Lukisan di masa kolonial umumnya menggambarkan keindahan bentang alam; nyiur melambai-lambai, bukit-bukit, gunung-gemunung, pantai, dan matahari dengan sinar kuning kemerahan. Baik para pelukis pendatang, maupun pelukis tempatan, membangun satu narasi alam Hindia yang sama; tenang, tenteram, dan damai. Belakangan kita mengenalnya sebagai seni lukis Mooi Indie. Lukisan jenis ini kelak dikritik tajam sebagai selera turistik. Namun, karena sedap dipandang mata, Hindia yang molek pada kanvas itu banyak dikoleksi, terutama oleh para pejabat tinggi kolonial.
Zaman berganti, cara memandang realitas pun bergeser. Lukisan dengan orientasi keindahan alam mulai ditinggalkan, dan beralih menitikberatkan pada kehidupan rakyat sehari-hari. Menggambar ketidakberdayaan “orang-orang kecil” di tengah pergulatan sosial-ekonomi yang keras, terpelanting oleh pukulan kehidupan modern. Kegandrungan pada narasi kerakyatan makin menguat, terutama di era pascakemerdekaan. Di saat yang sama para pengambil keputusan, dan para petinggi partai politik tengah menempatkan seni dan budaya, serta jargon kerakyatan sebagai cara meraup suara.
Kita masih ingat ramainya kelompok kesenian yang dipakai sebagai instrumen politik di era antara 1950-1960-an itu. Misalnya, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Partai Nasional Indonesia, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Partai Komunis Indonesia, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Partai Nahdlatul Ulama, Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) Partai Masyumi, Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi) Partai Tarbiyah Islamiyah, Lembaga Kebudayaan Syarikat Muslimin Indonesia (Laksmi) Partai Syarikat Islam Indonesia, Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK) Partai Katolik, dan puluhan lainnya yang bernaung di bawah partai-partai.
Kata “rakyat” adalah lambang menarik untuk ditampilkan pada bendera perjuangan. Oleh sebab itu, sang rakyat yang selama masa kolonial terkatung-katung tak jelas nasibnya, perlu diambil hati dan dihidupkan harapan-harapannya. Saat itulah kita menyaksikan bagaimana upaya memperjuangkan nasib rakyat kecil, berkelindan dengan jargon organisasi partai politik. Kita juga dapat melihat, bagaimana rasa simpatik yang murni para pelukis yang terhimpun dalam PERSAGI (1938), SIM (1946) dan Sanggar Pelukis Rakyat (1947), pada kehidupan rakyat kecil, bertemu dengan gagasan artifisial kerakyatan yang digarap oleh kelompok dan partai tertentu. Ada yang mengikuti bandul ke kanan, tapi ada juga yang mengikuti gerak bandul ke kiri.
Strategi ini ternyata sangat ampuh mengantar partai tertentu memenangi Pemilu 1955. Sekaligus di masa itu, kita dibuat tercengang dengan pertarungan sengit multipartai dan multiideologi. Sesudah Pemilu raya yang demokratis itu, pertarungan antarkelompok tidak usai. Ketegangan demi ketegangan terus meruncing ke arah membahayakan. Tapi siapa yang dapat menghentikan laju politik. Ia bergerak pasti seperti takdir, di mana kita harus membayar dengan sangat mahal. Lalu merasionalisasikannya; semua ini permulaan belajar untuk menjadi demokrasi. Entah sampai kapan.
Lalu, “rakyat” yang digambarkan pada kanvas itu seperti tetap akan abadi dalam narasinya sendiri. Pekerja keras dengan cangkul dan alat-alat sederhana yang jauh dari cita-cita menaklukkan dunia. Hidup dalam strata kemiskinan dan serbakekurangan. Rasa ketidakadilan dalam lapangan kehidupan sosial-ekonomi itulah yang dulu mendorong para pelukis beralih pandang dalam merepresentasikan realitas. Bung Karno menandainya sebagai “Marhaenisme”. Sosok-sosok yang sangat dicintainya dan selalu ditampilkan semangat dan perjuangannya melalui karya-karya publik: relief, mural, mozaik, dan patung.
