Penyelenggaraan MANIFESTO tahun ini berlangsung tak biasa dengan digunakannya dua lokasi pameran di Galeri Nasional Indonesia serta di gedung bersejarah STOVIA (yang kini disebut sebagai Museum Kebangkitan Nasional), Jakarta. Penggunaan kedua lokasi pameran tersebut menyegarkan kembali gagasan awal penyelenggaraan Pameran MANIFESTO kali pertama (tahun 2008) sebagai bentuk perayaan bagi peringatan momen satu abad gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia (sejak tahun 1908). Kedua lokasi pameran ini memiliki karakter tempat yang kurang lebih mirip, dengan bentuk bangunan arsitektural klasik, serta fungsi dan peran kelembagaan yang hampir sama: sebagai museum. Namun masing-masing dari keduanya tak sama terkait dengan jenis materi pamer serta sasaran tugas khusus yang dijalankannya Kesamaan dan perbedaan antarkedua lokasi pameran ini, setidaknya, menjelaskan dua hal penting. Pertama, perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia hingga kini telah menciptakan model penerimaan publik seni yang memungkinkan sebuah ekspresi karya seni rupa untuk dipresentasikan di tempat atau ruang-ruang publik (khususnya berkaitan dengan fungsi dan peran gedung STOVIA yang kini dijadikan sebagai museum kesejarahan). Kedua, gagasan penciptaan karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia, pada umumnya, menjadi khas serta signifikan karena selalu menghubungkan dinamika kemajuan masyarakat kontemporer kini dengan landasan pembelaan sikap etis dalam kerangka sikap kebangsaan.
Undangan kuratorial pameran yang bersifat terbuka, dalam praktiknya, telah berhasil mengumpulkan partisipasi para seniman dari berbagai kota yang tersebar di wilayah Indonesia. Kondisi urbanitas Indonesia, dengan konteks situasi sosial-budaya beragam yang turut memengaruhi proses penciptaan para seniman, telah menghasilkan cara-cara dan strategi artikulasi ekspresi yang beraneka dan inspiratif. Para seniman yang menetap maupun bekerja di lingkungan kota dengan arus lalu lintas informasi global yang lebih padat dan cepat, cenderung lebih peka dalam cara-cara mereka menangkap berbagai detail persoalan maupun isu perubahan lingkungan dan pengalaman hidup mutakhir. Ekspresi seni, termasuk seni rupa kontemporer, memang turut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan konkret yang mendesak proses kreatif para seniman yang menciptakannya. Namun demikian, dunia pengalaman para seniman tak sepenuhnya berkaitan hanya dengan persoalan konkret dan yang aktual saja, tapi juga terutama dengan berbagai residu memori dan imajinasi yang bahkan bersifat abstrak dan nonkontekstual. Dengan demikian, maka kekuatan gagasan penciptaan maupun dorongan ekspresi seni, sering kali, justru berkaitan dengan sikap dan tindakan “bagaimana” yang dipilih seorang seniman secara khas dan personal. Sang seniman tak hanya membayangkan situasi apa yang tengah terjadi, tetapi terutama soal bagaimana situasi tersebut memengaruhi dirinya, lingkungannya, masyarakatnya, atau tradisi budaya yang dipercaya oleh dirinya. Boleh jadi, seperti yang pernah dikatakan pelukis Nashar, “Seni itu bukan persoalan Apa tapi Bagaimana.“
Dalam konteks pameran ini, kita membicarakan perkembangan seni pascagejolak kemajuan ekspresi seni rupa sebagaimana dikenal sebelumnya oleh para seniman modern, termasuk Nashar. Ada suasana yang berbeda dalam gelak perkembangan seni rupa kini dengan era seni yang dialami para seniman segenerasi Nashar, namun bukan berarti keduanya telah sepenuhnya terpisah. Pada umumnya, ekspresi karya-karya seni rupa kontemporer memperagakan kecenderungan dari sejenis kepekaan khas yang dikenali sebagai sensibilitas alegoris (allegorical sensibility). Istilah “alegoris” menjelaskan pengertian tentang cara penumpukan