Tjutju Widjaja lahir di Bandung, 25 Februari 1941. Saat ini merupakan perupa dan dosen. Pada tahun 2020 Tjutju menyelesaikan program studi doktoral di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Karya-karya mutakhirnya merupakan hasil eksplorasi yang memadukan seni kaligrafi tradisional China dengan seni lukis abstrak ekspresionisme.
Pada 2021, Tjutju diundang oleh maestro seni rupa Indonesia, Sunaryo, untukberkolaborasi membuat karya bersama yang prosesnya dipentaskan dalam performance art di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung.
Beberapa penghargaan yang telah diraihnya adalah Pelukis Terbaik Kompetisi Seni Lukis Jawa Barat, Disbudpar, Bandung (2006) dan Gold Award and Special Award “Indonesia Bali Line” The Third International Painting and Calligraphy Exhibition for Th 62th Anniversary of the Asian and African Meeting, Beijing (2017). Tjutju juga aktif berpameran di dalam dan luar negeri, seperti pameran di Svasti Gallery India (2017); pameran di Eco-Gallery Jepang (2018); pameran di Dubai dan Swedia (2019); dan Pameran Tunggal “SUMARAH” di Selasar Sunaryo Art Space (2020).
Brave
2021
Tinta cina pada kanvas berlapis kertas kaligrafi xian zhe
200 x 300 cm
Karya ini merupakan ekspresi kekaguman saya terhadap sosok Zhai Ji, seorang pendeta perempuan pemeluk agama Tridharma. Sebagian besar sejarah mereka berasal dari perempuan yang ditelantarkan. Hal ini dikarenakan budaya patriarki bangsa China yang menganggap perempuan sebagai sosok yang tak berharga. Zhai Ji tumbuh dalam lingkungan Kelenteng Perempuan (Zhai Am) dan hidup selibat. Ironisnya, eksistensi Zhai Ji justru penting bagi masyarakat etnis Tionghoa karena Zhai Ji dibutuhkan sebagai pemuka dalam berbagai ritual penting.
Brushstroke dalam karya-karya saya merupakan abstraksi dari 3 kata yang masing masing ditulis dalam 3 lapis kaligrafi. Lapis pertama merupakan abstraksi dari kata "takut", merepresentasikan perasaan perempuan yang ditelantarkan. Lapis kedua merupakan abstraksi dari kata "beradaptasi", merepresentasikan proses perjuangan dan usaha para perempuan untuk hidup secara mandiri dan bergotong-royong. Lapis ketiga merupakan abstraksi dari kata "berani", merepresentasikan puncak mentalitas para perempuan pendiri Kelenteng Perempuan yang berani untuk bereaksi terhadap budaya patriarki dengan cara mereka sendiri yang jauh dari konflik.