Suwarno Wisetrotomo
Karya seni rupa koleksi nasional merupakan sebuah predikat yang mengacu pada status state collection atau koleksi negara adalah keniscayaan, karena menjadi bagian penting dari jejak peradaban sebuah bangsa. Ketika dinyatakan sebagai koleksi nasional, maka dapat dipastikan bahwa benda-benda itu memiliki makna dan nilai “penting”. Sementara terkait “bagus atau baik” terkait kenyataan faktual–visual, bentuk, dan kondisi–benda-benda tersebut, dapat diletakkan menjadi percakapan berikutnya. Karena pada dasarnya makna dan nilai “penting” itulah alasan utama terkait status karya, dan dapat melampaui kenyataan “kebagusan”. Tentu saja akan menjadi ideal jika karya seni rupa koleksi nasional, di samping penting juga bagus.
Pameran bertajuk Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional menjadi salah satu program unggulan Galeri Nasional Indonesia, dihasratkan untuk menghadirkan karya-karya seni rupa disertai risalah-risalah pertautan antara nama (seniman), peristiwa (latar belakang sosial, politik, ekonomi, budaya), dan karya seni (yang dikreasi). Dari uraian itu, maka akan diperoleh gambaran makna dan nilai penting suatu karya. Pameran ini merupakan kelanjutan dari dua pameran sebelumnya, yang diselenggarakan pada 2018 dengan tajuk kurasi "MENYIGI MASA", dan pada 2019 bertajuk "LINI TRANSISI". Seperti tertera pada tajuk, pameran pertama (2018) merupakan upaya melakukan pemetaan terkait potensi karya, sebaran posisi karya, konteks historis, dan kepemilikan. Kemudian pada pameran kedua (2019) tajuk kurasi mengisyaratkan sebuah pembacaan yang lebih mengerucut terkait nama, karya, peristiwa, dan makna historisnya khususnya di masa sekitar 1940-an – 1980-an. Terdapat titik-titik transisi di sekitar ideologi, latar belakang sosial, politik, budaya, yang tercermin pada karya-karya para seniman.
Pada kedua pameran kurator berupaya menunjukkan kondisi faktual di mana dan apa yang disebut sebagai koleksi nasional; yakni karya-karya seni rupa yang dimiliki oleh institusi pemerintah maupun BUMN (seperti Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Kesejarahan Jakarta, Kementerian Luar Negeri, Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia), yang di(ter)simpan di dalam negeri maupun di luar negeri, baik yang berada di dalam ruang (museum, ruang perkantoran) maupun yang berada di luar ruang.
Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #3 semestinya diselenggarakan pada 2020 lalu. Tetapi karena situasi sedang disergap pandemi Virus Corona-19 yang mengubah segala rencana dan agenda, maka ditunda, dan baru dapat diselenggarakan mulai Agustus 2021. Pameran kali ini seluruhnya diselenggarakan dalam format dalam jaringan (daring; online) dengan memosisikan karya-karya seni rupa di ruang publik, utamanya monumen, sebagai fokus utama (highlight). Meski belum secara komprehensif menunjukkan kondisi faktual yang kompleks, namun dihasratkan dapat menunjukkan berbagai potensi koleksi nasional, meliputi: karya seni rupa sebagai monumen, karya seni rupa di ruang publik, dan narasi terkait konteks sosio-historisnya.
Monumen
Karya seni rupa di ruang publik, utamanya luar ruang, hampir didominasi oleh karya tiga dimensional berupa patung monumen, dalam berbagai kualitas estetik dan artistik yang beragam, dan posisinya dalam lanskap (lokasi) yang harus bertarung dengan perkembangan kota yang tak terelakkan. Kehadiran monumen selalu terkait dengan narasi historis dalam berbagai jenisnya. Menyebut sejumlah contoh misalnya, Monumen Selamat Datang yang terletak di bundaran Hotel Indonesia, memang pada awalnya dihasratkan untuk “menyambut” tamu-tamu dan atlet yang akan berlaga di pekan olah raga Asian Games, yang datang dari arah Bandara Kemayoran, kemudian bermalam di Hotel Indonesia, dan berlaga di Gelanggang Olah Raga Bung Karno, Senayan. Demikian pula Monumen Dirgantara, diletakkan di tempat strategis ruang terbuka Kemayoran yang dekat dengan Markas TNI Angkatan Udara, sebagai pembangkit spirit cita-cita kedirgantaraan. Termasuk Monumen Pembebasan Irian Barat, Monumen Proklamasi, Monumen Angkatan 66, karya patung Ikatan di halaman Gedung DPR/MPR Senayan, relief dan mural di Hotel Indonesia Kempinski, relief di bekas Bandara Kemayoran, atau di lantai dasar Gedung Sarinah, dan lainnya.
