Poros Persoalan Penciptaan Karya Patung Di Ruang Publik Era Pasca Reformasi

Dalam sebuah buku katalog pameran Seni Patung Modern Indonesia, kritikus dan kurator senior Jim Supangkat menulis tentang perkembangan seni patung modern Indonesia yang berjudul “Tiga Gejala Awal Pertumbuhan Seni Patung Modern Indonesia” (1990). Salah satu bahasannya terkait topik penciptaan karya patung di ruang publik, yaitu tentang gejala perkembangan pembuatan patung dengan citra monumen. Dimulai oleh Hendra Gunawan di tahun 1950-an yang membuat patung Jenderal Sudirman dari bahan batu dengan teknik pahat, kemudian kecenderungan patung monumen ini berlanjut dan dikembangkan oleh pematung Edhi Sunarso. Berbekal pengetahuan dan pengalamannya selama belajar seni patung di luar negeri, Edhi Sunarso berhasil membuat karya monumen skala besar yang digagas oleh Presiden Soekarno—Presiden Republik Indonesia kala itu—yaitu Patung “Selamat Datang”, “Pembebasan Irian Barat”, dan Patung “Dirgantara” di Jakarta. Ketiga patung tersebut adalah hasil eksplorasinya dalam mengembangkan teknik pengecoran perunggu di Yogyakarta bersama ahli teknik Gardono Soegiyo pada tahun 1960-an. Sejarah ini menjadi bagian penting bagi perkembangan pematungan di Indonesia, khususnya perkembangan karya-karya patung di ruang publik dengan visi patung sebagai simbol semangat nasionalisme bangsa yang membutuhkan karakter monumental, bersifat permanen ditempatkan pada lokasi spesifik luar ruang sehingga memerlukan daya tahan terhadap cuaca, dan oleh sebab itu membutuhkan sumber daya ekstra pada zamannya; baik dari sisi visi, eksplorasi estetik, teknologi maupun pendanaan untuk merealisasikannya.

Praktik di atas adalah contoh bagaimana model penciptaan karya patung ruang publik merupakan bagian dari rantai produksi: otoritas, perancang, seniman. Dalam sejarah perkembangan patung ruang publik di Indonesia, Presiden Soekarno adalah contoh otoritas penggagas, pemberi tugas kepada perancang dan seniman untuk menempatkan dan membuat karya tersebut. Tradisi penciptaan patung publik—yang dalam sejarah seni patung modern Indonesia diawali dari kecenderungan pendirian patung-patung ruang publik yang bersifat monumen—terus berlanjut dan berkembang hingga kini. Perkembangan wacana patung di ruang publik di Indonesia secara garis besar telah mengalami tiga era perkembangan; sejak era Presiden Soekarno mendorong seniman-seniman untuk membuat karya-karya bersifat monumental dengan semangat nasionalisme yang banyak hadir di Jakarta di tahun 60-an, kemudian era Orde Baru ketika pembangunan infrastruktur dan wilayah urban serta suburban banyak mendorong hadirnya patung-patung ruang publik yang bersifat pesanan—baik melalui pembangunan oleh pihak pemerintah maupun swasta—dan era pasca-Reformasi di mana otonomi daerah mendorong banyaknya pembangunan fasilitas publik di tingkat daerah atau lokal serta berkembangnya gagasan-gagasan tentang pentingnya pembuatan patung-patung publik sebagai penguat identitas ruang, situs, lokasi maupun wilayah.

Ragam bentuk karya-karya patung di ruang publik banyak muncul di berbagai lokasi di Indonesia, seiring dengan perkembangan sekolah tinggi seni rupa beserta pengetahuan tentang seni patung dan seni ruang publik, berkembangnya profesi seniman dan pematung, serta studio seniman beserta bengkel-bengkel produksi patung. Perkembangan karya-karya patung di ruang publik di Indonesia hingga saat ini banyak muncul terutama di pusat-pusat aktivitas masyarakat kota, dengan berbagai kontroversi yang menyertainya, baik itu pencapaian seperti pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana yang dibuat oleh Nyoman Nuarta di Bali, bahkan sampai pada kasus-kasus penolakan hingga penghancuran karya patung—baik itu oleh masyarakat maupun oleh otoritas. Hal ini tentunya memerlukan banyak ulasan dan riset yang mendalam untuk dapat memetakan perkembangan karya-karya patung di ruang publik Indonesia hingga kini.

