Minta Sumbangan Gedung
1965
Cat minyak pada kanvas
150 x 100 cm
Koleksi Galeri Nasional Indonesia.
Meski dibangun dengan sapuan halus dan warna-warna lembut, namun karya “Minta Sumbangan Gedung” ini tidak berhenti menjadi sekadar puisi liris yang indah. Tatang Ganar menampilkan sepotong episode kesulitan hidup masyarakat kecil dalam masalah pendidikan. Dengan kehalusan ekspresif, masing-masing figur bertatapan mengungkap problem sosial dalam keluarga. Hal itu dapat dilihat terutama lewat “dialog dalam diam” antara figur bapak yang lusuh dan ibu yang menggendong anak paling kecil.
Karya ini termasuk dalam kecenderungan gaya ekspresionisme liris. Jika diamati satu per satu, bagian-bagian figur itu menunjukkan penyelesaian yang tidak selesai, tetapi secara keseluruhan karya ini menjadi irama yang ekspresif.
Di antara karya-karya bertema kerakyatan, lukisan Tatang Ganar ini bisa dikategorikan telah mempunyai visi yang tajam. Salah satu cirinya yaitu menggunakan unsur satire sebagai tumpuan utama dari ide penciptaannya. Dalam perkembangan paradigma estetik kerakyatan, ungkapan-ungkapan pelukis Indonesia selain berkembang menjadi satire problem-problem sosial, juga berpuncak menuju ketajaman sosial politik. Bahkan dalam upaya penyadaran pada rakyat, telah dikembangkan tema-tema sosial yang menghadapkan para pemilik kapital dan kaum buruh. Karya-karya semacam itu bisa dilihat pada pelukis-pelukis Lekra dalam paradigma estetik kerakyatan revolusioner.
Karya Tatang Ganar ini memang belum sampai pada tahap revolusioner sebagai tema kerakyatan, namun secara ekspresif mengungkap makna kontekstual tentang rakyat yang selalu dihadang ketimpangan hidup. Walaupun sebagai komentar sosial yang hanya mengemuka lewat sumbangan uang gedung, namun problem itu bisa menyentuh semua dimensi yang rentan dalam kehidupan mereka.
Asking for Donation
1965
Oil on canvas
150 x 100 cm
Collection of the National Gallery of Indonesia.
Though it was built with smooth strokes and soft hues, the painting “Minta Sumbangan Gedung” does not stop at just being a beautiful lyrical poetry. Tatang Ganar presents an episode of the difficult life of the ordinary people in highlighting the issue of education. Done in lyrical expressionist style, with such expressive finesse, each figure faces each other revealing social problems within the family. This is particularly evident in the ‘dialogue of silence’ between the sordid father figure and the mother figure holding the smallest child.
Upon closer examination, one can see how each part of the figure is unfinished. However, as a whole this work conjures up an expressive rhythm of its own.
Among works of the populist theme, Tatang Ganar’s are more acute, as seen in his use of satirical elements that underpin his creative ideas. In the development of the populist aesthetic paradigm, Indonesian paintings have often evolved into a satire of social problems as a culmination of sociopolitical acuteness. Even in the effort to raise awareness among people, artists have developed social themes by confronting capital owners with workers. Such work is evident among Lekra painters in the revolutionary populist aesthetic paradigm.
This Tatang Ganar's work may not have reached the revolutionary stage as a populist theme, but expressively reveals the contextual meaning of the people who are always faced with inequality in life. Though it is simply a social comment through asking for donations, this problem can touch all vulnerable dimensions in their lives.