Dapat pula disebut sebagai contoh, berbagai karya seni patung ruang publik di Bali, yang dapat dipahami sebagai monumen. Karya-karya itu memiliki ikatan yang kuat karena merefleksikan bagian kehidupan penting masyarakat yakni cerita epos Ramayana, yang dijadikan tema karya-karya seni lukis tradisional Kamasan. Sejumlah contoh itu menegaskan bahwa kehadiran monumen di suatu lokasi karena memiliki ikatan narasi dan konteks yang dicita-citakan oleh komunitas, warga, atau bangsa; baik untuk memorial, impian, atau pernyataan.
Karya seni rupa di ruang publik
erbeda ide dan tujuan awal, karya seni di ruang publik menjadi bagian dari ekspresi pribadi seorang seniman atau sekelompok/komunitas seniman. Namun demikian kehadiran karya seni di ruang publik, betapapun itu ekspresi pribadi, tetap penting mempertimbangkan narasi atau konteks lokusnya. Seniman yang berinisiatif meletakkan karyanya di ruang publik tidak dapat sewenang-wenang mengkooptasi ruang, hanya karena kebutuhan ekspresi pribadi. Seniman penting melakukan negosiasi dengan publik penggunanya, menimbang aspek historis dan konteksnya, agar karyanya memiliki pertautan erat dengan ruang yang digunakan.[1] Mengacu pada pengertian ruang publik, mengutip Hardiman, pertama, adalah ruang yang dapat diakses semua orang, maka juga membatasi dirinya secara spasial dari ruang privat. Ruang publik dibentuk oleh para warga yang saling respek terhadap hak mereka masing-masing. Kedua, mengacu pada peranan masyarakat warga dalam demokrasi atau “ruang publik politis”.[2] Ruang publik merupakan ruang bersama untuk berekspresi kreatif merdeka sebagai warga, tempat berinteraksi dan relaksasi, meskipun pada perkembangan lebih lanjut bergeser menjadi ruang publik ekonomi dan politik.[3]
Karya seni rupa di ruang publik dengan demikian berada dalam “aturan main” penggunaan ruang milik bersama itu, termasuk menggenggam prinsip respek pada warga yang dibayangkan sebagai penonton atau bahkan bagian integral dari karya yang dimaksud. Karena itu karya di ruang publik justru dimungkinkan menghadirkan karya yang ideal baik dari aspek ide, material, teknik, bentuk, dan fungsinya (misalnya bersifat interaktif, mengundang publik untuk menjadi bagian dari karya; bukan hanya sekadar sebagai latar swafoto, atau apalagi terdapat peringatan “dilarang menyentuh” yang justru mengingkari watak kepublikan).
Narasi
Karya monumen maupun karya seni rupa di ruang publik, merupakan artefak yang menyimpan beragam narasi, antara lain kebangsaan, nasionalisme, kewargaan, dan ruang publik. Narasi itu saling bertautan antara narasi historis (nama, waktu, peristiwa); narasi makna (bentuk, fungsi, kebangsaan, kewargaan, nasionalisme); dan narasi ruang publik (penanda ruang; sosial, politik, budaya).
