Pameran Seni Rupa “RestArt” dalam perspektif kurasi pameran ini hadir dalam rangka Temu Karya Taman Budaya (TKTB) 2021 di UPTD Taman Budaya Provinsi Lampung. Pameran ini diinisiasi oleh Galeri Nasional Indonesia (GNI) bekerja sama dengan forum Taman Budaya se-Indonesia, khususnya dengan UPTD Taman Budaya Provinsi Lampung sebagai tuan rumah TKTB tahun 2021. Landasan kuratorial pameran ini berbeda dengan pameran seni rupa dalam TKTB sebelumnya (2019) di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, di mana kurasinya dibingkai dalam format Pameran Keliling GNI dengan menampilkan karya-karya perupa dari berbagai daerah di Indonesia, juga karya-karya koleksi GNI.
Pada tahun 2021, pameran ini merupakan program pameran kerja sama GNI dengan lembaga budaya dalam bentuk Pameran Seni Rupa Daring dalam Rangka TKBT Tahun 2021 dengan tajuk “RestArt: Berhenti Sejenak untuk Melompat Lebih Jauh Lagi”. Pameran ini merupakan wadah atau ruang bagi keragaman ekspresi budaya sekaligus mendorong interaksi budaya yang memungkinkan terjadinya silaturahmi kesenian antara berbagai wilayah budaya yang ada di Nusantara. Dengan landasan kurasi tersebut, pemilihan peserta pameran dilakukan dengan menjaring calon peserta melalui Taman Budaya se-Indonesia atau lembaga budaya lainnya (untuk provinsi yang belum memiliki taman budaya).
Setelah melalui seleksi tahap pertama yang dilakukan oleh taman budaya, panitia menerima aplikasi sejumlah 133 karya hasil olah artistik dari 125 perupa yang berasal dari 29 provinsi di Indonesia. Hasil yang cukup menggembirakan, dengan mekanisme sosialisasi pameran secara terbatas (bukan open call), pameran ini mendapatkan respons positif dari para perupa. Setelah seleksi tahap kedua oleh tim kurator, terpilih 60 karya olah artistik dari pengalaman, penghayatan, serta pemikiran 60 perupa dari 29 provinsi di Indonesia. Karya-karya itu berupa lukisan, patung, video art, grafis, instalasi, dan lain-lain.
Berbicara Temu Karya Taman Budaya tentu tidak lepas dari fungsi taman budaya untuk mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik seni (budaya) untuk memperkaya kebudayaan nasional. Hal ini akan dicapai dengan upaya melindungi dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan tradisional (lokal) agar dapat dimanfaatkan untuk penguatan identitas bangsa yang pada akhirnya berkontribusi bagi pengayaan kebudayaan nasional. Pertanyaan selanjutnya bagi kita adalah bagaimana menjaga seni/budaya tradisi tetap hidup di masa kini dan masa depan? Khususnya dari kacamata perupa. Dunia berubah, membuka kemungkinan-kemungkinan baru dan juga tantangan baru. Masih segar dalam ingatan pada awal Maret 2020 Covid-19 menyebar dengan cepat, memengaruhi semua lini, tidak hanya berdampak serius pada sektor medis, ekonomi, sosial, politik, namun berimbas ke semua lini kehidupan termasuk seni rupa (budaya). Covid-19 memaksa kita berubah dan beradaptasi, setiap negara mengembangkan protokol kesehatan, mengisolasi diri sendiri. Pandemi global mewakili kedaruratan pada kehidupan normal sebelumnya.
Di ranah seni rupa, pandemi Covid-19 ‘memaksa’ para perupa berkreasi menembus batas-batas ruang, dampak nyata yang telah kita rasakan saat ini bagaimana kita harus beradaptasi dari pengalaman mengapresiasi karya seni secara langsung di ruang pameran (luring) menjadi secara virtual seiring banyaknya pameran-pameran yang dilaksanakan secara daring. Lalu bagaimana para perupa menyikapi momentum ini?
Tema “RestArt” mengajak para perupa untuk melihat secara kritis, memaknai, menilai, mengungkapkan ide, ekspresi, dan praktik seni dalam merespons konteks nilai-nilai kelokalan (tradisi) hari ini melalui berbagai sudut pandang masing-masing, sehingga memunculkan karya-karya yang kuat dalam pembacaan tema dan mampu menandai zamannya. Menilik kembali karya-karya dalam pameran ini setidaknya menggambarkan dua kecenderungan. Pertama, para perupa yang melihat persoalan sesuai dengan realitas kebudayaan yang terjadi hari ini. Kedua, melihat tema dengan segenap optimismenya dengan disertai pandangan-pandangan kritis terhadap tema.
Misalnya, I Wayan Suwarita dengan karya “Arrange” menggambarkan kehidupan masyarakat, aktivitas masyarakat yang lebih berkaitan dengan tradisi dan religi. Dalam karya itu ada lima adegan kehidupan masyarakat yang disusun dengan komposisi dua adegan di bagian atas, dan tiga adegan di bagian bawah tanpa perspektif komposisi. Karya ini terinspirasi dari seni lukis klasik Wayang Kamasan Bali. Di bagian atas sebelah kiri terlihat adegan dua wanita Bali yang sedang bersembahyang, di sebelahnya ada seorang gadis berdiri memegang piring berisi bunga. Sedangkan di sebelah kanan terlihat dua orang biksu Budha sedang sembahyang, dan di depannya ada patung Budha. Di belakang patung Budha terlihat dua ekor burung yang sedang bertengger di ranting pohon tanpa takut terhadap aktivitas di sekitarnya.
