Taman Budaya Yogyakarta

Ampo : In Food I Belief

Ukuran:

Media: Seni Media

Tahun: 2021

Deskripsi Karya:
Kolonialisme, kelaparan, permasalahan limbah dan kapitalisme adalah hal-hal yang selalu terbayang diotakku untuk melihat lini masa negeri. Sejarahnya pulau Jawa menjadi pusat kerajaan yang dahulu mengusai Nusantara hingga Asia T enggara, lalu kemudian tahun berganti hingga kolonialisme masuk ke Nusantara. Tuban adalah salah satu kota di Jawa Timur yang pada waktu yang silam pernah dikuasai oleh Belanda. Banyak orang yang kelaparan karena kolonialisme dan gagal panen, hingga mereka harus memakan tanah yang kemudian di kenal dengan Ampo. Ampo adalah makanan khas tuban yang dulu terbuat dari tanah liat yang dipanggang. Dahulu ampo ditemukan karena tanah di sungai bengawan solo mengering dan retak, lalu retakan tanah tersebut mereka makan untuk bertahan hidup. Kemudian lambat laun ampo dibuat dengan menggunakan tanah liat yang berasal dari salah atau eathenware. Tanah liat ini dikneading lalu dikikis dengan menggunakan bambu dan dipanggang diatas api. Prosesnya sama seperti membuat keramik. Bagi masyarakat tuban ampo menjadi makanan khas yang dipercaya dapat mengobati dari berbagai penyakit. Ampo juga digunakan sebagai sesajen sebagai rasa terimakasih terhadap bumi. Dimasa kini ampo jarang sekali ada yang tahu, padahal ampo menjadi sebuah metafor bagaimana tanah bisa menjadi sumber penghidupan bagi segala makhluk, bagi tumbuhan,manusia, dan hewan. Tanah memiliki banyak arti bukan hanya menjadi media tumbuh bagi tanaman, melalui ampo tanah menjadi media tumbuh yang tidak ada batasannya pula bagi manusia. kepecayaan orang tuban yang mempercayai bahwa ampo dapat mengobati segala penyakit sangat kontradiktif mungkin bagi masyarakat masa kini yang berfikir tanah memiliki banyak kuman, bakteri ataupun zat kimia dan tidak baik untuk dimakan. Di bebererapa daerah Ampo juga dikenal untuk makanan perempuan yang sedang hamil muda, menurut mereka saat hamil muda ampo rasanya segar. Makanan sejenis ampo mungkin juga tidak hanya ada di Tuban namun juga ada ada di Afrika, hal ini dengan latar belakang yang sama kalau difikir yaitu kelaparan, kemiskinan, dan kemarau panjang. Dari ampo membuat saya berfikir bahwa tanah tetap menjadi sumber penghidupan selain tiga elemen lainnya yaitu air, api dan udara. Yang sesungguhnya terangkum menjadi keramik. Dalam karya ini, saya sangat memaknai ampo sebagai sebuah produk budaya dari Tuban, Jawa Indonesia yang merepresentasikan bagaimana kehidupan berjalan. Ampo juga juga merupakan makanan yang tidak punya masa kadaluarsa, sehingga tanah akan selamanya menjadi sumber penghidupan bagi manusia.

Dyah Retno Fitriani
Dyah Retno Fitriani

Biografi perupa:
Dyah Retno lahir di Medan, 27 Tahun yang lalu. Berkarya dengan media keramik sejak 2014 saat duduk dibangku kuliah di ISI Yogyakarta. Sejak 2014 banyak melakukan penelitian dan eksperimen dengan material keramik. Project terpanjangnya yaitu meneliti tanah limbah yang dikerjakan sejak 2016 hingga 2020. Dyah telah mengikuti banyak pameran baik didalam dan diluar negeri. Tahun 2021 Dyah melakukan pendekatan baru dengan keramik yang menilik dari segi budayanya. Melakukan residensi ditempat-tempat baru untuk mencari potensi tanah liat lokal dan membangunnya bersama-sama dengan warga. Di tahun ini Dyah berhasil menjadi salah nominator kompetisi Korean International Ceramic Bienalle di Icheon Museum.

