Suvi Wahyudianto (Bangkalan, Madura, 28 April 1992) adalah seniman muda asal Madura, tengah menempuh pendidikan Magister Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 2018 Suvi mendapatkan penghargaan UOB Painting of The Year 2018 ditingkat nasional (Indonesia) dan internasional (Asia Tenggara) untuk karyanya yang berjudul Angs’t, sebuah karya mixed media yang mengartikulasikan konsep empati dalam rangka menanggapi pengalaman personal dan ingatan kolektif tentang konflik sosial. Dan pada tahun 2021 Suvi mendapatkan penghargaan Young Artist Award Arjog MMXXI untuk karyanya berjudul Telepresance After 20th.
Praktik artistic Suvi mencakup upaya penjelajahan bahasa visual melalui pendekatan puitik untuk meluaskan kemungkinan interpretasi atas peristiwa-peristiwa tragis yang berkaitan dengan ketegangan sosial-budaya pada masa lalu dan hari ini, juga mengurai isu-isu terkait politik identitas. Melalui kajian tekstual dan studi sejarah bersifat partisipatoris, serta elaborasi pendekatan autoetnografi ke dalam ranah seni rupa, Suvi focus menciptakan karya yang berusaha mengungkai narasi baru sebagai tandingan terhadap narasi-narasi arus utama, dalam upayanya mendekonstruksi wacana konflik kekerasan yang selama ini bergulir di masyarakat, serta mendorong gagasan rekonsiliasi dan peningkatan kesadaran empatik pasca konflik. Penjelajahan puitik tersebut kerap ia terjemahkan ke dalam berbagai teknik penciptaan dan pengolahan medium, dengan beragam hasil mulai dari lukisan, instalasi objek, hingga karya-karya berbasis teks.
Telepresance After 20th
2021
Foto polaroid, fotografi, pelat besi, dan video kompilasi
Dimensi bervariasi, durasi 1 menit 16 detik
Pandemi Covid-19 mengharuskan saya untuk hanya berada di dalam studio di Yogyakarta. Kondisi ini menuntun saya rindu akan rumah di Madura. Untuk membebaskan perasaan rindu itu, saya memilih perjalanan virtual ke dalam jejaring dunia Internet. Ketika berselancar di internet, tiba-tiba ingatan saya kembali pada perjalan fisik di tahun 2019, ketika saya sedang menjalani art residency di Singkawang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Saat residensi saya mendapatkan kenyataan bahwa ada semacam peraturan tidak tertulis, yang menjelaskan bahwa “Orang Madura tidak boleh memasuki Sambas” karena tragedi yang terjadi 20 tahun yang lalu. Namun kini, melalui teknologi internet saya mampu mendobrak aturan di dalam ruang fisik atau realitas tersebut melalui ruang maya. Teknologi internet melumat habis kesepakatan di ruang fisik itu. Teknologi juga menjadi penawar rindu pada tanah kelahiran, pada mereka yang harus pergi dan pindah. Meski tragedi itu sudah lewat kita masih melihat kenyataan yang tersembunyi. Penggunaan kertas foto polaroid karena media ini mulai ditinggalkan, usang dan terasing. Namun, dari segi kisah masih ada kesamaan, menjadi memorial object, menjadi samar, menjadi ambang.