Memahami Indonesia Melalui Sejarah Seni Rupa

Seni Rupa dan Ide tentang Indonesia

Seni rupa bukanlah praktik di ruang kosong. Disadari atau tidak, praktik seni rupa niscaya menimba inspirasinya dari kenyataan sekitar dan karenanya setiap karya seni merupakan reservoir dari kesan sang perupa terhadap lingkungannya. Atas dasar itu, karya seni rupa selalu dapat didekati sebagai dokumen sosio-historis. Di sana kita temukan kegelisahan batin sang perupa dan harapan tersembunyinya atas dunia yang ia hidupi, baik itu dunia perupaan yang sempit maupun dunia sosial yang lebih luas. Karya seni adalah sumber sejarah.

Pada kesempatan ini, kita akan membaca sejarah seni rupa kita sebagai rekaman perjalanan bangsa. Kita, tentu saja, tidak akan menguraikan keseluruhan sejarah seni rupa Indonesia dalam kesempatan yang terbatas ini. Alih-alih begitu, kita akan berfokus pada satu fragmen saja dalam sejarah seni rupa kita untuk meneropong salah satu perkara fundamental dalam historiografi nasional kita, yakni ide tentang Indonesia.

Undang-Undang Dasar 1945 dibuka dengan sebuah kalimat yang menegaskan proyek besar Indonesia sebagai bangsa: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Dari situ, nampak bahwa proyek bersama kita sebagai bangsa yang pertama-tama ialah untuk merdeka.

Ide tentang Indonesia adalah pada dasarnya ide tentang kemerdekaan. Dengan istilah “kemerdekaan” yang saya maksud bukan hanya pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia. Kemerdekaan jauh lebih luas daripada itu. Kemerdekaan adalah visi tentang kehidupan baru yang lepas dari segala bentuk penjajahan. Hal itu tidak dengan sendirinya terwujud dengan pengakuan kedaulatan. Seperti dinyatakan Sukarno dalam sidang BPUPKI, kemerdekaan adalah suatu “jembatan emas” yang melaluinya kita memerdekakan bangsa kita, memperbaiki perikehidupan masyarakat kita, mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang bebas dari segala bentuk “penghisapan manusia oleh manusia”. Di atas semua itu, kemerdekaan adalah visi tentang manusia baru—manusia merdeka. Ide tentang Indonesia, karenanya, adalah ide tentang manusia merdeka.

Lalu pertanyaannya: bagaimana ide tentang Indonesia itu dipotret dalam sejarah seni rupa kita?

Seni Rupa dan Agenda Dekolonisasi: Kembali Membaca Sudjojono

Dalam sejarah seni rupa kita, ada banyak perupa yang bergulat dengan tema kemerdekaan. Tetapi nyaris tak ada seorang pun yang dapat menyaingi Sudjojono dalam fokusnya pada penggambaran manusia merdeka. Apabila kita hendak membicarakan sejarah seni rupa dengan mendudukkannya pada masalah kebangsaan Indonesia yang konkret, maka kita harus berangkat dari Sudjojono.

Pemikiran kesenian Sudjojono dapat kita temukan dalam bukunya, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, yang diterbitkan tahun 1946 oleh sebuah penerbit bernama Indonesia Sekarang. Latar belakang dari penjelajahan estetika Sudjojono adalah respons kritis terhadap corak lukisan yang disebutnya “Hindia Elok” (Mooi Indië). Corak lukisan semacam itu kita temukan sejak dalam karya-karya Raden Saleh hingga Mas Pirngadie dan Abdullah Soerjosoebroto. Dalam amatan Sudjojono, lukisan-lukisan mereka seakan-akan menggambarkan sebuah situasi di mana, tulis Sudjojono, “semua serba bagus dan romantis bagai di surga, semua serba enak, tenang dan damai. Lukisan-lukisan tadi tidak lain hanya mengandung satu arti: Hindia Elok.”[1] Ia menyebutnya “kesenian turisme yang tidak berwatak”.[2]