Seperti sudah sekilas disinggung pada bagian awal catatan ini, sekadar menyebut contoh, karya-karya monumen seperti Monumen Selamat Datang, Monumen Dirgantara, Monumen Pembebasan Irian Barat, Monumen Pahlawan Tak Dikenal (kesemuanya di Jakarta), Monumen Tugu Muda (di Semarang), relief-relief dan mural di Hotel Indonesia Kempinski (Jakarta), di Hotel Bali Beach (Bali), di Hotel Samudra Beach, dan di Hotel Royal Ambarrukmo (Yogyakarta), bahwa karya-karya itu memiliki pertautan erat antara bentuk, tujuan, seniman, pemimpin (sebagai representasi negara), dan masyarakat sebagai “penonton” (penikmat, pengguna).
Berbeda latar kisah, tujuan, dan ideologinya, adalah karya-karya seni rupa tiga dimensional di ruang publik seperti Patung Ikatan (karya But Muchtar di halaman Gedung DPR/MPR Senayan), patung-patung karya G. Sidharta Soegijo, Rita Widagdo, Nyoman Nuarta, Dolorosa Sinaga, Teguh Ostenrik, dan lain-lainnya, yang menempatkan ekspresi pribadi dan imajinasi terkait tema dan lokus karya. Baik monumen maupun karya-karya seni rupa di ruang publik, menyodorkan fakta bahwa masih terdapat kesenjangan (pemahaman, perlakuan) antara seniman, karya seni, monumen, publik, dan bahkan, dengan negara.[4]
Karena itu, narasi dengan berbagai pendekatan sebagai literasi dan edukasi, sangat medesak dikerjakan. Kerja sama erat antara sejarawan, kritikus, seniman, kurator, arsitek, tata kota, yang didukung penuh pemerintah, penting artinya bagi pengetahuan, perawatan, dan perlindungan terhadap monumen dan karya-karya seni rupa di ruang publik yang sudah menjadi ikon kota atau lokus tertentu. Tak hanya itu, tetapi juga sangat berguna bagi monumen maupun karya-karya yang akan diwujudkan di waktu mendatang, seiring dengan perkembangan wilayah atau kota (contoh termutakhir adalah perencanaan ibu kota negara dengan segenap fasilitas dan ikon-ikon seninya).
Seni dan Kebangsaan
Dalam perjalanan menjadi Indonesia, cerita di sekitar bagaimana Presiden Soekarno (Bung Karno) berkomunikasi dengan seniman dan kesenian, terus menjadi tutur tinular yang menarik. Buktinya, terutama bidang seni rupa, berserak artefak: sejumlah lukisan, patung, keramik, yang entah bagaimana persisnya dulu, kini berada di Istana Negara, sejumlah monumen di ruang publik yang dibangun pada era kepemimpinannya, enam jilid buku koleksi, dan catatan-catatan kesaksian dari sejumlah orang yang mengenal Bung Karno dari dekat. Bung Karno memesan kepada seniman untuk membuat monumen-monumen itu.[5]
Kisah hubungan seniman dengan penguasa pasca-Bung Karno sempat terus berlanjut dengan tendensi yang berbeda. Pada era Orde Baru, sejumlah karya monumen berdiri di berbagai kota (Jakarta, Yogyakarta, Purworejo, Pacitan, termasuk pintu gerbang perbatasan dengan negara jiran, dan lainnya). Meski sama-sama karya “pesanan”, tetapi (mungkin) yang diinginkan si pemesan (penguasa) dan yang diterjemahkan oleh terpesan (seniman) berbeda. Bung Karno memesan monumen yang ditujukan untuk menafsir keberadaan, sikap, dan identitas kebangsaan mewujud menjadi Monumen Dirgantara, Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, Tugu Muda (di Semarang), relief tentang kerukunan hidup sebagai cita-cita keindonesiaan yang terpasang di Hotel Indonesia Kempinski, Royal Ambarrukmo, Bali Beach, Samudra Beach, di bekas Bandara Kemayoran, mural di Museum Kesejarahan Jakarta, relief di lantai dasar Gedung Sarinah, Patung Banteng Ketaton karya Trijoto Abdullah, dan beberapa lainnya. Seiring pergantian kekuasaan, selera pemesan berganti, menjadi sekadar monumen pengukuhan dan glorifikasi era kekuasaannya: Monumen Serangan Umum 1 Maret, Yogya Kembali, atau diorama sukses pembangunan, atau (sekadar) mematungkan sosok-sosok pahlawan.