I Wayan Suwarita mengatakan, yang dimaksud “Arrange” adalah menata kepercayaan, saling menghargai, dan bersikap adil. Serta kita sebagai manusia sepatutnya menjaga alam ciptaan-Nya supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Di bagian bawah terdapat tiga adegan aktivitas manusia, di sebelah kiri terdapat figur dua anak SD, yang satu membawa bendera merah putih sedangkan anak yang lain posisi tegak sedang hormat kepada bendera merah putih. Di adegan yang lain terlihat dua orang ibu dan dua anak sedang duduk di batu. Adegan di sebelahnya memperlihatkan seorang perempuan yang sedang memandikan dua anak laki-laki. Adegan ini menurut I Wayan Suwarita menyiratkan bahwa kita adalah sama walaupun berbeda agama, suku, tradisi, dan budaya.
Lukman Nulchakim dengan karyanya “SemangArt” memperlihatkan sosok figur seseorang yang sedang memanggul sebuah candi di antara silang-sengkarut dan porak-porandanya rumah-rumah dan kapal layar di sekelilingnya. Garis-garis yang riuh dan tumpang tindih membuat kesan suasana semrawut. Dengan visual seperti itu, Lukman menyimbolkan kondisi ketertekanan akan keadaan saat ini, namun hal itu tidak membuat kita melemah, justru mengandung hikmah di baliknya. Hantaman keras masa pandemi bisa kita rasakan di semua bidang vital, namun dengan semangat pantang menyerah dan gotong royong kita bisa menghadapinya.
Rudiansyah dengan karya “Bujang dan Dare” adalah simbol anak remaja di Kalimantan Barat, juga mengartikan anak-anak yang sedang beranjak dewasa, di mana mereka sudah melepaskan masa kecilnya yang bebas dan merdeka, mengenang masa silam dengan permainan tradisional. Dengan bahan seadanya, mereka sudah menemukan surga yang terindah dan kehidupan pun terasa sulit dilupakan. Menurutnya, kini semua itu dihadapkan dengan era sekarang yang dipenuhi dengan gadget, teknologi menawarkan kemudahan-kemudahan dalam segala hal, memudahkan segala yang lama menjadi simpel, dan hampir semuanya tak terlepas yang namanya teknologi. Akan hal inilah, generasi saat ini menggeser dan meninggalkan budayanya sendiri yang penuh dengan makna dan nasihat.
Ongki Sanjaya dengan karya “Two Types” berbicara tentang budaya Lampung. Lampung sangatlah beragam mulai dari pakaian adat, rumah adat, berbagai tarian tradisional, alat musik, sumber daya alam, dan berbagai kuliner. Seperti yang ia artikan lewat gambar Tarian Sekura yang berasal dari kata sakhuka yang diartikan penutup wajah. Tradisi budaya yang berasal dari Lampung Barat ini digelar setiap hari besar semisal Idulfitri maupun Iduladha. Tradisi Sekura digelar sebagai ajang untuk mempererat persaudaraan dan melestarikan warisan kebudayaan tradisional masyarakat setempat. Tarian Sekura ada dua jenis topeng, yaitu Sekura Betik dan Sekura Kamak. Sekura Betik menggunakan kostum yang indah seperti topeng dan Kain Miwang dan kacamata, sementara Sekura Kamak menggunakan kostum yang aneh biasanya terbuat dari kayu.
Saparul Anwar dengan karya “Letusan Samalas” menggambarkan bahwa bencana global tidak hanya terjadi pada masa ini saja. Dalam lukisannya dia menggambarkan bencana global di masa lalu, yaitu letusan Gunung Samalas, sebuah gunung yang berada di Pulau Lombok yang diperkirakan meletus pada tahun 1257 M. Diungkapkan oleh para peneliti bahwa letusan Gunung Samalas, kekuatannya delapan kali lebih dahsyat dibanding letusan Gunung Krakatau dan dua kali lebih besar ketimbang letusan Gunung Tambora, bahkan efek dari peristiwa ledakan tersebut masih dirasakan dua tahun setelah peristiwa itu.
Bayu Widodo dengan karya “Rest in Flower (pandemic series)” menampilkan kondisi saat ini, sebuah seri karya dari catatan harian dalam situasi pandemi global. Bagaimana manusia beradaptasi dengan kebiasaan yang lain. Perjumpaan semakin terbatas, aktivitas sosial, seni dan budaya terbatas, tentu akan mengubah sikap kita dalam pandangan berkesenian hari ini.
Dari gambaran di atas bisa kita lihat bagaimana para perupa merespons tema “RestArt” dari berbagai sudut pandang. Pertanyaan kemudian apakah 60 karya yang dipamerkan kali ini sudah mencerminkan hal tersebut? Mari kita amati karya-karya yang dipamerkan dalam pameran ini.
Selamat mengapresiasi
Jakarta, 20 September 2021
Teguh Margono