Di luar dinamika bentuk-bentuk karya patung yang ditempatkan di ruang publik yang terus berkembang—dalam bentuk patung-patung monumen, patung identitas penanda area dan wilayah, patung elemen ruang publik dan lainnya—terdapat fenomena menarik terkait perkembangan patung-patung ruang publik di beberapa wilayah di Indonesia. Kajian dalam tulisan ini khususnya akan memotret fenomena yang berkembang pada penciptaan dan penghadiran patung di ruang publik di era pasca-Reformasi Indonesia, sekitar dua dekade terakhir.

Era pasca-Reformasi, sebagai lini masa memiliki tanda-tanda sosial semakin banyaknya pelaku bidang kreatif dan seni, baik dari kalangan perguruan tinggi maupun dari para pelaku kreatif lainnya yang memiliki referensi serta pengalaman membandingkan dengan perkembangan patung publik di berbagai belahan dunia. Para pegiat dan pelaku seni turut aktif terlibat dalam aktivitas maupun pengelolaan seni budaya di berbagai lini melalui kegiatan pemerintahan maupun swasta sehingga menjadi bagian yang mendorong munculnya banyak gagasan, pewacanaan dan realisasi patung di ruang publik. Setidaknya ada tiga kasus menarik di tiga wilayah kota di Indonesia, yaitu Bandung, Yogyakarta, dan DKI Jakarta perihal bagaimana penciptaan seni patung di ruang publik ini memunculkan fenomena sekaligus persoalan baru penghadiran patung-patung di ruang publik.

Bandung Creative City adalah sebuah brand yang sejak tahun 2008 dikumandangkan oleh pegiat kreatif kota Bandung untuk memberikan citra baru bagi kota yang diklaim memiliki modal sumber daya generasi muda kreatif dan industri kreatif lokal. Brand ini diusung oleh Ridwan Kamil—salah seorang pegiat komunitas yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat—dengan mendirikan Bandung Creative City Forum (BCCF). BCCF dalam aktivitas besarnya mengadakan forum tahunan Helar Fest, festival kreatif pertama pada tahun 2008 yang salah satu acaranya adalah pameran temporer karya-karya patung di ruang publik di sekitar ruang terbuka taman Dago, Cikapayang-Bandung. Aktivitas BCCF dan sosok Ridwan Kamil sebagai arsitek desain urban menjadikannya tokoh muda Bandung yang cukup populer, hingga mengantarkannya menjadi Wali Kota Bandung pada tahun 2013.

Latar belakang Ridwan Kamil sebagai arsitek dan perancangan kota serta semangatnya mendorong kekuatan kreatif dalam membangun sumber daya manusia dan infrastruktur kota Bandung saat menjabat sebagai Wali Kota, berdampak cukup signifikan terhadap maraknya kemunculan karya-karya patung di ruang publik di kota Bandung. Di masa kepemimpinannya, di banyak sudut kota Bandung—mulai dari pusat kota hingga ke wilayah kelurahan—bermunculan karya-karya patung dan karya-karya kreatif ruang publik lainnya; di trotoar, taman kota, hingga taman-taman di persimpangan jalan raya.

Dari hasil kajian karya-karya seni publik di kota Bandung pada masa tersebut, sejumlah karya patung dibuat oleh pihak-pihak yang tidak dikenal dalam medan sosial seni patung. Karya-karya ini menambah khazanah karya patung masa sebelumnya yang telah lebih dahulu didirikan, seperti karya pematung Sunaryo, Nyoman Nuarta, G. Sidharta, dan lainnya yang berlatar profesi seniman atau pematung profesional. Melalui laman https://www.indopublicart.org, kita bisa menyaksikan cukup marak dan beragamnya karya-karya baru yang mengisi berbagai sudut kota Bandung.

