Setiap orang berhak merasakan kebahagiaan. Apapun dilakukan agar bisa membuat bahagia. Ibarat seorang ayah yang rela menjadi kuda, merangkak demi membahagiakan dan menjaga imajinasi anaknya. Begitu pula dengan teman teman di rusunawa. Kami harap apa yang akan kami lakukan bisa membuat mereka bahagia.
Setiap karya adalah representasi dari kegilaan di luar sana yang tertangkap oleh indra, gabungan dari beberapa hal yang dianggap menarik ataupun meresahkan. Karya ini lebih tertarik pada alam bawah sadar dan sisi imajinatif yang mengolah apa yang ditangkap belakangan ini, seperti perubahan ekosistem dan iklim yang terjadi secara mendadak yang mengakibatkan kita jungkir balik bertahan dan mengatasi beberapa tekanan yang diberikan oleh alam ataupun sesama manusia itu sendiri.
Konsep mengenai timbal balik dari semesta untuk kita dan kita untuk semesta menjadi garis besar akan karya ini. Kedua seniman baik Arief maupun STO menggunakan momentum ini membuat mural vertikal tertinggi pertama di Kota Semarang
Akeh udan salah mongso, akeh prawan tuwo. Akeh rondo meteng, akeh bayi tanpo bapak. Akeh agomo akeh sing nantang, kamanungsan akeh sing ilang. Omah suci podho dibenci, omah olo podho dipujo-pujo. Wanita podho wani ing ngendi-ngendi.
Ini adalah kutipan yang diambil dari ramalan Jayabaya pada kondisi serba tidak pasti dan kekalutan yang sudah diramalkan.
Perwujudan dari salah satu ikon Kelurahan Kemijen yang identik dengan pompa. Alat inilah yang beberapa tahun terakhir menolong warga mengatasi limpahan air terutama jika air laut naik.
Pompa ini menjadi semacam penjaga setia kampung yang mengurangi debit air yang masuk ke rumah-rumah warga.
Pada dasarnya Alo menggambar pohon yang kering karena di Salatiga sendiri ancaman kekeringan itu ada waktu melihat sungai-sungai kotor . Perempuannya sendiri menggambarkan masa depan, dan dia diselimuti sedikit cahaya.
Yang artinya masa depan ini masih ada bayangan gelap kalau masalah air tidak diselesaikan.
Pada dasarnya Alo menggambar pohon yang kering karena di Salatiga sendiri ancaman kekeringan itu ada waktu melihat sungai-sungai kotor . Perempuannya sendiri menggambarkan masa depan, dan dia diselimuti sedikit cahaya.
Yang artinya masa depan ini masih ada bayangan gelap kalau masalah air tidak diselesaikan.
Bahasa visual karya saya, refleksi peristiwa sosial yang saya jumpai sehari-hari, teknik stencil menjadi pola kerja visual yang menjadi medium dalam merefleksikan relasi manusia untuk mengkoneksikan diri dalam daur hidup didalam konteks arena yang dinamis.
Medialegal, menjadi inisial nama dalam karya yang saya cantumkan sebagai identitas tiap kali berkarya di jalan, begitu juga beberapa karya dalam material lain seperti, kayu, plat, rollingdoor, seng, dan benda temuan lain menjadi medium karya yang saya seringkali kerjakan. Dalam kegiatan mural kampung kali ini, saya mengangkat karya dengan tema “nandur panguripan” (Menanam kehidupan). Isu publik berkaitan dengan ketahanan pangan sebagai masyarakat agraris, Pandemi yang melanda memberikan peluang terjadinya kreativitas dalam memandang realitas dalam meretas peristiwa sosial di masa saat ini. (khususnya ketahanan warga). Figur visual petani gigih dan tidak mudah menyerah ketika mengolah lahan pangan yang menjadi kebutuhan utama masyarakat yang kita konsumsi sehari-hari, Bagi petani pergi ke sawah atau ke ladang sudah menjadi kewajiban sehari-hari, tidak terkecuali pada saat situasi pandemi mewabah yang kita rasakan hingga sampai saat ini. Aktifitas petani memberi kesadaran kita semua akan pentingnya mengolah alam di sekitar kita untuk mengolah kesediaan pangan dan komoditas utama rumah tangga.
Bahwasanya siapapun yang tidak tercatat di dalam sejarahpun punya peluang berkontribusi dan kelak akan ikut dikenali pula.
Coretan gaya bebas untuk memberikan figur wayang dalam citraan Kampung Jatiwayang.
Spirit warga bukit yang terbuka untuk perempuan membuat Valeria mengeksplorasi dalam kacamata wanita penyintas pandemi.
Gambar sederhana betapa seniman terkesan dengan keramahan warga setempat.
Akbar mempresentasikan siklus hidup manusia dari bayi, remaja hingga menua. Karya ini ingin mengingatkan perjalanan hidup manusia maupun masyarakat.
Ngemplak Simongan merupakan tempat ditemukannya Arca Manjusri tahun 1927 yang menandai peradaban kuno sebelum Islam di Semarang. Akbar ingin mengingatkan kembali dengan membuat mural tentang patung tersebut dalam bentuk mural.
Figur Ultraman dihadirkan untuk memantik ingatan anak-anak tentang masa lalu yang indah dengan posisi di atas bukit.
Mengalir begitu saja, suatu fenomena yang menurut Tri Aryanto biasa saja bagi siapapun yang tinggal di bukit, naik turunnya maupun potensi yang tersimpan di dalamnya.
Penggambaran secara sederhana figur wayang yang merupakan bagian dari nilai yang pernah dianut secara filosofis warga Kampung Jatiwayang.
Menggambar bebas untuk membuat artistik salah satu rumah warga.
Terinspirasi oleh perlombaan meninggikan permukaan tanah di Kelurahan Kemijen yang tiap tahun panik karena banjir selalu datang dan pemerintah selalu meninggikan badan jalan. Jika masyarakat tidak punya modal mereka akan tenggelam, berada di bawah permukaan jalan akibatnya air akan mengalir tak terhindarkan ke rumah.
Terinspirasi oleh perlombaan meninggikan permukaan tanah di Kelurahan Kemijen yang tiap tahun panik karena banjir selalu datang dan pemerintah selalu meninggikan badan jalan. Jika masyarakat tidak punya modal mereka akan tenggelam, berada di bawah permukaan jalan akibatnya air akan mengalir tak terhindarkan ke rumah.
Isrol menyajikan data sejarah Kemijen yang mempunyai salah satu stasiun tertua di Indonesia dalam muralnya kali ini sayangnya sekarang situs itu terbengkalai.
Penggambaran tentang ekosistem air di Randusari- Kemijen setelah sebelumnya duo seniman ini melakukan workshop di Sekolah Dasar Nongkosawit.
Karya ini mengisahkan terbentuknya kampung Nongkosawit dan Randusari yang berkaitan dengan konflik antara Hasan Munadi dan Ki Ajar Buntit.
Mural bercerita tentang toponimi Kampung Randusari dan Nongkosawit dengan menghadirkan elemen bende, masjid saka wali, dan bedug.