Sudjojono mengomentari bahwa dalam lukisan-lukisan Basoeki Abdullah, sosok yang ada cenderung dihadirkan “cantik, bersih, manis senyumannya, mandi di air susu saja macamnya, makan bawang sekali setahun, sakit kudis, kadas tak pernah, pilek pun jarang rupanya.”[3] Tentang salah satu lukisan Basoeki Abdullah, Sudjojono menulis: “Dia membuat lukisan berjudul ‘Indonesië’ umpamanya. Saya tengok lukisan apa itu. Rupanya gambar jembatan biasa dengan gunung biru di belakang. Bukanlah maksud saya bahwa sebuah jembatan itu tak bisa untuk menjadi alat menggambarkan ide ‘Indonesië’, tidak, tetapi cara menggambarnya tak cocok dengan perkataan tadi. Dia tak mengerti sama sekali rupanya pada hidup masyarakat kita.[4]

Dari situ bisa disimpulkan bahwa diskusi estetika modern pertama di Indonesia dimulai dengan interogasi kritis atas keindahan. Sudjojono menggugat keindahan formal yang tercipta dari penerapan pakem-pakem seni yang diekspor oleh kolonialisme. Ia menekankan bahwa keindahan tidak boleh diceraikan dari kebenaran. Sudjojono mencatat:

“Kebagusan dan kebenaran ialah satu. [...] Dari itu tak heran kita mengapa anak kecil yang lari-lari telanjang di tengah jalan, kelihatan segala-galanya, toh tetap bagus. Dan muka mereka meskipun penuh ingus toh simpatik. Sebab apa? Sebab barès [terus terang], sebab tak berlagak, sebab benar dan dengan sendirinya bagus. Tetapi bagus yang hendak bagus saja yang tidak mengandung kebenaran di dalamnya, biasanya malah tidak bagus. Kalau pembaca tidak percaya, cobalah anak tuan yang baru berumur 6 bulan, tuan pangkas, tuang potong polka, lalu tangannya tuan tolak-pinggangkan, dan tuan tengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sebagai mandor besar kebun mengontrol pekerjaan kuli-kulinya, tuan terkejut akan efeknya. Tuan ketawa melihat anak tadi. Sebab ‘kebagusan’ tadi tidak mengandung kebenaran.”[5]

Dalam visi keperupaan Sudjojono, keindahan bukanlah ideal yang terpisah dari kebenaran pandangan tentang kenyataan. Keindahan yang hanya “indah” saja akan mati, sementara keindahan yang punya resonansi pada kondisi lingkungan sekitar, yang terus terang terhadap kenyataan yang dilukiskan, dengan sendirinya punya nilai estetik yang lebih tinggi.

Kebenaran yang disandingkan Sudjojono dengan keindahan adalah kebenaran sosio-historis, yakni mengacu pada kenyataan bangsa Indonesia yang mau merdeka. Ia sadar betul, nasib seni rupa Indonesia bergantung sepenuhnya pada nasib Indonesia merdeka.

“Kalau kita kalah dan Republik Indonesia tidak ada, apa Saudara-saudara pelukis sekarang ini jadi pelukis? Apa Saudara-saudara sangka kober [sempat] bisa punya cita-cita jadi seniman? [...] Satu-satunya impian kalau jadi anak-anak jajahan adalah rekes kanan rekes kiri hanya minta kerja jadi juru tulis. Kalau tidak ada, apapun mau. Akhirnya paling banyak jadi supir taxi. Kalaupun jadi pelukis macam saya dulu, tapi terhina: menjajakan lukisan di sore hari, dilepasin anjing oleh Belanda yang sedang menikmati minum teh sore dengan biniknya di halaman depan rumahnya penuh bunga-bunga bagus.”[6]

Tidak ada seni rupa Indonesia tanpa kemerdekaan Indonesia. Seni rupa Indonesia berdiri, dan selamanya berdiri, di atas sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, segala pencarian keindahan seni rupa seyogianya ditempatkan di atas usaha terus-menerus untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa penjajahan.

