Problematika) Dinamika Di Tanah Khatulistiwa yang Aku Ada Didalamnya Bersenggama Dengan Budaya Paralel Dan EtikaDurasi: 05:00Oleh: Wahyu SuhermanAsal: Tangerang
Deskripsi:Dalam karya video saya kali ini, saya mencoba membuat karya dengan berdialog dengan diri saya (khususnya 4 bulan belakangan ini). Dimana muncul wabah pandemi yang awalnya saya tanggapi biasa saja, kemudian lama kelamaan membuat saya down karena permberitaan media, statement pemerintah, dan gosip yang beredar. Membuat saya sendiri kebingungan menempatkan diri saya kemana agar ada di posisi yang tepat. Pertanyaan selalu melingkupi ruang pikir dan memilih lebih fokus kepada realita dibanding dunia imaji yang saya pikir penting dalam membuat suatu karya.
Saya menggunakan metode seni instalasi, dengan membawa beberapa unsur kedalamnya yang mewakili perasaan saya. Kaca sebagai nisan yang dipenuhi teks, mewakili guncangan mental yang hebat dari pemberitaan dan apa yang saya rasa mengenai pandemi ini, membuat jiwa saya menjadi rapuh dan sensitif. Asap, mewakili pengkaburan edukasi yang membuat segala hal itu saya anggap tidak transparan pada akhirnya. Kursi, identik dengan penantian yang saya tak tahu sampai kapan hal ini akan berakhir, saya rasa ini di rasa oleh semua orang. Kemudian adanya makam, saya merasa saya seperti ya? Apakah ini jawaban semuanya? Dengan tanpanya statement yang jelas, kerapuhan mental, dan penantian tiada akhir.
Diakhir video, saya memuntahkan segala rasa negatif tersebut, bahwa harapan masih ada. Saya lebih memilih untuk menghancurkan nisan berteks tersebut untuk menjadi diri saya sendiri, menyelamatkan diri dan jiwa saya agar terlepas dari semuanya. Karena saya tahu, bahwa yang terburuk adalah ketika kita tidak dapat mengontrol pikiran kita.
Kemudian saya berusaha membuat harapan tetap tumbuh dengan mengganti fungsi tanah gundukan sebagai makam, menjadi tempat yang tepat untuk bercocok tanam. Disini saya pikir, dan mengkritik keegoisan manusia yang melahap semua lahan untuk ditancapkan beton-beton berat yang menghalangi bumi untuk bernafas. Dan juga pentingnya lahan kosong bagi ketahanan pangan mandiri bagi masyarakat. Tumbuhnya panganan tersebut, saya ibaratkan kelangsungan hidup bagi alam dan sekitarnya.
Secara keseluruhan, video akan berganti resolusi yang mengibaratkan perbedaan cara pandang masyarakat, itulah sebab kita tak bisa menilai dari satu sudut pandang saja, apakah kesehatan atau ekonomi? Itu masalah terbesar saat ini. Kita harus besar dan tumbuh diantara keduanya. Perbedaan resolusipun saya tandakan kesenjangan edukasi dari kaum borjuis dan proletar, yang saya inginkan adalah pendidikan yang cukup agar negeri ini bisa tumbuh harum dan berguna. Resolusi pun disetiap perpindahannya saya ungkapkan sebagai pengalihan, kenapa? Ya, di sini, negara Indonesia, terlalu kebiasaan jika ada suatu problematika salah satu cara untuk meredamnya adalah dengan mengalihkan pandangan masyarakat dari problema satu ke problematika lainnya. Secara tak sadar, bukan kah itu juga sudah menjadi pandemi di negara ini?
Indonesia sudah terlalu lupa untuk menjadi bangsa sesuai dengan lagu wajib nasionalnya, apakah harus kita ingatkan kembali?