Di Zaman Peralihan itu kita menyaksikan bukan hanya jenis-jenis lukisan yang berubah wajah, partai-partai politik pun memainkan lagu oportunisnya; memengaruhi, mengajak, dan mempropaganda orang banyak untuk mendukung proyek dan kepentingan ideologinya. Mereka menciptakan organisasi sayap untuk menjangkau suara terjauh. Kalangan seniman pun terbawa dalam banyak faksi dan kelompok. Sebagian bahkan terjun ke dalam gelanggang politik. Semua mengalir begitu saja bersama-sama, dan terhenti setelah peristiwa paling berdarah 1965 itu terjadi. Semua yang mengatasnamakan rakyat tercerai berai. Lukisan dan karya seni rupa lainnya dibakar, dimusnahkan, diselundupkan, dan beberapa selamat di tangan sejumlah kolektor.
Tiga puluh delapan koleksi The State Museum of Oriental Art ini adalah bagian dari potret pascakemerdekaan itu. Lukisan-lukisan tersebut melulu menggambarkan potret rakyat kecil dengan pelbagai sudut pandang. Misalnya lukisan berjudul a Woman with a Basket. Lukisan ini dibuat pada 1961, cat minyak pada kanvas. Karya A. Rustamadji berukuran 93 x 62 sentimeter itu menggambarkan seorang perempuan bertelanjang kaki tengah memikul keranjang. Posisinya yang agak membungkuk, mengisyaratkan beratnya beban di atas pundaknya.
Kita juga bisa melihat kehidupan rakyat kecil dalam rumah bilik sederhana dengan dominasi merah kecokelatan, karya Basuki Resobowo. Judul lukisannya Family, cat minyak pada kanvas berukuran 50 x 63 sentimeter. Lukisan yang dibuat pada 1960 itu menggambarkan satu adegan di mana ada tiga orang seperti terlibat dalam sebuah perbincangan di bawah penerangan lampu gantung. Cahaya dari lampu itu fokus pada ketiga sosok tersebut, sehingga terlihat seperti sebuah adegan drama. Pesan pada gambar itu adalah hidup dengan serbakekurangan, tidak ada benda-benda berharga apapun di dalam ruang itu, kecuali sebuah foto yang tidak begitu jelas terpasang di dinding. Mungkin seorang tokoh yang mereka idolakan.
Potongan seorang pekerja keras dapat kita lihat dalam Portrait of a Young Indonesian Man with a Pickaxe. Lukisan cat minyak pada kanvas yang dibuat pada 1961 itu berukuran 78,2 x 47 sentimeter, karya Kuntjoyono. Lukisan ini mencoba menggambarkan realitas, dengan penggayaan, atau sesuatu yang diidealisir. Perhatikan sosok tersebut tidak sedang bekerja, melainkan bergaya dengan segala atribut yang mengisyaratkan simbol dari seorang pekerja keras.
Keterampilan dalam merekam wajah, dapat dilihat pada karya Djoni Trisno berjudul Portrait of a Woman. Lukisan cat minyak berukuran 75 x 63 sentimeter ini dibuat antara akhir 1950-an dan awal 1960-an. Sosok perempuan tersebut dilukis dengan cermat dan detail. Perempuan itu dilukiskan menghadap ke depan, seperti menatap sesuatu yang jauh. Pakaian yang dikenakannya sama hitam dengan rambutnya. Latar belakangnya sebuah pemandang alam yang memenuhi bidang kanvas, memperkuat kehadiran sosok perempuan tersebut.
Contoh satu lagi adalah lukisan berjudul Peasant Resistance, dibuat pada 1950-an, cat minyak pada kanvas. Ukuran 54,5 x 78 sentimeter, karya Soeromo. Lukisan ini menggambarkan sejumlah petani yang tengah marah, mengejar sesuatu yang ada di luar kanvas. Di antara mereka ada yang bertelanjang dada, dan bertelanjang kaki. Seorang lelaki di bagian depan membawa sebilah clurit yang siap ditebaskan pada target yang dituju. Kemarahan serupa ini bisa jadi ditujukan pada tuan tanah, tengkulak, dan sejenisnya.
