Melanjut Dan Mengerut

Karya-karya publik awalnya hanya satu arah. Perkembangan kota memungkinkannya bergerak ke segala arah, atau mungkin kehilangan arah.

Monumen Nasional—selanjutnya disebut MONAS (1961) adalah jantung ibu kota, yang menjadi pusat perhatian utama. Tinggi keseluruhan sekitar 132 meter bukan tanpa alasan, karena Bung Karno yang juga seorang arsitek sadar, bagaimana penanda ibu kota itu tetap terlihat dalam radius sekian kilometer, tak terhalang oleh apapun di sekitarnya. Begitu juga monumen tersebut ditempatkan persis di tengah-tengah lapangan, agar menjadi sesuatu yang memusat dan paling menarik perhatian. Monas dibangun untuk memuliakan kemerdekaan yang direbut dengan pengorbanan jiwa nan tak terbilang. Lokus monumen itu sudah tepat. Ia berdiri di pusat sebagai sebuah landmark, dan tugu peringatan; revolusi rakyat Indonesia. Bentuk keseluruhan Monas terinspirasi dari objek sehari-hari di pedesaan yaitu lumpang alu, perkakas tradisional rakyat untuk menumbuk padi—hingga kini masih banyak dipakai di desa-desa. Untuk keperluan proyek monumental itu, bentuk lumpang alu yang juga bisa dilihat sebagai lingga dan yoni diolah, diidealisir hingga menyerupai sesuatu yang terbuka membentangkan semangat, doa, dan harapan. Lalu, di bagian atas berdiri tegak obelisk menyanggah bentuk abstraksi api semangat nasionalisme dan kebangsaan yang, dimuliakan dengan lapis emas, bergerak dinamis menuju satu titik imajiner.

Sebelumnya kawasan itu dikenal sebagai Koningsplein (Lapangan Raja), semacam alun-alun antara lain berfungsi sebagai tempat upacara dan peringatan hari-hari besar terkait Kerajaan Belanda nun jauh di sana. Bung Karno sadar simbol yang melekat pada kawasan itu harus direbut, diambil alih, diubah dengan sesuatu yang baru, sejalan dengan semangat sebuah bangsa yang hendak menentukan masa depannya sendiri. Pada 1949 itu, kebetulan bertepatan tahun Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RIS (Republik Indonesia Serikat)—sebelum kemudian berubah bentuk menjadi Republk Indonesia, Bung Karno menutup riwayat Koningsplein dengan memberi tanda silang di empat penjuru mata angin, dan mengganti namanya: Lapangan Merdeka. Bahkan, alur lalu lintas sepenjuru mata angin itu dinamai pula sebagai Jalan Medan Merdeka.

Di zaman sulit ekonomi, tidak mungkin membangun proyek ideal dari uang belanja negara. Rancangan ideal “Pembangunan Semesta Berencana” yang telah dibentangkan akhirnya digulung kembali dan disimpan baik-baik untuk generasi nanti. Jalan lain ditempuh untuk tetap membangun sesuatu yang membanggakan. Kali ini datang dari partisipasi publik, dengan mengumpulkan dana sedikit demi sedikit dari orang per orang, kelompok, dan perusahaan yang waktu itu masih bisa dihitung dengan jari. Dari semangat gotong royong dan keinginan besar itulah kita menyaksikan berdirinya Tugu Monas, Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, dan karya-karya seni rupa publik. Namun, semua tetap tidak sepi protes dan demonstrasi dari kelompok yang berbeda pandangan; perlu makan atau membangun monumen!!! Sorotan negatif pun muncul dengan menyematkan sebutan Proyek Mercusuar. Embusan berita-berita yang isinya menyerang dimainkan oleh buzzer versi zaman itu.