Gambar 1

Gambar 1. Pemerintah Kota Bandung membangun delapan tugu berbentuk abstrak di delapan persimpangan, salah satunya terletak di dekat Jembatan Layang Pasupati pada persimpangan antara Jalan Cihampelas dan Jalan Pasteur. Peletakan tugu ditujukan sebagai penanda area. (Sumber: indopublicart.org)

Semangat penghadiran karya-karya patung di ruang publik di masa kepemimpinan Wali Kota Ridwan Kamil menggunakan model produksi yang beragam, ada yang menggunakan dana APBD dan juga dana masyarakat melalui Corporate Social Responsibility (CSR). Tercatat juga bahwa ada program yang terkurasi dengan baik namun banyak yang prosesnya tidak diketahui. Maraknya pendirian patung-patung di ruang publik ini bukanlah tanpa risiko, paling tidak muncul sejumlah masalah terkait misalnya isu plagiarisme bentuk patung hingga ketidaklaziman eksekusi prinsip-prinsip dasar kualitas estetik patung seperti material dan skala. Banyak di antara karya-karya tersebut yang tidak memiliki informasi serta kejelasan konteks mengapa karya tersebut dihadirkan pada lokasi tertentu.

Gambar 2

Gambar 2. Patung Diskamtam “Tangan” Lokasi di Jalan L.L.R.E Martadinata, Bandung. Diresmikan tahun 2016, patung ini merupakan pemberian dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung. Muncul komentar mengenai bentuk patung karena dinilai memiliki kesamaan/tingkat kemiripan yang tinggi dengan patung “The Open Hand Monument” karya seniman dan arsitek modern berkebangsaan Perancis, Le Corbusier yang terletak di Kota Chandigarh, India. Le Corbusier merancang patung tersebut di tengah Kota Chandigarh sebagai simbol keterbukaan publik Kota Chandigarh untuk bertemu, berdiskusi dan bekerja demi kemajuan kotanya. (Sumber: Indopublicart.org)

Sebagai upaya untuk menunjukkan citra kota kreatif dengan menempatkan karya-karya patung di ruang publik dan didukung oleh pemimpin kota yang sadar akan pentingnya kehadiran seni di ruang publik, tentu saja merupakan situasi yang ideal. Namun pada kenyataannya, fenomena seperti di Bandung dan di berbagai wilayah Indonesia pada umumnya masih membutuhkan pemahaman lebih lanjut tentang pentingnya kelengkapan proses penciptaan patung untuk dapat dikategorikan layak ditempatkan di ruang publik—antara lain dengan melibatkan pihak profesional seperti kurator atau dewan kesenian—sehingga karya patung dapat hadir dalam kualitas yang dapat meningkatkan pemahaman nilai-nilai estetik dan kualitas artistik seniman sebagai puncak pencapaian kreativitas dalam kebudayaan.

Berbeda dengan fenomena di kota Bandung, di kota Yogyakarta terdapat fenomena menarik terkait aktivitas karya seni patung di ruang publik. Pada tahun 2015 Asosiasi Pematung Indonesia (API) Yogyakarta membuat kegiatan Jogja Street Sculpture Project (JSSP), sebuah rintisan program tahunan pameran patung di ruang publik yang masih berlangsung hingga tahun 2021 ini. Program ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan API di Yogyakarta dengan mengundang para pematung, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal yang menarik dari program ini adalah upaya para pegiat seni patung yang tergabung dalam API untuk terus mendorong kesadaran tentang masih lemahnya inklusivitas dalam proses dan penghadiran karya patung di ruang publik serta kebijakan otoritas yang belum menyadari potensi besar seni patung dalam konteks ruang publik khususnya di Yogyakarta. Selain menjadi bagian dari program API untuk mendorong pewacanaan karya-karya seni patung publik, kegiatan JSSP ini juga secara kontekstual dipicu oleh isu tentang proses perizinan pameran karya-karya patung di sekitar ruas Jalan Malioboro yang dinilai tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah prinsipil penghadiran karya patung di ruang publik, yaitu proses yang melibatkan secara aktif para ahli di bidangnya dan pemangku kepentingan.