Realitas itu menunjukkan, bahwa monumen (pesanan) pun sesungguhnya memerlukan ide yang kuat dan imajinasi dari si pemesan serta terpesan. Dengan segenap imajinasi itulah, maka lahirlah monumen yang menunjukkan gerak menjulang penuh tenaga, monumen yang menunjukkan lepas dari belenggu, monumen yang menyambut siapapun dengan ramah untuk datang. Sosok-sosok dalam monumen itu, sejauh yang saya tahu, anonim, tetapi hingga hari ini terasa spirit, penanda, dan aspirasi bangsa Indonesia terpancar di sana. Ketika karya-karya itu “dipesan” dan kemudian dikerjakan, juga di tengah situasi yang tidak ideal; negara baru berumur pendek, politik penuh tegangan, situasi sosial dan ekonomi ambyar, namun Bung Karno yang visioner menganggap seni penting dan menjadi deretan prioritas, karena menunjukkan sisi kemanusiaan sebuah bangsa. Seniman diajak bicara, dipesan untuk memanggungkan Indonesia melalui karya seni (seni rupa), dengan upaya-upaya ekstra untuk membiayai. Seniman yang mengerjakan penuh kebanggaan, tak terlupakan sampai akhir hayat. Seniman Edhi Sunarso selalu menyala-nyala jika menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan Bung Karno, ketika mendapatkan mandat untuk mengerjakan sejumlah monumen yang tadi sudah disebut. Terbukti, generasi berikutnya memanen visi, ide, dan keteguhan Bung Karno hingga kini. Karya-karyanya menjadi penanda penting, terus dipercakapkan hingga kini. Dalam pandangan Ben Anderson, monumen-monumen tersebut adalah tipe dari pengucapan, terkait apa yang dikatakan Bung Karno, mengapa bentuk dan isinya spesifik sedemikian rupa.[6]
Berbeda dengan monumen era Orde Baru, aspirasi bangsa berebut dengan aspirasi penguasa, dan tentu berjarak dengan realitas dan spiritual bangsa. Patut diduga, seniman tidak terlalu terlibat dalam percakapan ide dan bentuk, lebih cenderung menerjemahkan apa maunya pemesan. Jika kita mengamati monumen-monumen itu, semakin sadar bahwa mereka yang dimonumenkan itu hero, dan penonton adalah jelata. Tidak ada imajinasi tentang kekitaan. Bandingkan dengan kisah-kisah di seputar proses kreatif pada monumen Selamat Datang atau Monumen Dirgantara misalnya. Seniman dengan pemesan (Bung Karno) terlibat diskusi, untuk menentukan bentuk yang dianggap paling tepat.
Rupanya memang, monumen pesanan semakin menurun kualitas ide dan pesan yang ingin disuarakan. Akibatnya, secara bentuk juga mengalami stagnasi. Monumen-monumen terbaru yang dibiayai negara⎯antara lain melalui kementerian⎯lagi-lagi hanya wajah dan sosok presiden, atau sejumlah sosok pahlawan. Tentu bukan karena sosok-sosok itu tidak penting, sebaliknya sungguh teramat penting. Tetapi kenyataan itu menunjukkan bahwa tak ada imajinasi sang pemesan, dan (mungkin) tidak ada ruang percakapan bagi si terpesan (seniman) untuk menafsir pesanan. Ketika patung-patung monumen itu selesai, terpasang megah di tengah jalan, di sudut jalan, di halaman kantor kementerian, sesungguhnya kurang memberi inspirasi dan makna bagi masyarakat luas, kecuali (mungkin) hanya bagi si pemesan. Monumen seperti itu sepertinya sudah cukup. Kini dan masa mendatang diperlukan monumen-monumen yang membangkitkan kesadaran kekitaan, kebangsaan atau kewargaan, yang mendorong tumbuhnya solidaritas dan toleransi.