Dengan caranya sendiri, Sudjojono hendak menjalankan suatu dekolonisasi estetika, suatu dekolonisasi keindahan. Ia ingin membumikan keindahan dan praktik kesenian ke pergerakan kebangsaan konkret yang mengelilingi sang seniman. Dengan kata lain, yang digagasnya adalah keindahan yang punya sikap.

“Pada tahun 1947, Trisno Sumardjo tidak mau di-‘dikte’ pemerintah RI kita, pada waktu kita harus membuat lukisan-lukisan perjuangan. Saya lalu bertanya padanya: ‘Djo, apa beda seniman dari orang biasa. Kalau memang ada bedanya, apa?’ Dia jawab: ‘Rasa!’ ‘Baiklah buat sementara,’ kata saya. Saya sekarang tanya: ‘Kalau kamu baca tentang anak muda dari Bandung Selatan membawa bahan peledak masuk gudang mesiu Belanda, lalu dia turut meledak bersama bomnya, hancur badannya, tinggal kelihatan macam ribuan cipratan perkedel besar pecah, tapi mesiu Belanda juga semua habis, bulu kuduk kamu berdiri tidak karena haru dan hormat?’ Dia diam sesunyi kuburan. Dia tidak menjawab. Saya baru mengerti suara diamnya ketika saya dapat laporan bahwa dia di waktu Clash II [maksudnya, agresi militer Belanda kedua] bekerja sama dengan Notosuroto di Solo ini, sedang Srihadi Soedarsono, sebaliknya, ditangkap Belanda sebab membawa granat satu peti di becak di kota ini juga. SIM [Seniman Indonesia Muda] terpaksa memecat Trisno Sumardjo.”[7]

Orientasi untuk menjalankan “dekolonisasi keindahan” inilah yang membuat visi keindahan Sudjojono berciri politis. Secara terbuka ia menyatakan bahwa “kita harus tidak bisa hormat” kepada pelukis “yang enak-enak saja menggambar lembah-lembah dan gunung-gunung tinggi mencapai awan dan mimpi surga dunia berkata: ‘Oh Priangan yang romantis’, tetapi tak mau mendengarkan di belakang dekat dia pak tani mengeluh, merintih, menangis, sebab kakinya kena pacul, berdarah, luka parah.”[8] Sebagai alternatif, Sudjojono membayangkan sosok seniman yang berhasil menjalankan dekolonisasi keindahan ini sebagai berikut:

“Benda tidak diatur-atur digambarkan secara sederhana, tetapi secara benar. Barang yang jelek digambar jelek. Pelukis ini tak lagi ke gunung untuk mencari kebagusan, tetap di kota mereka menunjukkan hidup di sekeliling hidup mereka. Botol, panci, sepatu, kantor, kursi, adik-adik, ibu-ibu, kota, jembatan busuk, selokan, jalan-jalan dan kuli-kuli melarat menjadi benda-benda gambar-gambar mereka. Digambarkan terang-terang semua itu sebagai lambang kebenaran, untuk membuat dasar yang terang dan bagus bagi masyarakat baru yang akan datang. […] Dia akan memprotes barang yang salah, dia akan memprotes keadaan yang tak adil dan dia akan dengan rela hati menjeritkan rasa pedih manusia, bangsa dan tanah tumpah darahnya dengan alat seninya, sebab rasa pedih tadi tak enak, sebab rasa pedih tadi tak bagus, sebab rasa pedih tadi tak berharmoni dan sebab rasa pedih tadi tak benar—dan berarti bertentangan dengan tabiatnya cinta pada kebenaran.”[9]

Di situlah nampak visinya tentang seniman sebagai manusia merdeka, sebagai ia yang “membuat dasar yang terang dan bagus bagi masyarakat baru yang akan datang”.

Ketika ideal keindahan formal didekolonisasi dan segala ekspresi artistik menjadi ekspresi kehidupan kebangsaan, apa yang kita peroleh adalah persepsi baru tentang seniman sebagai manusia merdeka. Di sini, arti manusia merdeka bukanlah seorang yang bebas dari segala hubungan sosial, melainkan ia yang mengupayakan segenap daya keseniannya untuk mentransformasi seluruh hubungan sosial menuju kondisi kemerdekaan. Dalam Sudjojono, oleh karenanya, kita temukan pemahaman tentang Indonesia, ide tentang Indonesia, sebagai proyek politik bersama untuk mewujudkan kemerdekaan di segenap segi perikehidupan masyarakat. Pada hampir seluruh karyanya pada era Revolusi, kita jumpai semangat itu.

