Pameran dan kompetisi lukisan cat air ini dirancang di tengah keprihatinan yang mendalam akan pandemi covid yang terus mengancam. Tingginya jumlah peserta telah membayarnya lunas. Itu memperkuat keyakinan bahwa budaya seni lukis cat air tidak akan pernah mati. Bahkan tidak juga oleh pandemi covid yang begitu dahsyat.
Ketika baru berusia balita, pada tahun 2015 IWS (International Watercolor Society) Indonesia menginisiasi pameran yang diikuti oleh 141 seniman dari 24 negara. Ajang kompetisi disertakan pertama kali pada pameran yang ke-3. Pameran komplit tersebut diikuti 312 peserta dari 56 negara. Itu berlangsung pada tahun 2019, pada saat Indonesia belum terjangkit pandemi maut tersebut. Tahun 2022 ini, pada hajatan yang ke-4, ada 176 peserta berasal dari 31 negara. Jumlah yang sangat bagus mengingat seluruh dunia ambyar oleh pandemi covid.
Angka-angka tersebut sudah berbicara sendiri. Bahkan tahun ini ada bonus, berupa kesertaan anak-anak. Mereka masuk di dalam kategori khusus. Perluasan peserta ini boleh dilihat sebagai strategi yang tepat terutama dari aspek pendidikan. Kalau itu dilakukan terus menerus, dan tidak harus selalu terkait dengan agenda besar yang melibatkan para pelukis asing sehingga bisa lebih sering dilakukan, tentu akan ikut menumbuhkan minat masyarakat luas kepada seni lukis cat air.
Keyakinan tentang daya hidup seni lukis cat air itu juga didukung oleh berbagai fakta antara lain dari begitu banyak aktivitas melukis bersama di kalangan pecinta cat air. Sudah tentu keriangan mengikuti plen air tersebut tidak terpisah dari kegirangan menggambar secara bersendiri. Sebutlah itu yang dilakukan di rumah, di tempat kerja, bahkan juga di saat duduk manis di dalam gerbong kereta.
Apakah suka cita bermain cat air itu berbanding lurus dengan mutu karya yang meningkat? Jawaban bisa “ya” dan bisa “tidak”, atau sekaligus keduanya. Namun demikian kita layak berbesar hati melihat berbagai kegiatan semacam itu yang marak. Dalam hal ini termasuk yang juga sedang nge-trend seperti melakukan skets bersama di kalangan juru sketsa dan illustrator. Tingkat keseringan yang tinggi di dalam praktek olah seni apapun akan mendongkrak ketrampilan teknis dan kepekaan yang dibutuhkan.
Jumlah pegiat cat air dari bermacam komunitas di berbagai daerah mencapai belasan ribu menurut Wawan, aktivis cat air dari komunitas Kolcai chapter Jabodetabeka. Itu tafsiran pesimis. Belum lagi ribuan dari kalangan pecinta sketsa maupun para illustrator.
Jumlah sebesar itu boleh memberi panorama yang luar biasa: Indonesia yang gemar menggambar!
Forum-forum pertemuan untuk bertukar gagasan dan sekaligus sebagai pengayaan wawasan, akan lebih lagi dibutuhkan ketika tradisi melukis bersama bisa berlangsung bersinambung. Unjuk karya kemudian menjadi semakin penting.
Hanya dengan beberapa butir perkara tersebut eko-sistem seni rupa cat air sudah bisa ditumbuhkan. Tentu masih ada beberapa syarat lagi agar kehidupannya sehat dan juga realistis: pasar karya seni yang harus terus dibangun, dan kritik seni yang produktif dan bersifat positif.
Mungkin masih bisa ditambahkan satu dua soal seperti misalnya kehadiran media (dalam bentuk apapun) yang mendukung. Juga perlu hadirnya patron-patron yang bersungguh di dalam mencintai seni cat air. Tak kalah penting adalah lembaga seni yang berwibawa yang secara rutin memberi penghargaan pada pencapaian seni.
Apakah itu suatu gagasan yang muluk-muluk?
