Oleh: Bayu Genia Krishbie
Ketika kami merancang Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional edisi pertama pada tahun 2018, terdapat diskusi menarik mengenai perisitilahan yang hendak digunakan sebagai tajuk pameran: Koleksi Negara atau Koleksi Nasional. Secara faktual, koleksi seni rupa yang ditampilkan pada pameran ini adalah karya-karya terpilih dari berbagai instansi serta lembaga negara yang terlibat, sehingga “Pameran Koleksi Negara” tentu saja sesuai dengan sifat pameran ini yaitu menampilkan koleksi seni rupa yang dimiliki oleh negara. Sementara itu, jika kita melihat semangat yang melandasi penyelenggaran pameran ini, yaitu kolaborasi dan keterbukaan akses antarlembaga, rasanya istilah “koleksi negara” terdengar terlalu elitis. Ada juga kesan seolah istilah “koleksi negara” bermakna eksplisit “koleksi milik negara”, sedangkan “koleksi nasional” lebih dapat dimaknai sebagai “koleksi milik bangsa”, milik warga Indonesia.
Tentu saja, hingga saat pameran edisi pertama dirancang, kita belum memiliki sistem Koleksi Nasional dalam artian pengelolaan koleksi budaya satu pintu dan terpusat secara nasional seperti halnya dipraktikkan oleh negara-negara maju. Singapura, misalnya, mengelola seluruh koleksi museum dan karya seni di ruang publik mereka secara terpusat sehingga kolaborasi dan pertukaran koleksi antarmuseum untuk kebutuhan pameran sangat mungkin dilakukan. Museum-museum nasional untuk seni rupa di Jepang juga memiliki sistem pengelolaan yang sejenis. Empat museum di bawah Independent Administrative Institution National Museum of Art yaitu The National Museum of Modern Art Tokyo, The National Museum of Western Art Tokyo, The National Museum of Modern Art Kyoto, dan The National Museum of Art Osaka mengelola koleksi nasional secara bersama sehingga konten pameran di masing-masing museum menjadi lebih beragam sesuai dengan konteksnya. Berkaca pada kondisi ideal tersebut, pemilihan istilah “koleksi nasional” yang kami tetapkan sebagai tajuk pameran dapat dilihat sebagai “mimpi” atau “harapan”, daripada istilah “koleksi negara” yang dengan sendirinya sudah menjelaskan suatu “kenyataan”.
Setelah dua edisi Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional terselenggara atas kerja sama yang baik dengan berbagai instansi dan lembaga negara yang membuka pintunya untuk berkolaborasi, pada tahun 2021 kabar gembira hadir dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Melalui Direktorat Pelindungan Kebudayaan, telah dirancang program pencatatan Koleksi Nasional untuk objek kebudayaan milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk BUMN/BUMD. Agenda awalnya untuk tahun ini adalah menyelesaikan naskah Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Petunjuk Teknis (Juknis). Semangat utama dari program ini adalah pencatatan atau registrasi sebagai informasi keberadaan dan kepemilikan koleksi budaya milik negara, berbeda dengan penetapan Benda Cagar Budaya yang memiliki mekanisme dan kriterianya sendiri serta tidak terbatas pada kepemilikan oleh negara.
Walaupun tidak bertujuan untuk mengalihkan pengelolaan koleksi menjadi terpusat atau satu pintu, sebagai langkah awal inisiatif ini patut diapresiasi dan didukung bersama. Melalui program pencatatan Koleksi Nasional, nantinya kita dapat mengakses platform informasi koleksi yang dikelola dan dimiliki oleh museum atau lembaga pengelola koleksi budaya lainnya di seluruh Indonesia. Sumber informasi koleksi terpadu ini tentunya akan bermanfaat bagi pengembangan narasi museum dan penyelenggaraan pameran-pameran koleksi lintas-lembaga berskala nasional. Selain itu, dalam konteks pelindungan dan pengamanan, pencatatan koleksi nasional juga seyogianya bermanfaat sebagai sarana pengawasan kolektif atas keberadaan koleksi budaya berharga milik bangsa Indonesia.