Kesenian dan Kebangsaan

Dari Sudjojono kita belajar bahwa keindahan harus selalu diinterogasi secara kritis. Seni rupa bukanlah sebuah praktik universal, tetapi tersituasikan secara sosio-historis. Karena itu, sejarah seni rupa tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari masalah kebangsaan. Makalah pendek ini menunjukkan bahwa sejarah seni rupa dapat dibaca sebagai cerminan dari sejarah kebangsaan.

Sebagai penutup, kita dapat menimbang sebuah pertanyaan lanjutan: bagaimana kita mesti menempatkan kedudukan seni kontemporer dalam bingkai kebangsaan? Apabila Sudjojono dulu mengupayakan keterlibatan seniman pada masalah kebangsaan dengan cara menggambarkan Indonesia apa adanya, kini tantangan seniman-seniman kita bukan hanya pada penggambaran realitas kebangsaan tetapi ikut terjun mengubah realitas tersebut dengan menyelenggarakan praktik berkesenian bersama warga.

Praktik seni partisipatoris sejak Moelyono di era 1980-an kini telah berkembang pesat dalam berbagai bentuknya, walaupun masih dalam skala kecil-kecilan. Mereka, seperti misalnya kolektif seni Jatiwangi Art Factory, mengupayakan solusi bersama atas masalah-masalah sosial melalui aktivitas kesenian. Kita dapat menyebut pula berbagai kelompok seniman yang berkumpul dalam wadah kolektif Gudang Sarinah Ekosistem di Jakarta sebagai contoh seni partisipatoris di ruang urban. Dalam praktik seni partisipatoris macam itu, diskursus keindahan betul-betul tertanam pada aktivisme kebangsaan.

Apabila kita menempatkan kesenian dalam konteks kebangsaan dan hendak menggagas bentuk kebijakan negara yang mau memajukan kesenian, maka kita mesti berangkat dari kebutuhan konkret masyarakat kita. Mayoritas bangsa Indonesia masih kekurangan akses pada ekspresi kesenian. Apa yang kita perlukan bukan hanya literasi visual bagi rakyat banyak, tetapi juga praktik-praktik kesenian yang melibatkan warga, memperluas akses bagi kaum yang terpinggirkan. Perluasan akses dan partisipasi warga dalam praktik seni rupa kontemporer adalah kunci apabila kita hendak mewujudkan sintesis antara seni rupa dan kebangsaan. Perluasan akses dan partisipasi adalah instrumen yang melaluinya kebangsaan hadir sebagai ihwal yang konkret di kehidupan semua orang yang terlibat.

Catatan:

1. S. Sudjojono, “Seni-Loekis di Indonesia, Sekarang dan Jang Akan Datang”. Dalam S. Sudjojono, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman (Yogyakarta: Indonesia Sekarang), 1946, h. 5.

2. Ibid., h. 7.

3. S. Sudjojono, “Basoeki Abdullah dan Kesenian Meloekis”. Dalam S. Sudjojono, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, h. 19.

4. Ibid., h. 18.

5. S. Sudjojono, “Kebenaran Nomor Satoe, Baroe Kebagoesan”. Dalam S. Sudjojono, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, h. 40.

6. S. Sudjojono, “Seni Rupa yang Menjawab Tantangan Masa Kini”. Dalam majalah SANI, 28 Juni 1985, h. 38.

7. Ibid., h. 36.

8. S. Sudjojono, “Seorang Seniman Dengan Sendirinja Haroes Seorang Nasionalis”. Dalam S. Sudjojono, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, h. 25.

9. S. Sudjojono, “Djaman Raden Saleh Dibandingkan dengan Djaman Peloekis-Peloekis Angkatan Moeda”. Dalam S. Sudjojono, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, h. 48.