Kuratorial David

RESTART

“Berhenti sejenak untuk melompat lebih jauh lagi”

Budaya daerah sangat diperlukan dalam pembentukan kebudayaan nasional sebagai penanda identitas nasional. Kebudayaan dan simbol-simbol daerah harus mampu berjalan seiring dengan perkembangan budaya Indonesia serta harus mampu menampilkan sosok dirinya sebagai budaya yang tidak ketinggalan perkembangan zaman, oleh karena itu kebudayaan daerah harus berani melakukan upaya revitalisasi, reposisi, dan reaktualisasi potensi yang dimiliki.

Dialog atau interaksi budaya antara suku bangsa dengan bangsa lain semakin meningkat. Diharapkan hal ini tidak akan membuat larutnya budaya dan keragaman daerah oleh pengaruh budaya lain. Sebagai bangsa yang terdiri atas banyak suku bangsa dan budaya yang berbeda-beda makin lama makin kita sadari betapa pentingnya menyikapi keanekaragaman budaya itu secara benar.

Meskipun berbeda-beda tetapi hakikatnya tetap satu, Bhineka Tunggal Ika konsep inilah yang seharusnya menjadi acuan kita sebagai bangsa, dalam bentuk multi budaya (multicultural). Dan bukan sebaliknya dalam bentuk peleburan menjadi satu tetapi sesungguhnya tetap saja berbeda-beda. Justru dengan banyaknya perbedaan itulah akan lahir sebuah ‘mozaik’ yang indah, unik, dan menarik.

Mungkin untuk ‘menyejukan’ kondisi bangsa Indonesia yang sedang berduka akibat wabah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Dengan kondisi saat ini kita harus terus bersemangat memunculkan karakter daerah dalam bentuk karya seni, pergolakan antara keinginan dan kondisi saat ini selalu terus kita upayakan agar tetap selalu seimbang pada porsinya masing-masing.

Memahami makna di balik sebuah karya setidaknya memerlukan kepekaan untuk berdialog antara indra dengan rasa bahkan dengan jiwa pada saat menghayati kedalaman suatu karya. Komunikasi rasa menimbulkan ketertarikan atau ada getaran jiwa ‘greng’ (meminjam istilah pelukis Widayat).

Sesuai dengan perkembangan zaman, pengertian tentang seni bukan lagi bagaimana gambar tercipta, atau sekadar tiruan namun kesanggupan seniman menarasikan gagasannya yang terhubung dengan peristiwa-peristiwa. Dan ruang-ruang pameran menjadi sarana edukasi, ruang dalam dengan interaksi peristiwa-peristiwa yang terkandung didalamnya.

Indonesia hari ini adalah Indonesia yang terus berproses ‘menjadi’ dengan sejumlah permasalahan yang jika tidak hati-hati dalam menyikapinya, bisa membahayakan kita semua. Permasalahan yang dimaksud antara lain, situasi sosial, politik, dan ekonomi yang penuh dengan guncangan.

Kondisi semacam itu akhir-akhir ini mewujudkan dalam bentuk intoleransi, krisis kepercayaan, bahkan rapuhnya kekerabatan, teknologi informasi menciptakan situasi persilangan (juga benturan) antara yang nyata dengan yang maya, antara yang benar dengan yang salah, antara lain melalui lalu lintas informasi yang mudah dan cepat.

Dialog budaya dalam ruang apresiasi virtual, membangkitkan semangat untuk mengolah rasa, pikiran dan waktu, daya serap para pelukis merekam sebuah peristiwa budaya, direpresentasikan dalam karya lukis dan instalasi, berbagai persoalan, budaya, sosial, ekonomi. Kearifan lokal dengan nuansa kekinian.

Kesadaran berbudaya dan kesadaran budaya berbangsa memiliki persamaan makna di samping perbedaan. Kesadaran berbudaya itu ditandai kesadaran dari semua suku bangsa untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia dalam merespons lingkungannya.

Kehidupan mereka mencerminkan sebagai suku-suku bangsa yang telah memiliki budaya dan peradaban yang tinggi. Masing-masing memiliki kesadaran untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaannya, dan menggunakan sebagai acuan dalam kehidupannya.

Bagaimanakah persisnya kita bisa memahami perubahan dan kontras yang terjadi di Indonesia? Arus balik yang cepat menuju politik-perspektif di era new normal pasca pandemi menunjukan dua kecenderungan yang saling bertentangan dan memperumit persoalan.

Pertama, adalah bahwa selama pandemi kita bingung mau berbuat apa, karena semua serba dibatasi ruang geraknya, semua sektor ekonomi, budaya, politik tertidur lelap dengan perubahan-perubahan yang sangat signifikan.

Kedua, setelah bangun dari mimpi kolektif kita dihadapkan dengan dunia digitalisasi yang semua serba modern, perpindahan budaya tersebut membuat kita tergagap dengan keterbatasan ketika garis persepsi antara mimpi, sosial, budaya, politik tak bisa dibedakan lagi dengan akal sehat.

Perpindahan budaya di era new normal dengan suguhan digitalisasi ‘nyaris belum bisa’ merubah keterbiasaan yang sering dilakukan sehari-hari, no physical contact. Potret budaya kita dengan garis tegas bahwa kita belum mampu dan terbiasa dengan aturan-aturan yang ada.

Indonesia bertempur melawan Covid-19, diperankan oleh kepala negara sedang berduka menggunakan sarung tangan tinju, berlomba-lomba menyuarakan vaksin dengan menggantung masker dan berserakan pecahan telur. Apakah Indonesia bisa bebas Covid-19? Kesadaran dan kewarasan kita diuji dengan tradisi dan budaya baru.

Mari kita bergandengan tangan tanpa ada perbedaan suku dan bangsa (akulturasi) mengedepankan, melestarikan kearifan lokal, tradisi yang sudah ada sejak dahulu tanpa ada kesenjangan sosial.

Bandar Lampung, 26 September 2021