Seorang kurator independen yang berbasis di Jakarta yang telah menulis beberapa buku mengenai seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. Beliau secara rutin berkontribusi membuat esai mengenai seni rupa kontemporer Asia dan global untuk dipublikasikan.
Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia pada tahun 1948, Jim Supangkat adalah sejarawan seni otodidak yang hingga saat ini bekerja sebagai seniman, dosen seni, dan jurnalis. Dalam kariernya sebagai seniman, ia mendirikan Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia pada tahun 1975, sebuah tonggak sejarah yang saat ini dianggap menandai awal kemunculan praktik seni rupa kontemporer di Asia Tenggara. Pada tahun 1989 ia mempersembahkan pameran internasional pertama seniman Indonesia melalui ARX (Artists' Regional Exchange) di PICA (Perth Institute of Contemporary Art), Australia.
Pada tahun 1990, ia memulai misi untuk memperkenalkan praktik kuratorial di Indonesia, menghentikan kariernya sebagai seniman untuk menjadi kurator independen penuh waktu. Ia mengkurasi Jakarta Biennale IX (1993), pameran seni rupa kontemporer besar pertama di Indonesia. Sepanjang tahun 1990-an, ia terlibat dalam penyelenggaraan pameran seni rupa kontemporer dari Asia dan Asia Tenggara di Australia dan Jepang, kemudian di Eropa dan Amerika Serikat. Ia berperan penting dalam pendirian dan perencanaan strategis Galeri Nasional Indonesia yang diresmikan di Jakarta pada tahun 1999.
Atas kontribusinya terhadap pengembangan dan promosi seni dan budaya Indonesia di kancah internasional, ia dianugerahi Prince Claus Award pada tahun 1997. Ia terus mengorganisasi dan mengkurasi pameran internasional termasuk CP Biennale, Jakarta (2003, 2005). Pada tahun 2008, ia mengkurasi pameran bertajuk “Manifesto” untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.
Ia adalah salah satu dari sedikit seniman kontemporer Indonesia yang dikenal sebagai seniman multi-skill. Sebagai seniman dan desainer, ia mendalami material dan teknik sebagai media untuk karya tiga dimensinya, dari tradisional hingga teknologi cetak 3D, dari tenun bambu hingga instalasi monumental. Ia terus menerapkan teknik dan material baru. Latar belakangnya dalam industri film dan arsitektur, patung Nus dipengaruhi oleh imajinasi futuristik dan science-fiction. Pengalamannya bekerja sebagai pematung dan animator prostetik menjadikan karya seninya unik dan kontemporer, terutama dalam penciptaan karakter hybrid-nya.
Lahir di Tabanan pada tahun 1951, menyelesaikan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (1979). Di masa akhir studi akademiknya, ia memenangkan Sayembara Patung Proklamator Kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Merupakan salah satu anggota Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia di periode pertengahan hingga akhir 1970-an, pemilik Studio Nyoman Nuarta (sejak tahun 1975) dan NuArt Sculpture Park (sejak tahun 2000). Telah memroduksi lebih dari 200 karya yang dipresentasikan melalui ragam pameran dan perhelatan seperti Biennale dan Triennale. Telah terlibat dalam 54 pameran nasional dan internasional: 8 pameran tunggal dan 46 pameran bersama (1977 – 2021). Memperoleh penghargaan Ganesha Widya Jasa Adiutama dari almamaternya (2009 dan 2018), dianugerahi penghargaan Satyalancana Kebudayaan (2014) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, warga negara Indonesia pertama yang dianugerahi gelar kehormatan Padma Shri dari Pemerintah India (2018).
Di samping patung-patung khas seperti seri Rush Hour dan Borobudur, karya-karya masterpiece-nya juga mencakup patung-patung monumental seperti penggambaran adegan epik Mahabharata dalam Arjuna Wijaya di Jakarta Pusat, simbol TNI Angkatan Laut setinggi 60 meter Jalesveva Jayamahe di Surabaya, dan mahakarya patung arsitektur Garuda Wisnu Kencana di Bali. Telah memroduksi 76 patung publik (1976 – 2020), karya-karyanya tersebar di berbagai negara seperti Singapura, Filipina, Spanyol, dan Australia. Saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Siluet Nyoman Nuarta, Komisaris Utama PT NuArt Consultant, Komisaris PT NuArt Mahachakra Properti, dan pendiri serta pembina Yayasan Garuda Wisnu Kencana.
Sunaryo lahir di Banyumas, 15 Mei 1943. Ia merupakan alumnus Studio Seni Patung, Institut Teknologi Bandung (ITB). Karier berkeseniannya dimulai pada akhir tahun 60-an, dan ia sempat belajar ke Carrara, Italia untuk menekuni teknik pahat marmer.