Monumen dan Partisipasi Warga
Menyoal koleksi nasional akan bertemu dengan kompleksitas persoalan: kualitas, makna, pencipta/seniman, latar belakang sosial, sejarah, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Betapapun rumitnya, apa yang disebut sebagai koleksi nasional tetap harus ditelisik dan ditetapkan, serta berada dalam perlindungan hukum. Hal lain yang perlu dicermati adalah, betapa sebagian besar warga bangsa ini memiliki banyak ide, inisiatif untuk memaknai negeri ini dengan banyak cara, misalnya: inisiatif membangun tetenger (monumen) di kampungnya, membuat peristiwa seni berskala internasional (ARTJOG, Ngayogjazz, Biennale Jogja, Jakarta Biennale, Asia Tri, Jatiwangi Art Factory, Proyek Seni Cigondewah, Art Bali, dan sejenisnya). Idealnya, inisiatif warga semacam itu perlu mendapatkan perhatian dan sokongan negara sepenuh-penuhnya, karena dampaknya yang menggerakkan banyak orang.
Monumen dan partisipasi warga yang mampu menggerakkan warga secara luas, selayaknya mendapatkan dukungan dari para pihak. Praktik dan pemikiran seni serta seniman selayaknya sering diajak bicara, agar dukungan tidak sekadar “mengakui” hasilnya, tetapi sungguh nyata dalam fasilitasi, membesarkan, dan mengumandangkan capaian-capaian para seniman dan pemikir seni.
Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #3 “POROS” memiliki sejumlah arti penting; Pertama, membuka ruang apresiasi seni rupa kepada masyarakat luas, untuk mengonfirmasi keingintahuan, khususnya terkait dengan karya seni rupa koleksi nasional gubahan para maestro Indonesia. Diharapkan pula perihal kepemilikan, perawatan, perlindungan dan posisi hukum, serta produksi pengetahuan mendapatkan perhatian dari banyak pihak. Kedua, menjadi peristiwa edukasi kepada masyarakat luas, bahwa karya seni menjadi bagian penanda penting dari sejarah perjalanan bangsa dan negara. Karya-karya seni rupa koleksi nasional memiliki narasi historis yang perlu dibagi kepada khalayak luas, agar menjadi pengetahuan dan modal untuk meningkatkan jiwa nasionalisme dan kebangsaan. Ketiga, memicu masyarakat yang tertarik pada wacana seni rupa untuk melakukan penelitian, kajian, dan memroduksi pengetahuan. Keempat, pameran ini juga melibatkan partisipasi warga untuk menginformasikan rekaman-rekaman gambar (foto atau video) terkait dengan monumen atau karya seni di ruang publik, yang patut diduga pengadaannya dibiayai oleh “negara” (dalam berbagai level) maupun institusi badan usaha milik negara. Agenda ini semata untuk meningkatkan kepedulian warga terhadap lingkungan sekitar, utamanya terkait dengan karya-karya seni rupa di ruang publik.
Catatan:
1. Suwarno Wisetrotomo, “Karya Seni di Ruang Publik” dalam Harian Kedaulatan Rakyat, hlm. 12.
2. F. Budi Hardiman (2010), Ruang Publik – Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 1-19.
3. Baca Mudji Sutrisno, “Krisis Ruang Publik Kultural” dalam F. Budi Hardiman (2010), Ruang Publik – Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta: Kanisius, hlm.281-294.
4. Tentu saja, seperti sudah disinggung, yang dimaksud Koleksi Nasional adalah termasuk karya lukisan, seni grafis, seni patung, dan karya-karya seni rupa kontemporer yang tersebar di Galeri Nasional Indonesia, Museum Nasional, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Basoeki Abdullah, Museum Kesejarahan Jakarta, Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri, di ruang Kementerian Luar Negeri, Ruang-ruang Kadutaan Besar di Luar Negeri, Konsulat Jenderal, atau Atase Kebudayaan di berbagai negara, dapat disebut sebagai koleksi negara. Patut diduga, bahwa karta-karya itu memiliki pertautan erat dengan perjalanan kebangsaan dan keindonesiaan.
5. Suwarno Wisetrotomo, "Seni, Kebangsaan, dan Nyoman Nuarta" dalam Kompas.id, Selasa, 10 Agustus 2021.
6. Benedict R. O’G. Anderson, Kuasa-Kata Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000, hl. 366-7.