Bahagianya Diriku

Bahagianya Diriku

Ukuran: 100x90cm

Media: Batik Tulis & Pewarna Remasol

Tahun: 2021

Deskripsi Karya:
Karya ini dibuat dengan teknik batik tulis, dengan ukuran 100cm x 90cm, menggunakan pewarna remasol. Batik ini terdiri dari berbagai macam warna yaitu hitam, merah, kuning, biru, orange, coklat, merah tua, dan hijau. Namun yang lebih menonjol adalah warna kuning dan hitam. Karya batik Lukis memiliki objek utama sesosok manusia posisi setengah jongkok dengan tangan melambai, dan lima peri yang mengelilinginya sebagai ornamen pendukung. Empat di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Pada bagian atas terdapat gambar panah kecil menggambarkan alat berburu. Terdapat matahari di bagian sudut kanan atas, pada bagian bawah terdapat buaya kecil sebagai salah satu fauna yang banyak terdapat di Merauke. Bagian kiri bawah terdapat dua panah gaya imajinatif yang memiliki tangan dalam posisi melengkung ke bawah dan ke atas. Karya ini terinspirasi dari representasi diri sendiri, yaitu bapak lahir dan besar di Merauke (meskipun berdarah Kei Maluku) dan ibu berasal dari Jawa Yogyakarta. Secara tidak langsung pernah mengalami dua budaya yang berbeda, hal itu perlu disyukuri karena perbedaan budaya dapat saling melengkapi dan memperkaya wawasan. Karya berjudul “Bahagianya Diriku” merepresentasikan rasa syukur dan bahagia memiliki orang tua dengan dua budaya yang telah dipersatukan oleh Tuhan. Karena itu batik tulis dikreasikan dalam bentuk ornamen imajinatif terinspirasi dari ornamen seni budaya Papua khususnya Merauke, sedangkan budaya Jawa diwujudkan dalam teknik batik tulis.

Lejar Daniartana
Lejar Daniartana

Biografi perupa:
Lejar Daniartana Hukubun lahir di Yogyakarta 23 Oktober 1991. Ketertarikan pada dunia kesenian sudah saya rasakan seni sejak kecil. Tahun 2010-2015 kuliah di DKV ISI Yogyakarta, tahun 2016-2019 melanjutkan studi di Pascasarjana ISI Yogyakarta jurusan DKV. Tahun 2017-2018 menjalani program pertukaran mahasiswa di Eszterhazy Karoly Katolikus Egyetem, Eger, Hungaria, jurusan Seni Lukis Murni. Saat ini menekuni bidang kesenian batik dan wayang serta mengikuti berbagai kegiatan kesenian di Yogyakarta. Penghargaan Young Rising Artis Award, diperoleh pada kegiatan Pameran Nandur Srawung #6, Gegayutan Peer To Peer, 18-27 September 2019, di Taman Budaya Yogyakarta. Kategori Karya Terfavorit diperoleh pada kegiatan Pameran dan Kompetisi Karya Kriya Perupa Muda Tingkat Nasional, Matra Kriya Festival 2020, Nusantara In Slice, di Galeri Pendapa Art Space, 14 November 2020, Yogyakarta.