Patut pula dicermati mekanisme pencatatan Koleksi Nasional yang saat ini sedang dimatangkan oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan. Status Koleksi Nasional bertumpu pada kepemilikan oleh negara, baik pemerintah pusat atau daerah, juga secara progresif meliputi lembaga negara nonstruktural yang dibiayai oleh anggaran negara serta badan usaha milik negara atau daerah. Proses pencatatannya nanti dilakukan oleh masing-masing instansi pemerintah dan lembaga negara untuk kemudian diajukan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dalam hal ini Direktorat Pelindungan Kebudayaan, yang berperan sebagai verifikator. Proses verifikasi selain mencermati kesesuaian data koleksi juga menguji signifikansi koleksi untuk dicatatkan dalam sistem informasi Koleksi Nasional.
POROS: Karya Seni Rupa di Ruang Publik sebagai Koleksi Nasional
Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional edisi ketiga yang bertajuk POROS menitikberatkan fokusnya pada karya seni rupa milik negara di ruang publik. Selama ini, kita terlalu sering mengasosiasikan istilah koleksi hanya untuk benda-benda budaya yang disimpan dan ditampilkan di museum. Padahal, monumen dan patung publik misalnya, adalah pengalaman estetis pertama khalayak umum yang awam atas pengetahuan seni budaya. Karya seni di ruang publik ini hidup dalam keseharian warga yang silih berganti datang dan pulang untuk beraktivitas di jantung kota. Alih-alih koleksi seni rupa di dalam museum, karya seni rupa di ruang publik justru memerankan fungsi sosialnya jauh lebih berdampak dalam proses apresiasi seni rupa oleh publik.
Dalam rancangan naskah NSPK Koleksi Nasional yang dirumuskan oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, menarik untuk mencermati definisi koleksi. Alih-alih menggunakan istilah “benda” seperti yang kita pahami pada penetapan “Benda Cagar Budaya”, pencatatan Koleksi Nasional menggunakan terminologi “objek yang berasosiasi dengan kebudayaan”. Perluasan terminologi ini dapat dimaknai dengan perluasan objek pencatatan Koleksi Nasional yang tidak hanya bertumpu pada koleksi museum dan lembaga pengoleksian karya seni rupa lainnya, namun juga meliputi karya-karya seni rupa di ruang publik seperti monumen, patung, relief, mural, elemen estetis, dan objek seni rupa lainnya yang berada di ruang-ruang komunal.
Karya seni rupa di ruang publik di sisi lain juga sarat akan problematika yang menarik untuk diwacanakan. Karya-karya publik, yang intensi awalnya diciptakan untuk menjadi perhatian khalayak umum, sarat dengan pesan ideologis. Dari karya-karya yang ditampilkan pada pameran kali ini dapat kita saksikan bagaimana bangsa ini mengalami pergulatan ideologi. Seiring peralihan rezim misalnya, monumen atau patung publik yang dibangun pada rezim sebelumnya dan tidak sejalan dengan ideologi rezim yang baru kerap dipindahkan dari lokasi strategis, bahkan dilenyapkan sama sekali. Problem lainnya adalah rendahnya pengetahuan seni rupa dan kesejarahan di kalangan birokrat. Di berbagai lokasi di Indonesia, kerap terjadi kasus pengecatan patung-patung publik sebagai perlakuan konservasi oleh aparat pemerintahan. Patung-patung batu misalnya, melalui anggaran konservasi dari pemerintah, dicat ulang sehingga ciri material awalnya beralih menjadi karakter logam. Problem rendahnya kesadaran estetik birokrat yang juga sering berulang adalah proyek-proyek pekerjaan konstruksi masif kerap mengerdilkan monumen atau patung publik existing seperti yang dapat kita lihat pada Monumen Dirgantara di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Monumen yang seharusnya menjadi titik fokus di tengah bundaran ini terganggu oleh proyek jalan layang yang membuat kemegahan monumentalnya sirna.
Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional kali ini tentu saja sarat akan narasi sejarah, utamanya sejarah bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan proses modernisasi. Menarik untuk dapat melihat perjalanan bangsa yang akan merayakan kemerdekaannya ke-76 tahun ini melalui “pergulatan estetik” karya-karya seni rupanya di ruang publik. Besar harapan kami melalui pameran yang dilaksanakan secara daring ini, publik mendapatkan edukasi sejarah bangsa yang diimajinasikan lewat objek-objek pengingat: monumen, patung, mural, relief, dan lainnya. Semoga bangsa ini bisa menjadi bangsa pengingat, bangsa yang belajar untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya di masa lalu.