JSSP kemudian menjadi aktivitas seni yang sekaligus mengampanyekan pentingnya melibatkan pemangku kepentingan dalam keputusan penghadiran karya patung di ruang publik. Dalam setiap program JSSP, gagasan dan karya patung di ruang publik diorganisir oleh para pegiat seni patung dengan melibatkan kurator, pengamat, kolektor. Diawali dengan proses pembuatan proposal yang disampaikan pada otoritas pemerintahan daerah—baik untuk perizinan maupun pendanaan kegiatan—dan dijadikan kegiatan yang inklusif; termasuk mengenalkan seni patung kepada masyarakat umum melalui kegiatan pendukung JSSP di antaranya diskusi, mengundang siswa sekolah, serta lomba foto melalui Instagram.

Gambar 3

Gambar 3. Poster kegiatan JSSP tahun 2015 (Sumber: API)

Kegiatan JSSP ini kemudian menjadi fenomena penting dalam wacana perkembangan seni patung di ruang publik Indonesia, di mana inisiatif penghadiran karya di ruang publik muncul dari kalangan seniman, tidak seperti umumnya karya patung di ruang publik di mana kebijakannya dimulai dari otoritas pengelola ruang dan kuasa alokasi pendanaan. Inisiatif, proposal dan gagasan patung sepenuhnya berasal dari seniman. Dalam penentuan eksekusi dan penempatan karya, kegiatan JSSP ini membuka peluang untuk meluaskan wacana pematungan, menghadirkan pengalaman estetik seni patung pada dimensi realitas unik ketika seniman merespons, melibatkan ruang, situs, konteks mejadi satu kesatuan. Tentunya hal ini adalah potensi seni di ruang publik, seperti yang disebutkan oleh Mary Jane Jacob—seorang kurator Amerika—bahwa “seni publik membawa seni mendekat pada kehidupan”.

Gambar 4

Gambar 4. Karya Triyono yang berjudul “Rainbow Culture” berlokasi di Kota Baru, Yogyakarta. (Sumber: Instagram JSSP 2017)

Kasus ketiga adalah fenomena karya patung publik Joko Avianto di Jakarta berjudul “Getih-getah” dengan bahan utama bambu. Joko menyebutkannya sebagai karya Instalasi Bambu. Karya ini dibuat dalam rangka memeriahkan perhelatan Asian Games di Jakarta, sekaligus ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73. Diresmikan pada bulan Agustus 2018, kurang-lebih sebelas bulan kemudian karya ini dibongkar. Joko ditugaskan untuk membuat karya oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang cukup mengenal dekat Joko dan karya-karya patung bambunya. Catatan penting dari fenomena karya ini—yang kemudian menjadi perbincangan publik saat itu—adalah bahwa Gubernur Anies menyadari dan memahami bahwa apa yang akan dibuat oleh Joko adalah karya di ruang terbuka dengan bahan dasar bambu. Inilah yang kemudian memancing kontroversi di kalangan masyarakat bahwa karya dari material bambu yang dibuat Joko dibiayai ratusan juta. Publik terjebak dalam stereotipe logika sederhana pengetahuan tentang material bambu (yang dianggap murah dan relatif tidak tahan lama) yang ditempatkan di ruang terbuka, terpapar cuaca, yang secara nalar tidak akan bertahan lama dan dinilai tidak sepadan dengan biaya produksi ratusan juta rupiah.

