikan pengetahuan itu sangatlah banyak, salah satunya melalui monument dan karya-karya seni rupa lainnya. Upaya ke arah itu secara terencana, sistemik, dan masif, memang belum tampak.

Monumen dan Yusman
Sebuah monumen pada ruang publik dihasratkan sebagai tetenger (penanda) sebuah kawasan. Kehadiran monumen selalu terkait dengan riwayat, peristiwa, sejarah, legenda, mitologi, cita-cita, pemuliaan (glorifikasi), terhadap “yang pantas dan penting” untuk dimonumenkan. Melalui karya monumen, atau karya-karya seni rupa di ruang publik, sesungguhnya merupakan kesempatan sangat baik mempertautkan pendidikan seni, seniman, karya seni rupa, dengan persoalan kebangsaan dan keindonesiaan. Karya monumen mau pun karya seni di ruang publik, merupakan artefak yang menyimpan narasi, antara lain kebangsaan, nasionalisme, kewargaan dan ruang publik. Narasi itu saling bertautan antara narasi historis (nama, waktu, peristiwa); narasi makna (bentuk, fungsi, kebangsaan, kewargaan, nasionalisme); dan narasi ruang publik (penanda ruang; sosial, politik, budaya).

Dalam tradisi patung monumen, dimulai dari era kepemimpinan Presiden Soekarno, yang menginisiasi berdirinya Monumen Nasional, Monumen Selamat Datang, Monumen Dirgantara, Monumen Pembebasan Irian Barat, yang dikerjakan oleh pematung generasi pertama Edhi Sunarso. Kemudian relief yang dikerjakan serentak di Hotel Indonesia Kempinski, Hotel Pelabuhan Ratu Beach, Hotel Royal Ambarukmo, Dan Hotel Grand Ina Bali Beach yang dikerjakan oleh Harijadi Sumodidjojo bersama seniman yang bergabung dalam Sanggar Selobinangun Yogyakarta. Monumen Banteng Ketaton di halaman Gedung Pemuda Kota Madiun, yang dikerjakan oleh perempuan pematung satu-satunya, Tridjoto Abdullah. Patung Jenderal Soedirman yang dikerjakan oleh Hendra Gunawan, kini berada di halaman Gedung DPRD DIY Jalan Malioboro, Yogyakarta. Termasuk dalam generasi pertama ini dapat disebut antra lain Gregorius Sidharta Soegijo, Rita Widagdo, Saptoto, yang jumlah karya monumennya lebih sedikit.

Generasi kedua pematung monumen dapat disebut seperti Sunaryo, I Nyoman Nuarta, Kasman Piliang, Dolorasa Sinaga, dan Teguh Ostenrik. Kemudian disusul generasi ketiga seperti Yusman, Dunadi, dan Purjito. Ketiga nama ini seangkatan kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, dan saling berkompetisi mengerjakan patung-patung monumen, utamanya dari institusi pemerintah, institusi TNI, atau BUMN. Setiap generasi sudah tentu berbeda tantangan yang dihadapi, utamanya terkait dengan bagaimana melakukan negosiasi (ide-ide dengan pihak pemangku kepentingan), dan proses kreatif mewujudkan monumennya. Semua pengalaman itu sesungguhnya merupakan pengetahuan yang penting diketahui oleh beragam pihak, yang berguna untuk dijadikan dasar membangun ekosistem seni rupa yang ideal.

Gerbang: Menuju Literasi Sejarah-Rupa
Proyek-proyek seni monumen yang dikerjakan Yusman, hampir selalu terkait dengan sosok dan peristiwa sebagai penanda sejarah. Seperti layaknya alasan sebuah monumen didirikan, maka proyek-proyek monumen yang dikerjakan Yusman bermula sejumlah argumentasi yang terkait dengan narasi sejarah, sosial, kewargaan, dan pebangsaan, termasuk sebagai penanda peristiwa.

Pameran ini memajang sebagian karya-karya monumen yang sudah dikerjakan Yusman di berbagai tempat (kota, wilayah) di Indonesia. Monumen pertama dalam skala nasional yang dikerjakan Yusman adalah Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat, di Ujung Pandang (kini Makassar) pada 1995, dan hingga kini (2022) jumlah keseluruhan 60 monumen. Dalam pameran ini menghadirkan maket dan karya dalam ukuran asli monumen Jenderal Soedirman, yang aslinya dipasang di Markas Besar TNI, Cilangkap. Adegan ini yang menggambarkan suasana perang gerilya; sang Jenderal dengan tubuhnya yang ringkih karena sakit paru-paru, duduk di dalam tandu mengenakan jaket panjang tebal dan blangkon (menjadi ikon sosoknya), digotong oleh empat orang. Di depan dua orang tentara pengawal, dan belakangnya beriringan pasukan, menenteng senjata laras panjang, pistol di pinggang, pakaian seadanya, mencitrakan kesenyapan.