muatan ekspresi atau tanda-tanda bacaan (text) yang dimaksudkan menjadi suatu “kisah” pernyataan ekspresi—biasanya maksud ini dinyatakan lewat menumpukkan tanda-tanda di masa kini dengan tanda yang sebelumnya ada di masa lampau. Secara teknis, sensibiltas alegoris umumnya tampak sebagai suatu bentuk percampuran (atau tepatnya “pertemuan”) antara tanda-tanda ekspresi karya yang telah diciptakan oleh pihak seniman lain sebelumnya dengan ekspresi seorang seniman saat kini. Dalam pertemuan tersebut terdapat maksud untuk menafsirkan-kembali ekspresi karya atau tanda yang pernah diciptakan sebelumnya; namun yang lebih penting justru jadi cara untuk penciptaan perspektif pemahaman baru tentang gagasan atau persoalan tertentu dengan menyatakan relasi yang terbarukan dari hubungan-hubungan masa lalu dan masa kini. Relasi atau dialog semacam inilah yang sering kali disalahartikan oleh sebagian pihak yang tidak memahaminya, dan hanya dianggap jadi sekadar bentuk “peniruan” atau copy yang dilakukan seorang seniman terhadap gagasan seniman lainnya.
Sebenarnya, bentuk-bentuk dialog antara satu hasil karya penciptaan dengan karya penciptaan lainnya adalah sebuah kelaziman yang terjadi dalam tradisi penciptaan seni. Proses penciptaan, bahkan klaim pembaharuan, idiom ekspresi “milik” seorang seniman, pada dasarnya adalah hasil dari cara penafsiran terhadap praktik penciptaan seni yang dilakukan praktik seni sebelumnya. Praktik penciptaan seni rupa kontemporer menjadi khas justru karena merayakan hasil-hasil kemungkinan dari ekspresi yang diciptakan melalui tindakan atau proses dialog; yang lebih penting lagi, ekspresi seni rupa kontemporer justru mencegah untuk menyatakan klaim hasil penemuan individual yang bersifat eksklusif serta transendental (orisinalitas). Sensibilitas alegoris tak hanya berlaku sebagai hasil bentuk atau tanda visual yang jelas, lebih sering justru ada dalam mekanisme sensibilitas ekspresi yang bersifat samar atau tersembunyi dalam jenis teknis, medium, alat, atau teknologi yang dimanfaatkan praktik penciptaan seorang seniman kontemporer. Pameran ini secara khusus tertarik untuk menciptakan pertemuan, melalui penyejajaran, berbagai idiom ekspresi karya-karya yang memiliki relasi-relasi kesamaan namun sekaligus juga menunjukkan tegangan keberbedaan arah kecenderungan sensibilitas alegoris yang dipilih oleh masing-masing seniman. Pengelompokan presentasi karya-karya yang dipamerkan, dibayangkan mampu menunjukkan kaitan interaktif serta inspiratif antara karakter-karakter ekspresi karya-karya yang representasional dengan yang bersifat naratif, yang simbolik dengan yang ikonik, yang abstrak dengan yang mekanistik, serta karya-karya yang interaktif dengan yang performatif.
Karya-karya MANIFESTO VIII: TRANSPOSISI menunjukkan jenis dan karakter medium ekspresi yang beraneka; bentuk maupun ukuran karya-karya pun bervariasi: ada karya-karya dengan ukuran maksimal dengan sifatnya yang ekspansif atau instalatif serta karya-karya dengan ukuran minimal yang justru memilih karakter ekspresi yang lebih intim. Setidaknya, terdapat tiga catatan penting mengenai watak medium ekspresi dalam pameran ini: pertama, adanya kecenderungan intensifikasi pengolahan dari medium-medium ekspresi yang bersifat konvensional (dari karya-karya yang disebut sebagai gambar, lukisan, atau patung); kedua, adanya jenis-jenis eksplorasi maupun perluasan karakter medium ekspresi dengan cara memanfaatkan hasil penggabungan jenis-jenis material atau objek yang menjadi mungkin termanifestasikan sebagai sebuah kesatuan gagasan (misalnya material serat, daun, batu bata, atau kertas); dan ketiga, adalah penggabungan atau interaksi antara medium karya yang bersifat aktual dengan karya digital yang bersifat virtual.