Gambar 5

Gambar 5. Joko Avianto, “Getih Getah” (2018) Bambu, 13 x 4,5 x 5,5 m Lokasi: Kawasan Bundaran HI Jakarta (Sumber: Joko Avianto)

Pilihan Gubernur Anies Baswedan kepada karya Joko merupakan langkah berani dan tidak biasa. Anies pun menjawab berbagai kritikan dengan proporsional, salah satu tanggapannya, adalah “Bambunya boleh bengkok, tapi niatnya lurus”. Anies Baswedan juga memperkuat penjelasannya tentang nilai-nilai estetik karya berbahan utama bambu ini dengan aspek budaya Indonesia dan konteks Jakarta sebagai kota megapolitan. “Bentangan dan balutan bambu ini jadi pengirim pesan. Di tengah deretan beton tinggi yang cakarnya menggenggam tanah ibu kota, hadir karya bambu yang lembut, sederhana tapi kompleks. Sebuah material tradisional yang dibalut ilmu, kreativitas dan kemodernan. Dengan rasa cinta dan kreativitas, bambu yang dianggap tak bernilai menjadi karya seni yang tak ternilai.”

Gubernur Anies dan Joko sangat sadar bahwa material bambu meskipun mendapat perlakuan khusus agar memiliki daya tahan terhadap cuaca, tetap memiliki keterbatasan. Tidak aneh bila dalam waktu kurang dari satu tahun, akibat penurunan kualitas daya tahan material, karya ini kemudian dibongkar. Masyarakat awam banyak yang memandang negatif pembongkaran karya ini. Namun dalam amatan perkembangan seni di ruang publik, fenomena kesepakatan penghadiran karya ini merupakan terobosan, dan setidaknya “melemparkan” masalah untuk direnungkan oleh masyarakat awam, bahwa terdapat kemungkinan karya seni di ruang publik bersifat temporer.

Penciptaan karya patung khususnya di ruang publik memang memiliki risiko ketika posisi pematung berada di kisaran otoritas dan pembiayaan realisasi patung. Dalam konteks seni patung yang ditempatkan di ruang publik, pematung senantiasa ditantang untuk mempertimbangkan secara intens faktor-faktor yang kompleks, baik dari implementasi teknis, estetik gagasan, maupun faktor publik dengan beragam latar belakang yang secara langsung merespons karyanya. Tidak tertutup kemungkinan respons negatif bahkan destruktif akan dihadapi pematung, dan sering terjadi di Indonesia berbagai bentuk protes, kritik, pemindahan karya, hingga pembongkaran paksa karya.

Penciptaan karya patung yang ideal dari sudut pandang pematung untuk di ruang publik juga sangat bergantung pada faktor pendanaan, dan tidak jarang “intervensi kuasa” dari pemesan dengan berbagai kepentingan dan kapasitas pemahaman seni yang juga berisiko pada titik ideal kualitas sebuah karya. Tidak sedikit pematung “terpaksa” menurunkan kualitas ideal karya dalam implementasinya hingga derajat tertentu. Dalam prinsip implementasi patung, “godaan” terbesar adalah bentuk memungkinkan dicapai dengan spesifikasi material dan teknik substitusi yang “diturunkan” kualitasnya akibat keterbatasan dana; atau sebaliknya, seperti dalam kasus Joko Avianto, anggaran pembuatan patung terasa menjadi relatif besar dibandingkan dengan”‘nilai” material bambu dalam utilitas keseharian.

Seni patung adalah medium ekspresi melalui kualitas fisikal bentuk dan material. Komunikasi seni untuk pengalaman estetik apresiator melalui bentuk dan kualitas estetik material tentunya menjadi tujuan ideal. Penurunan kualitas media (material dan teknik) atau sisi ekstrim lain seperti keberanian dalam meyakinkan otoritas dan publik tentang nilai estetik pilihan material, bahkan memilih temporer untuk tujuan artistik yang ideal, adalah “ketegangan” yang selalu akan dihadapi. Belajar dari sejarah pembuatan patung-patung publik, paling tidak dari para pematung seperti Edhi Sunarso, Rita Widago, G. Siharta Soegijo, Nyoman Nuarta, para pegiat Jogja Street Sculpture Project, hingga Joko Avianto, kita belajar bahwa merepresentasikan nilai-nilai ideal seni selalu tidak mudah.