Dalam sebuah pertemuan dan perbincangan dengan pelukis Djoko Pekik, yang salah satu karyanya ikut dikoleksi oleh museum tersebut, mengatakan bahwa sebagian besar lukisan itu adalah karya Sanggar Pelukis Rakyat. Siapa mereka? Mereka adalah satu dari banyak kelompok dan sanggar, yang di masa perjuangan ikut terlibat dalam kecamuk perang merebut kemerdekaan bangsanya. Pengalaman yang kelak membangun rasa solidaritas dan nasionalisme yang tinggi di antara sesama. Di masa kemerdekaan, mereka menghimpun diri, mengerjakan proyek monumen yang dipesan oleh Bung Karno, membuat lukisan-lukisan dalam ukuran besar antara lain dengan tema Perjuangan.
Karya-karya koleksi The State Museum of Oriental Art, Moskow, Rusia, yang sebagian didonasikan oleh Vilen Sikorsky dan Natalia Chevtaykina pada museum tersebut, terawat dengan baik. Bahkan, tersebab usia dan kondisinya, sebagian telah direstorasi oleh Irina Solovyova, konservator profesional Rusia. Atas seizin otoritas museum di Moskow, lukisan-lukisan ini direproduksi dari aslinya untuk kemudian bersama koleksi tetap Galeri Nasional Indonesia, dipamerkan secara daring.
Lukisan telah dipilih dan disandingkan dengan koleksi Galeri Nasional Indonesia berdasarkan keragaman tema. Di sini kita masih bisa melihat bentang alam sebagai jejak masa lalu. Juga gambaran perang, pemandangan alam, sawah, pantai, potret rakyat. Namun, sebagian besar sebagaimana ciri khas lukisan di masa itu, menggambarkan aktivitas sehari-hari rakyat dengan segala permasalahannya. Karya-karya ini ditampilkan sebagai arsip sosial, petikan dari sebuah periode penting yang pernah dilalui oleh bangsa Indonesia. (Asikin Hasan)
Tim Kurator
Asikin Hasan
Sudjud Dartanto
Teguh Margono
Paintings in the colonial period generally depicted the beauty of landscapes; waving palm trees, hills, mountains, beaches, and the sun with reddish yellow light. Both the immigrant painters, as well as the local painters, constructed the same natural narrative of the Indies; calm, serene, and peaceful. Later we know it as Mooi Indie. This type of painting was later sharply criticized as being for touristic taste. However, because it was pleasing to the eye, the beautiful Indies on the canvas were widely collected, especially by high-ranking colonial officials.
Times changed, ways of looking at reality shifted. Paintings with the orientation of natural beauty began to be abandoned, and switched to focusing on people's daily lives. It depicted the helplessness of ordinary people in the midst of harsh socio-economic struggles, thrown by the blows of modern life. The fondness for populist narratives was getting stronger, especially in the post-independence era. At the same time, decision-makers and political party officials were placing arts and culture as well as popular jargon as ways to get votes.
We still remember that many art groups were used as political instruments in the 1950-1960s. For example, the National Cultural Institute (LKN) of the Indonesian National Party, the People's Culture Institute (Lekra) of the Indonesian Communist Party, the Indonesian Moslem Cultural Artists Institute (Lesbumi) of the Nahdlatul Ulama Party, the Association of Islamic Cultural Arts (HSBI) of the Masyumi Party, the Institute of Islamic Culture and Arts (Leksi) of the Tarbiyah Islamiyah Party, the Indonesian Moslem Syarikat Cultural Institute (Laksmi) of the Indonesian Islamic Syarikat Party, the Catholic Indonesian Cultural Institute (LKIK) of the Catholic Party, and dozens of others under the auspices of the parties.
The word "people" is an interesting symbol to display on the flag of war. Therefore, the people who during the colonial period were hanging on their uncertain fate, needed to be impressed and given hope. That was when we saw the efforts to fight for the poor intertwined with the jargon of political party organizations. We also witnessed how the pure sympathy from the painters of PERSAGI (1938), SIM (1946) and the People’s Artists (1947) to the lives of the ordinary people, met the artificial ideas of populism that were cultivated by certain groups and parties. Some followed the pendulum to the right, but some followed the pendulum to the left.
This strategy turned out to be very effective in leading certain parties to win the 1955 General Election. At the same time, we were astonished by the fierce multi-party and multi-ideological struggle. After the democratic general election, the struggle among groups did not end. Tensions continued to taper towards danger. But who could stop the pace of politics. It moved as certain as destiny, where we had to pay a very high price, then rationalize it; all this was the beginning of learning to be a democracy. Nobody can foretell the future.