Rest in Flower (Pandemic Series)

Rest in Flower (Pandemic Series)

Ukuran: 40x60cm (9panel)

Media: silkscreen pada kanvas

Tahun: 2021

Deskripsi Karya:
Sebuah seri karya dari catatan harian dalam situasi pandremi global. Bagaimana manusia beradaptasi dengan kebiasaan yang lain. Perjumpaan semakin terbatas, aktifitas sosial, seni dan budaya terbatas. Karya ini mencoba merekam rasa secara personal di setiap kesehariannya

Bayu Widodo
Bayu Widodo

Biografi perupa:
Bayu Widodo adalah seniman yang giat bekerja di beragam komunitas seni di Yogyakarta. SURVIVE!Garage dan Taring Padi menjadi tempat di mana bayu mencurahkan semangat estetikanya. Kerja-kerja komunitas yang sering ia lakukan seperti membuat workshop sablon, mengadakan kelas menggambar dan mengelola ruang seni alternatif. Ia dikenal sebagai pendiri sekaligus pemilik dari SURVIVE!Garage. Menurut Bayu seni adalah perihal ""merekam"". Peristiwa dalam sebuah waktu, apapun itu, penting untuk diabadikan guna menjadi sumbangan pengetahuan sejarah di masa mendatang. Maka kemudian ia dipacu serta memacu dirinya untuk senantiasa peka serta melibatkan diri dalam dinamika masyarakat. Selama ini Bayu sering menggunakan medium seni grafis, lukis, sketsa dan patung. Dari beragam peristiwa yang diangkatnya pun mengaharuskannya untuk terus mengeksplorasi berbagai medium. Saat ini Bayu aktif pameran dalam negeri maupun luar negeri.

Menjagamu!!! (Indonesia)

Menjagamu!!! (Indonesia)

Ukuran: 200x160x200cm

Media: Kayu Jati, Besi kuningan, Stainless Steel, Dinamo, Sensor Gerak

Tahun: 2020

Deskripsi Karya:
Karya ini menggunakan media kayu jati sebagai bahan utama. Kayu jati dipilih karena memiliki serat yang bagus dan memiliki kualitas yang baik. Dalam karya ini teknik yang digunakan pada proses pengerjaan kayu adalah teknik ukir, kerja bangku, sekrol saw,bubut dan lain lain. Sedangkan teknik untuk menghasilkan gerakan menggunakan teknik mekanik. Visual karya ini sengaja mengkombinasikan beberapa objek sebagai usaha mencapai gagasan penciptaan. Bentuk burung Garuda menyerupai burung elang Jawa yang sedang berebut balon. Balon disini terdapat peta Indonesia dengan warna emas. Karya ini menggambarkan dan menjelaskan ke adaan Indonesia dimana sekarang ini kita sesama Indonesia saling berebut dan ingin merawat Indonesia itu sendiri. Tetapi mereka harus saling mengingatkan bahwa cara mereka menjaga tersebut jangan sampai terjadi ledakan yang mengakibatkan perpecahan.

Dedy Shofianto
Dedy Shofianto

Biografi perupa:
Dedy Shofianto lahir di Srolangun Bangko (Jambi), 15 Desember 1991, Saat ini tinggal di Yogyakarta. Mulai berkesenian sejak menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta. Dari awal kuliah mulai aktif berkarya. Karya-karya yang dibuat kolaborasi antara seni, teknologo dan sains,namun kini mulai mengeksplorasi instalasi kinetik yang berdampak langsung ke masyarakat. Karya instalasi itu berupa jaring penangkap kabut dan air hujan yang hasil tangkapan jaring-jaring paranet itu menghasilkan tetesan-tetesan embun dan air hujan, sehingga air tersebut bisa di konsumsi langsung oleh masyarakat di sekitar karya tersebut. Dedy shofianto telah banyak mengikuti pameran bersama dan lima kali berpameran tuggal, serta sering commission work di hotel, cafe dan beberapa instansi. Sejak pandemi Covid -19, Dedy shofianto kebanyakan ekplorasi tentang seni kinetik jaring penangkap kabut dan air hujan ini, untuk dikembangkan dan semoga bisa di terapkan ke daerah- daerah yang memiliki potensi kabut tetapi belum di optimalkan. Dedy Shofianto 2020 pernah menjadi young rising artist award WIWITAN restart! Nandur Srawung di Taman Budaya Yogyakarta, Juara kategori karya favorit MATRA AWARD 2018,dan beberapa penghargaan lainya.

Kembali ke Taman Budaya