Perang gerilya pimpinan Sang Jenderal pada 1949 ini sangat monumental, legendaris, menyentuh, penuh teladan. Dengan tubuh renta, Soedirman teguh membela sepenuh jiwa raga mempertahankan Republik Indonesia Bersama pasukan dan rakyat. Ia melindungi dan dengan sendirinya dilindungi. Ia mencintai pasukan dan rakyatnya, dan ia mendapatkan cinta pula.

Tajuk pameran GERBANG menunjukkan penanda pintu masuk atau gapura, pada suatu area, untuk melakukan aktivitas tertentu, misalnya pelesir, penelitian, atau eksplorasi sesuai yang diangankan. Memasuki (pintu) gerbang, artinya bersiap berada pada petualangan atau pengalaman baru. Demikian pun pada pameran karya-karya Yusman kali ini yang dirancang untuk menyampaikan pesan dan muatan edukasi sejarah, utamanya sejarah dalam perspektif (versi) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karya-karya dalam pameran ini, dihasratkan dapat memicu penonton untuk melakukan petualangan sejarah melalui bentuk karya seni rupa monumen.

Materi pameran ini menghadirkan sebagian besar karya monumen yang dikerjakan atas pesanan institusi TNI misalnya (berupa maket: Panglima Besar Jenderal Sudirman Naik Gunung [2014]; Trikora [2010]; Siliwangi [1996]; Pahlawan Jambi [2009]; Raja Banten [1997], atau individu-individu dari TNI misalnya Kopasus Sutiyoso (2016); Paskhas (2011). Sebagian kecil lainnya monumen pesanan institusi perguruan tinggi (Jenderal Ahmad Yani, 2016); dan institusi BUMN (Monumen Antam, 2008). Pada pameran ini, karena persoalan teknis, tidak menyertakan monumen yang dikerjakan atas pesanan BUMN yakni patung Garuda Pancasila (setinggi 3 meter) dan sosok Presiden Soekarno dengan gestur menunjuk, dipasang di daerah perbatasan Kalimantan Tengah Utara, Entikong, dan NTT (berjumlah 7 monumen).

Melalui monumen-monumen itu tersimpan di baliknya narasi sejarah terkait peran, heroisme, spirit, atau pendeknya keteladanan yang ingin diwariskan pada orang-orang biasa yang berjarak dari perstiwa, pada generasi masa kini – yang semakin tuna sejarah – dan tanggung jawab pemimpin institusi terkait untuk mengabadikan sekaligus mewariskan nilai-nilai tersebut melalui tetenger monumen.

Konsekuensi kehadiran monument seperti ini memang cenderung “tafsir sepihak” dari institusi pemberi tugas; siapa sosoknya, bagaimana adegannya, seperti apa gesturnya, wajah yang mana dan kapan yang digambarkan, dan seterusnya, dan sebagainya. Di sisi lain, Yusman dipandu secara ketat oleh “sejarah” gambar yang diidealkan terkait sosok-sosok atau peristiwa yang dimonumenkan. Pada ranah inilah, dalam pandangan saya, merupakan tegangan yang menarik untuk didiskusikan, terkait bagaimana mempercakapkan sejarah, tafsir/interpretasi visual, dan monumen, pertautannya dengan memori kolektif suatu komunitas, warga, masyarakat, atau bangsa.

Betapa pun, sebuah monumen dikepung oleh beragam persoalan dan kepentingan semacam itu, dan tidak dapat di abaikan adalah kebutuhan atau kepentingan artistik. Pada ranah itulah maka tak dapat pula diabaikan ruang interpretasi seniman yang ditugasi mengerjakan monumen. Rupanya semua pihak penting untuk mempelajari bagaimana proses lahirnya sejumlah monumen di era Presiden Soekarno, seperti Monumen Nasional (monas), Monumen Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, Dirgantara, Relief di Selasar Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Hotel Pelabuhan Ratu Beach, Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, dan Hotel Ina Bali Beach; atau Monumen Tugu Muda Semarang, dan lainnya. Perlu pula belajar hal yang sama dari para pemimpin institusi BUMN dengan inisiatif-inisiatif monumennya; seperti Monumen Tonggak Samudra (oleh Gregorius Sidharta Soegijo); Monumen Pahlawan (oleh Matvey Genrikkhovich Manizer dan Ossip Manizer, Rusia; dikenal public dengan sebutan Patung Pak Tani); Monumen Perjuangan Senen (Haryang Iskandar, Suhartono, H. Ahmad Sadiman, dan Suyono Palal); Monumen Jenderal Soedirman (oleh Hendra Gunawan di Halaman Gedung DPRD Yogyakarta, juga oleh Sunaryo di Jalan Sudirman Jakarta) Monumen Persahabatan (oleh Hanung Mahadi); Monumen Arjuna Wijaya, Monumen Garuda Wisnu Kencana (oleh I Nyoman Nuarta); Monumen Ikatan (oleh But Muchtar); Monumen Banteng Ketaton (karya Tridjoto Abdullah), Relief di (bekas) Bandara Kemayoran (S. Sudjojono, Harijadi Sumodidjaja, Soerono, dan Seniman Indonesia Muda); Relief di Gedung Sarinah (anonim; masih diteliti, dan lain-lainnya.