Gagasan para seniman dalam pameran ini pun menyampaikan gerak perkembangan dari beberapa isu permasalahan mengenai situasi pengalaman hidup mutakhir kini, baik dalam konteks persoalan personal, sosial, ataupun kultural. Catatan khusus perlu ditambahkan, bahwa juga terdapat beberapa ekspresi karya-karya seni rupa yang berbentuk abstrak—baik dalam karakter abstraktif maupun nonrepresentasional— yang turut memberikan warna perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia yang berlangsung kini. Wacana seni rupa kontemporer Indonesia sejak awal justru dikenal dan didominasi oleh pembicaraan tentang kecenderungan “seni rupa kontekstual”, atau sering kali dikenali sebagai ekspresi seni rupa yang memuat berbagai persoalan sosial maupun personal yang bersifat kritis bahkan politis. Munculnya ekspresi karya-karya seni rupa abstrak dalam perkembangan seni rupa mutakhir kini akan merangsang kembali arah pembicaraan tentang cara mengenali-kembali wajah tradisi penciptaan seni rupa secara khas dan spesifik.
Beberapa tema “klasik” dalam kebiasaan umum ekspresi seni rupa Indonesia tetap tampak jelas dalam ekspresi Pameran MANIFESTO ini. Muatan atau konteks persoalan yang ditunjukkan karya-karya yang dipamerkan, setidaknya, mampu terus mengungkapkan kembali secara baru persoalan-persoalan yang berkaitan dengan: (i) ekspresi pendapat berdasarkan cara-cara penghayatan budaya dan tradisi lokal, (ii) situasi manusia dan nilai kemanusiaan sebagai enigma atau nestapa, (iii) gambaran alam (lingkungan dan mahluk hidup) yang kini makin terancam berbagai hasil perubahan kemajuan hidup, serta (iv) tema persoalan tentang pengalaman dan lingkungan hidup yang kini tengah ditetapkan oleh dampak maupun hasil-hasil kemajuan sains dan teknologi. Tentu saja setiap tema, isu, atau konteks persoalan yang diekspresikan oleh para seniman ini tak berarti berdiri sendiri dan bersifat eksklusif, selain justru bisa saling terkait satu dengan lainnya baik secara langsung maupun tersamar.
“TRANSPOSISI” sebagai tema kerja kurasi maupun judul pameran ini —demi menyatakan situasi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia kini— lebih dari sekadar undangan bagi para seniman untuk menentukan posisi dan peran kerja penciptaan seni mereka yang baru (atau sekedar “reposisi”). Tema “TRANSPOSISI” terutama menganggap penting upaya pengetahuan dan kesadaran para seniman untuk terus memeriksa kamus gagasan maupun tindakan penciptaan seni yang sebelumnya telah dikerjakan oleh masing-masing seniman sehingga mampu menemukan atau menciptakan lokasi peran seni yang terbarukan. Ekspresi pameran seni rupa memang bukan soal mengumpulkan berbagai hasil pandangan atau pendapat akhir dari para seniman yang tengah berpameran, selain adalah sebuah kesempatan bagi perjumpaan antara satu gagasan dengan yang lainnya, antara beberapa kaitan ekspresi dengan beberapa yang lainnya, demi menemukan bentuk-bentuk penciptaan yang lain. Pendek kata, pameran ini memanfaatkan gagasan soal “TRANSPOSISI” sebagai kemungkinan cara untuk terus menemukan atau menciptakan bentuk-bentuk yang hidup dari ekspresi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, kini dan masa kemudian.
Jakarta, Juli 2022
Kurator, Rizki A. Zaelani – Suwarno Wisetrotomo – Citra Smara Dewi – Teguh Margono