“Udan Salah Mongso” (Rain in The Wrong Season) dipilih untuk merespons situasi kekinian terkait dengan perubahan iklim yang mempunyai dampak luar biasa terhadap ekosistem kehidupan tidak terkecuali kondisi pandemi saat ini. “Udan Salah Mongso” diambil dari frasa orang-orang di pedesaan di Jawa yang biasanya diutarakan ketika menyikapi perubahan musim tanam dan panen akibat musim yang tidak menentu. Musim di Jawa dikenal terbagi menjadi dua, rendheng (musim hujan) dan ketigo (musim kemarau). Biasanya musim hujan bulan Oktober–April, dan musim kemarau pada bulan April–Oktober. Namun patokan ini tidak berlaku lagi sekarang.
Sesungguhnya fenomena ini tidak sepenuhnya terjadi dalam satu kondisi geografis tertentu saja tetapi bagian dari perubahan lanskap global dalam konteks lingkungan. Seperti kita ketahui bersama, pemanasan global dan perubahan iklim adalah satu fenomena yang benar-benar terjadi. Secara kasat mata saja bisa kita saksikan perubahan besar-besaran lingkungan karena kasus pembalakan hutan untuk pertanian maupun perkebunan monokultur. Eksploitasi sumber daya alam, minyak dan tambang juga satu fenomena tidak terelakkan oleh manusia yang mempengaruhi struktur geografis bumi. Tak heran dalam satu pertemuan Scientific Committee dari International Geosphere Biosphere Program (IGBP) di Cuernavaca, Meksiko, pada Februari 2000, Paul Josef Crutzen, seorang ilmuwan klimatologi berkebangsaan Belanda yang juga pernah menjabat direktur Lembaga Kimia Max Planck di Mainz, Jerman memperkenalkan istilah baru “Anthropocene”. Secara sederhana ini adalah pembabakan baru dalam epos (epoch) bumi manusia mempengaruhi struktur geologi dan tentu saja berdampak pada iklim dan lingkungan pula.
Pandemi Covid-19 juga diyakini sebagai migrasi virus dari hewan ke manusia karena ekosistem hidup mereka yang terganggu hanya salah satu dari dampak ini. Kesewenang-wenangan manusia terhadap alam dan lingkungan karena merasa sebagai pusat dunia telah membuat eksploitasi berlebihan. Manusia diserang balik oleh perilaku aniaya mereka sendiri. Jauh sebelum kepanikan Covid-19 melanda, sudah banyak pikiran untuk mencari pendekatan baru, misalnya Global Solution Summit 2019 di Berlin yang mengambil tema “Recoupling the World” berusaha mencari terobosan-terobosan baru dalam menghadapi antroposentrisme berlebihan ini. Personhood yang dalam konsep antropologi dianggap sebagai cara pandang manusia memperlakukan alam sebagai bagian dari keluarga mereka, dikaji ulang. Animisme dan dinamisme dilihat lagi sebagai upaya penghargaan terhadap alam alih-alih sebagai praktik bidah bahkan kemusyrikan. Kampung dengan ritualnya masih banyak melanggengkan tradisi penghargaan terhadap alam ini, namun karena tidak ada intelektual yang mengelevasi daya kritisnya, tradisi ini terjebak pada ritus yang diulang-ulang saban tahun tanpa dimaknai konteks kekinian.
“Udan Salah Mongso” dimaksudkan juga sebagai bingkai kuratorial dalam program dua tahunan (biennale) Kolektif Hysteria dengan tajuk event Penta Klabs yang sudah berlangsung sejak 2016. Biennale ini berbasis art project dalam situs khusus misalnya kampung atau tempat semacam itu, dengan seniman melakukan respons dan keterlibatan bersama masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Penta Klabs sendiri tahun pertama mengangkat “Narasi Kemijen” (2016) tentang daya resiliensi warga di Kelurahan Kemijen, Semarang, dalam menghadapi banjir dan rob saban tahun, dan “Sedulur Banyu” (2018) bertema ekosistem air di daerah hulu dalam hal ini Kampung Randusari, Gunungpati, Semarang. Penyelenggaraan yang kedua hendak menangkap fenomena alih fungsi lahan daerah Semarang atas yang mulanya daerah resapan menjadi kawasan pemukiman. Kini di tahun ketiga (2020), Penta Klabs ingin melihat perubahan dalam skala global tetapi melalui kasus-kasus lokal.
Art project dipilih menjadi model representasi mengingat pertumbuhan seni dan konteks perlu digaungkan lagi apalagi di tengah kota seperti Semarang di mana kehadiran galeri kurang signifikan sehingga perlu pendekatan lain untuk mengampanyekan isu seni dan kebergunaannya di masyarakat. Seni seperti upaya-upaya lain bisa menjadi lem sosial dan aktivasi gerakan di tengah masyarakat rasa-rasanya itu menjadi satu pendekatan baru yang menyegarkan terlebih di kota-kota yang infrastrukturnya tidak cukup memadai. Berbeda dengan Penta Klabs sebelumnya, kali ini kegiatan secara umum dilakukan secara daring dengan menggunakan fitur virtual reality dari delapan kampung bagian jejaring Hysteria. Kampung tersebut antara lain: Petemesan, Bustaman, Randusari-Nongkosawit, Kemijen, Jatiwayang, Ngemplak Simongan, Sendangguwo, Bandarharjo, dan Krapyak.
Adin Hysteria (Kurator)
Pujo Nugroho (Ko-Kurator)