Kehendak untuk belajar dari proses yang pernah ada, setidaknya dapat dicatat, bahwa sebuah monumen dibangun/ dihadirkan karena latar memori kolektif baik bernilai sejarah, mitologi, atau legenda; dan pentingnya percakapan gagasan antarpihak – baik si pemberi tugas/order, maupun si penerima tugas/seniman – termasuk partisipasi publik. Bagaimana pun, kehadiran monumen, di samping sebagai penanda (tetenger) juga merupakan representasi warga, komunitas, atau bangsa, dengan sejumlah makna di baliknya.

Kembali pada karya-karya monumen garapan Yusman, tujuan dan makna itu melekat di sana. Apalagi monumen Garuda Pancasila dan sosok Presiden Soekarno di wilayah-wilayah perbatasan itu, langsung menunjuk pengertian denotative sebagai “gerbang” wilayah, dan membangun keteguhan jiwa, mental, dan harga diri warga terluar sekaligus terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia; seolah berseru kepada tetangga, “Ini lambangku, ini sosok ikonku, ini diriku dan diri kami.” Demikian pun monumen-monumen lainnya, mengajak siapa pun untuk menelisik dan menyusuri narasi di baliknya; apa yang bisa diserap dan diteladani dari sosok-sosok itu.

Karya-karya ekspresi personal yang disertakan dalam pameran ini dihasratkan untuk meneguhkan sosok Yusman dalam jagad seni rupa – khususnya seni patung – di Indonesia. Ia memiliki sejarah panjang dalam menggeluti profesinya, sikapnya, keteguhannya, dengan segenap dinamika yang dihadapi sekaligus diatasi dengan baik. Tidak hanya kisah sukses semata, tetapi kurva naik-turun dalam menjemput impian-impiannya.3 Karya-karya ekspresi personalnya dimulai dari kemampuannya berolah pada bentuk realistik; studi pada wajah dan tubuh sendiri (lihat karya Ekspresi, 1987; potret wajah sendiri, dan karya Termenung, 1993; potret diri dalam pose duduk termenung).

Perkembangan lebih lanjut karyanya, Yusman lebih intensif berada pada jalur formalisme, bersetia pada pengolahan komposisi bentuk dan kedalaman. Karya-karyanya – menggunakan material kayu, batu, dan logam – menunjukkan kepiawaian menyusun komposisi untuk segala arah pandang.

Yusman hari ini adalah Yusman yang harus membagi perhatian pada setidaknya dua hal. Pertama, bagaimana institusi CV. Rejeki Creative yang menampung berpuluh pekerja dan artisan patung monumen, dapat terus memiliki pekerjaan. Artinya, Yusman harus berupaya keras mendapatkan proyek-proyek monumen. Kedua, bagaimana hasrat personalnya sebagai seniman – pematung – yang kreatif, tetap dapat produktif berkarya, menjadi bagian dari keriuhan seni rupa. Kedua perhatian ini tidak membuat dirinya menjadi terbelah, tidak membuat dirinya dalam dilema, akan tetapi menumbuhkan semangat lebih menyala, karena memanggul tanggung jawab yang terus membesar.

Pameran GERBANG karya-karya monumentalnya meneguhkan Yusman dalam peta seni rupa, khususnya seni patung, lebih khusus lagi patung monumen di Indonesia. Keterlibatannya pada kompetisi dan pembuatan monumen Presiden Soekarno di Mexico City pada 2017, merupakan bukti yang lain, bagaimana ia memasuki ruang-ruang internasional. Si anak Pasaman, Sumatera Barat ini masih menyimpan impian-impian yang demikian banyak, terkait seni patung sebagai bagian dari proyek pariwisata dan kebudayaan.

Catatan:

  1. Institusi Pendidikan tinggi seni rupa pertama adalah ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta, yang diresmikan pada 15 Januari 1950. Pada tahun 1947, Fakultas Seni Rupa dan Desain dilahirkan, tetapi menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung.
  2. Suwarno Wisetrotomo, “POROS: Seni Rupa Koleksi Nasional dan Kelindan Persoalannya” dalam POROS – Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #3, diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia, Agustus 2021.
  3. Lihat sejumlah risalah: Suwarno Wisetrotomo, “Menjadi Yogyakarta”, dan “Yogyakarta Istimewa dan Relief-Relief Yusman” dalam Pameran Seni Rupa Sewindu UUK DIY, Yogyakarta: Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY (Grhatama Pustaka dan Depo Arsip), 31 Agustus – 30 September 2020. Kemudian risalah panjang yang ditulis Suwarno Wisetrotomo, Dari Pasaman ke Istana Presiden, Yogyakarta: Studio Patung Yusman, 2019. Buku ini dalam proses untuk diterbitkan oleh Penerbit KPG (Kompas Gramedia).