Tidak. Semua yang tertulis di muka hanyalah prasyarat bagi tumbuh kembang jenis kesenian apapun secara sehat. Berlaku umum dengan penyesuaian tertentu seturut sifat dan kekhususan jenis seni yang bersangkutan.
Pertanyaannya justru, apakah kita siap?
Tema dan Daya Ungkap
Hajatan besar ini berlangsung di bawah tajuk “Wonderful Indonesia”. Segera terbayang lukisan seperti apa yang bakal menyerbu meja penyelenggara, laptop para juri, dan kemudian hasil seleksinya mengisi dinding pameran. Sebutlah itu gambaran umum tentang Indonesia yang molek, dahsyat alamnya, beragam adat istiadat dan budaya dari berbagai daerah. Belum lagi ragam hias, baju, tarian, upacara keagamaan, candi, keraton, dan situs-situs arkeologis yang menawan.
Kalau tidak hati-hati, memang orang gampang terperosok pada pengulangan-pengulangan yang membuat nyaman. Dengan daya pikat visual yang tinggi, karya-karya nyaman ini bertaburan di berbagai pameran rupa ---bukan hanya di Indonesia. Kartupos bergambar tentang kawasan wisata yang populer sering menjadi acuan.
Karena itu memang ada bagian kecil yang benar dari kecemasan atas tema-tema sejenis ini. Antara lain disebut bahwa tema semacam ini “membodohi”, “membuat malas berfikir”, “memberi peluang pada pengulangan dan kenyamanan”, dan sebagainya.
Pada praktiknya tema semacam ini justru merupakan pilihan yang masuk akal ketika Anda berhadapan dengan para pegiat seni yang loyal dengan satu jenis medium seperti cat air. Pada umumnya mereka baru saja beringsut dari pehobi dan mulai menapaki jalan yang lebih serius. Sebagian kecil merupakan pelukis professional. Kemudian barulah sebagian yang lebih kecil lagi, yang memandang dan memperlakukan seni sebagai “jalan hidup”.
Dua kelompok terakhir ini yang paling mungkin siap dengan energi ekstra untuk merenungkan tema yang lebih rumit, lebih menantang, dan lebih kompatibel dengan arus seni semasa yang berubah secara cepat dan signifikan. Demi adilnya mohon membaca perkara pengelompokan itu dengan batas-batas yang tidak ketat karena ini hanya cara untuk memudahkan pembicaraan.
Mungkin perlu ditambahkan di sini bahwa tema hanyalah pengikat atau katakanlah alasan serta pemicu untuk menggambar. Ribuan puisi tentang cinta telah diciptakan sejak zaman pra-sejarah, dan hari ini kita masih terus mendapati karya-karya yang baru. Yang lebih penting di dalam perkara ini ternyata bukan tema, melainkan cara mengungkapkannya.
Begitulah maka candi Borobudur, Tanah Lot, penari Legong, wayang kulit, kesibukan di pasar, pohon flamboyant, sungai-telaga-gunung, atau upacara Ngaben, telah dilukiskan ribuan kali dan akan ada ribuan lagi. Orang tidak bosan melukis dan penonton tidak bosan menikmatinya. Karena apa? Karena daya ungkap yang memang berbeda-beda, seturut DNA atau “cap jari” senimannya.
Dengan kelegaan seluas ini kita boleh dengan santai menikmati karya-karya yang tersaji. Kompetisi telah menghasilkan masing- masing tiga pemenang di kategori figurative dan non-figurative. Itu masih ditambah 5 karya favorit masing-masing untuk peserta asing dan peserta Indonesia. Ada jaminan bahwa Anda akan disuguhi karya-karya unggul yang telah melewati seleksi ketat.
Pada kelompok figurative tampak karya-karya pemenang tidak bersandar semata pada kepiawaian teknik yang memang sudah seharusnya unggul. Mereka masuk ke wilayah di balik yang tampak, menggugah permenungan yang bisa panjang.