Then, the "people" depicted on the canvas seem to be eternal in their own narrative. A hard worker with a hoe and simple tools who is far from the dream of conquering the world. Living in the strata of poverty and deprivation. It was this sense of injustice in socio-economic in socio-economic life that was used to encourage painters to switch views in representing reality. Bung Karno marked it as "Marhaenism". Figures that he loved very much and always depicted with their passion and struggle through public works: reliefs, murals, mosaics, and sculptures.
In the Period of Transition, we see not only the types of paintings that change their faces, but political parties also play their opportunist songs; influencing, persuading, and propagating people to support their projects and ideological interests. They created branch organizations to reach the farthest voices. The artists were carried away in many factions and groups. Some even entered the political arena. Everything just flowed together, and stopped after the bloodiest event of 1965 happened. Everything in the name of the people was scattered. Paintings and other kinds of artwork were burned, destroyed, smuggled, and some survived in the hands of a number of collectors.
Thirty-eight collections of the State Museum of Oriental Art, Moscow are part of the post-independence portrait. These paintings only depict portraits of ordinary people from various points of view. For example a painting entitled a Woman with a Basket. This painting was made in 1961, oil on canvas. This A. Rutamadji's work measuring 93 x 62 cm depicts a barefoot woman carrying a basket. Her slightly bent position hints at the weight of the burden on her shoulders.
We can also see the lives of ordinary people in simple cubicle houses with brownish red domination, by Basuki Resobowo. The title of the painting is Family, oil on canvas measuring 50 x 63 cm. The painting, which was made in 1960, depicts a scene in which three people seem to be engaged in a conversation under the light of a hanging lamp. The light from the lamp focused on the three figures, making it look like a drama scene. The message in the picture is that life is lacking, there are no valuables in the room, except for an unclear photo that is hung on the wall. Maybe a character they idolize.
The figure of a hard worker can be seen in Portrait of a Young Indonesian Man with a Pickaxe. The oil painting on canvas, which was made in 1961, measures 78.2 x 47 centimeters, by Kuntjoyono. This painting tries to depict reality, with style, or something that is idealized. The figure is not working, but posing with all the attributes that hint as symbols of a hard worker.
The skill in recording faces can be seen in Djoni Trisno's work entitled Portrait of a Woman. This 75 x 63 cm oil painting was created between the late 1950s and early 1960s. The female figure is painted carefully and detailed. The woman is facing forward, as if staring at something far away. The clothes she wears are as black as her hair. The background is a landscape that fills the canvas, strengthening the presence of the female figure.
Another example is a painting called Peasant Resistance, made in the 1950s, oil on canvas. Size 54.5 x 78 cm, by Soeromo. The painting depicts a number of angry farmers, chasing something that is outside the canvas. Some of them are bare-chested and barefoot. A man at the front carries a sickle ready to slash at the intended target. This kind of anger may be directed at landlords, middlemen, and the like.
In a meeting and discussion with the painter Djoko Pekik, one of his works is also being collected by the museum, he said that most of the paintings were the work of the People's Artists Studio. Who are they? They are one of many groups and studios, which during the struggle were involved in the raging war for the independence of their nation. An experience that later built a high sense of solidarity and nationalism among others. During the independence period, they gathered themselves, worked on a monumental project ordered by Bung Karno, and made large-scale paintings with the theme of Struggle.
The collections of the State Museum of Oriental Art, Moscow, Russia, some of which were donated by Vilen Sikorsky and Natalia Chevtaykina to the museum, are well preserved. In fact, due to its age and condition, some of them were restored by Irina Solovyova adn Irina Kuznetsova, a Russian professional conservator. With the permission of the museum, these paintings were reproduced from the original and then together with the permanent collection of the National Gallery of Indonesia, exhibited online.
The paintings are selected and juxtaposed with the collections of the National Gallery of Indonesia based on a variety of themes. Here we can still see the landscape as the trail of the past. Also depictions of war, landscapes, rice fields, beaches, portraits of people. However, most of them, as characterized by paintings at that time, depictthe daily activities of the people with all of their problems. These works are presented as social archives, excerpts from an important period that the Indonesian people have been through. (Asikin Hasan).
Curator Team
Asikin Hasan
Sudjud Dartanto
Teguh Margono