Sudah banyak jejak pameran yang diikuti oleh Sunaryo, antara lain “The Land of Her People”, Singapura (1999), “Bandung Biennale”, Bandung (2001), “CP Biennale 2003: Interpellation”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2003). Ia juga beberapa kali menggelar beberapa kali pameran tunggal, di antaranya “A Stage of Metamorphosis”, CP Artspace, Washington DC, Amerika Serikat (2001), “Poetry of Inner Dreams”, Singapore Tyler Print Institute, Singapura (2007) dan “Aestuarium”, Equator Art Projects, Singapura (2014).
Atas dedikasinya dalam dunia kesenian, Sunaryo memperoleh beberapa penghargaan antara lain “Life Achievement Awards” dari Art Stage Jakarta (2017); “Chevalier dans l’ordre des arts et lettres” dari Republik Perancis (2017), “Lifetime Achievement Award” dari Yayasan Biennale Jogja (2017) dan Penghargaan dari Akademi Jakarta (2017).
Pada 1988, Sunaryo mendirikan Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), sebuah organisasi non-profit yang fokus dalam kegiatan seni budaya. Ini merupakan wujud kesetiaan dan pengabdian Sunaryo terhadap seni kontemporer Indonesia. Kemudian pada 2015, ia menyelesaikan proyek artistik terbesar dan terpenting dalam kariernya, yakni Wot Batu. Karya ini merupakan instalasi besar yang terdiri dari sejumlah patung dan elemen lain yang digabungkan sehingga membentuk konstelasi simbol dan makna spiritual dan transendental. Sunaryo membuka Wot baru untuk publik yang ingin menikmati instalasi seni sebagai ‘situs’ untuk perenungan dan kontemplasi.
Lahir di Kota Semarang dan dibesarkan di Kota Solo. Ia seorang Arsitek Profesional IAI, mengantongi gelar Doktor Ilmu Sejarah (2005) dan Doktor Arsitektur (2013) dari Universitas Indonesia. Disertasinya telah diterbitkan sebagai setangkup pustaka fenomenal bertajuk: Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 19261965 (2005) dan Bung Karno dalam Panggung Indonesia (2013).
Memiliki sejumlah publikasi jurnal dan beberapa pustaka, antara lain Dua Relief di Gedung Sarinah, Kemdikbud (2021), Tiga Relief Tiga Perupa. Narasi Keindonesiaan di Ruang VIP Eks Bandara Kemayoran Jakarta (2019), Sejarah Arsitektur Melalui Visual- Estetik Diorama Dan Litografi Nusantara (2019), De Tjolomadoe, Adaptive Re-Used Bangunan Cagar Budaya (2018), Grounded Theory untuk Arsitektur, Seni dan Desain (2018), Studio Living pada Rumah Kaki Seribu di Papua Barat (2017), Historiografi Arsitektur pada Historiografi Indonesia (2017), 9 Windu Prof. Edi Sedyawati (2010), Edhi Sunarso dan Kota Jakarta: Diorama Life Karya Bung Karno (2010), dsb. Selengkapnya https://scholar.google.co.id/citations?user=I9cnBrkAAAAJ
Aktif menulis karya ilmiah sebagai pemakalah dan jurnal internasional. Berpraktek sebagai Arsitek Kepala di PT Sekawan Design Architect dan Team Leader untuk Beberapa projek pemerintah (2004-sekarang).
Lahir di Pare-Pare, Indonesia. Menyelesaikan program Sarjana (2005) dan Master (2009) di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Menyelesaikan program Doktoral (2020) pada almamaternya setelah bergabung menjadi staf pengajar sejak 2012. Dikenal sebagai seniman yang memiliki ketertarikan pada hubungan karya dan pengamatnya, hingga menjadi topik utama pada penelitian berbasis kekaryaan yang mengolah data metode penciptaan karya seni di ruang publik. Ia menjadi Lead Researcher & Bandung Data Coordinator dalam sebuah wadah digital yang menghimpun informasi mengenai patung-patung publik yang ada di berbagai kota di Indonesia, yakni Indonesia Public Art Archive (IPAA), https://www.indopublicart.org.
Telah berpameran tunggal di Ciburial, Bandung (2007); Ambiente Gallery, Jakarta (2011) dan Platform 3, Bandung (2017). Sempat menjalani beberapa proyek residensi di ZK/U, Berlin, Jerman (2014); Ashiya Gallery, Fukuoka, Jepang (2016); MIA, Kuala Lumpur, Malaysia (2017); dan Ichihanari Project di Okinawa, Jepang (2017). Beberapa kali masuk nominasi seni seperti Indonesia Art Award (2008 dan 2013) serta Bandung Contemporary Art Award (2014).