“Mastery” oleh Luan Quach, Kanada, memantik pertanyaan siapa menguasai siapa di dalam relasi antara manusia dan alam yang diwakili oleh sosok komodo. “Memories of Bali” karya Lew Min Seong dari Malaysia menyodorkan persepsi khas seseorang di dalam menghadapi realitas dengan membagi kanvas menjadi susunan bidang-bidang vertikal. Obyek pemandangan situs suci menjadi jauh berbeda. “Abundant Blessing” ciptaan Danni Liu, Australia, dengan permainan cahaya yang prima langsung mendesakkan suasana dramatic yang hening berisi, sublim, lewat penggambaran bocah yang bersembahyang.
Namun demikian sesungguhnya cukup banyak lukisan lainnya yang kuat dan memikat. Misalnya seperti “Batak House” (Anna Lisa Ekku Astrand/ Swedia) yang memancing diskusi tentang hubungan manusia dengan alam: rumah itu terlihat sangat mungil di tengah keluasan semesta. Sebut pula “Island scape” (Foti Kllogjeri/ Yunani) atau permainan bloboran khas cat air dalam “Wayang II” (Joe Cho/ Kanada).
Karya-karya Indonesia tak kalah menarik. Untuk menyebut beberapa saja boleh dilihat “Merasuk Topeng Panji” garapan Widyarto Gunawan yang mendemonstrasikan komposisi yang elok dan berhasil-guna. Lihat pula misalnya “The Batik Maestro” karya Yukiko PH yang menemukan sudut pandang memikat, atau “Morning in Ubud” dari Tinna Widianti dengan permainan cahaya matahari pagi.
Peserta non-figurative selalu minor dalam jumlah, namun tidak mutunya. Pemenang utamanya, “Tehcno Moon in Bali” garapan Buds Convocar dari Filipina sungguh menantang dengan menafsir kemajuan teknologi (dan peradaban) di dalam mengelola unsur alam, di dalam hal ini “bulan”. Ada sejumlah lainnya yang menonjol.
Indonesia menyisipkan “Spirit of Adiluhung” ciptaan William Robert di antara favorit juri.
Pada tahun 2022 ini untuk pertama kali anak-anak disertakan di dalam lomba dan hasilnya juga dipamerkan. Terpilihlah tiga pemenang cilik. Pertimbangan antara lain bahwa mereka sudah menguasai ketrampilan yang dibutuhkan untuk mengungkapkan gagasannya.
Sangat kebetulan tidak ada satupun dari pemenang yang memperlihatkan gejala “kekanakan” yang umum dianggap sebagai semacam ciri karya visual mereka. Sebaliknya yang terlihat justru ketrampilan yang memadai, bahkan ada yang melampaui dugaan, seperti yang diperlihatkan oleh “Anoman Obong” (Alyssa Kusnoto). Pencapaian dua karya lainnya tak bisa dianggap remeh, yaitu “Mighty Rinjani Mountain” karya Martina Margaret Mardjuki dan “Trade in traditional Market” ciptaan Safira Chaerunisa.
Terakhir, ada beberapa catatan khusus. Yang pertama adalah keberanian Liga Surya Fajar untuk memanfaatkan lambang dan tanda serta huruf di dalam notasi musik ke dalam karyanya, “Indonesia Raya”. Ia memperlakukannya sebagai elemen visual yang memenuhi seluruh bidang gambar. Karya ini memenuhi aspek penting yaitu ketak-terdugaan.
Kedua, bermain motif hias tampaknya tetap menjadi salah satu cara yang dianggap efektif untuk menampilkan keindonesiaan yang ditawarkan oleh penyelenggara. Lihat contohnya seperti karya-karya Lestari Suganda dan Baskoro Sardadi, untuk menyebut dua nama dari sekian banyak pelaku.
Ketiga, berburu obyek yang khas lokal namun mendunia seperti candi, relief, patung maupun corak bangunan arkeologis masih merupakan favorit. Itu terlihat bukan hanya pada peserta Indonesia tapi juga pelukis dari berbagai negara.
Pada akhirnya, selamat menikmati karya-karya yang unggul.
Efix Mulyadi
*Tulisan pengantar pameran lukisan cat air “Wonderful Indonesia” oleh IWS Indonesia di Galeri Nasional Jakarta, tanggal 23 November – 20 Desember 2022
*Efix Mulyadi adalah wartawan, kurator IWS Indonesia, kurator Bentara Buday