Kita cukup puas dapat menyaksikan rangkaian diorama, relief, dan rekaman suara si Penyambung Lidah Rakyat berisi naskah Proklamasi di Museum Monas di lantai basement (lantai bawah tanah). Pada diorama digambarkan perjalanan Indonesia dari bangsa tradisional hingga menjadi bangsa modern, kemudian mewujud sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Negara bangsa yang unik disebut Benedict Anderson sebagai Imagened Communities bermain di antara representasi dan partisipasi. Museum Monas penting adanya, tempat kita berkaca diri dan belajar melihat kekurangan dan kelebihan. Tak kalah pentingnya juga Sang Saka Merah Putih disimpan rapi di salah satu ruang Museum Monas itu, tentu bukan sekadar benda mati yang kelak lapuk. Tapi, sumber semangat nasionalisme yang tak henti-henti mengingatkan pentingnya persatuan Bangsa Indonesia.

Di luar, tempat kita menapak kaki pada dataran yang sama dengan berdirinya museum itu di Lapangan Merdeka, berdiri patung antara lain sosok Chairil Anwar, Husni Thamrin, Pangeran Diponegoro, berhadap-hadapan dengan Tugu Monas. Nama-nama itu telah menjelmakan diri sebagai nyala api yang menerangi bangsanya. Mereka ditinggikan dengan sebuah pedestal, agar kita dapat mendongak dengan optimis menatap masa lalu, dan menyongsong masa depan. Di depan patung para tokoh itu, mereka seperti berseru-seru: “Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai”, sebagaimana petikan dalam Karawang-Bekasi yang ditulis oleh Chairil Anwar.

***

Dari jantung ibu kota, mari kita beralih ke Jalan Sudirman, aorta yang mengalirkan lalu lintas ke seluruh jalan-jalan utama. Ia menghubungkan denyut kehidupan ke Jalan Thamrin, yang terletak di Pusat hingga menuju Kota Tua di sebelah Barat. Juga ke arah berlawanan dengan jalan utama itu yakni, Kawasan Kebayoran di Selatan, berlanjut hingga ke pinggiran sebagai kaki-kaki penopang ibu kota. Dari sepanjang jalan utama dan jalan-jalan yang terhubung dengannya, dapat dilihat dari dekat dan jauh, ruang-ruang publik dengan sejumlah patung monumen.

Hotel Indonesia adalah juga monumen, bangunan bersejarah dengan cita rasa arsitektur modern yang sedap dipandang, dan salah satu objek tertinggi di masanya. Hotel itu akan lebih menarik apabila dilihat dari dalam kendaraan dengan memutari bundaran yang ada di depannya. Di bagian luar dan dalam hotel ditampilkan karya-karya seni rupa modern. Di dinding samping pintu masuk, ada relief Harijadi S. dan patung karya Trubus. Di ruang dalam, ada lukisan Lee Man Fong dalam ukuran besar. Di Restoran atau Ruang Ramayana dibangun khusus mozaik buah tangan Gregorius Sidharta, dan relief berwarna dari Soerono.

Sebaliknya dari dalam hotel, orang dapat memandang ke luar, ke arah Patung “Selamat Datang” (1962) yang menjulang di tengah bundaran dengan air mancurnya. Tugu monumental pertama berbahan logam (perunggu) itu dibangun di era pascakemerdekaan. Tinggi sekitar 5 meter—tanpa pedestal, dibangun kurang lebih bersamaan dengan Hotel Indonesia, dan Gelora Bung Karno (GBK), gelanggang olah raga yang bentuk arsitekturnya oleh Bung Karno disebut “temu gelang”. Ketiga karya itu dibangun dalam rangka menyambut peristiwa dan pesta olah raga internasional; Asian Games IV. Oleh karena itu Patung “Selamat Datang” menggambarkan sepasang pemuda-pemudi dengan ekspresi gembira dan hangat, menyambut tamu-tamu dari Bandar Udara Internasional Kemayoran yang menginap di Hotel Indonesia, dan akan bertanding di Gelora Bung Karno.

Di saat bersamaan kita masih direpotkan oleh pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai, antara lain konfrontasi terbuka dengan Belanda yang masih menguasai Irian Barat. Perkara ini belum tuntas di meja perundingan antara Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Perebutan Irian Barat (1961-1962) dan gugurnya Komodor Yos Sudarso dalam perang itu menjadi perhatian dunia. Indonesia berduka cita atas gugurnya ksatria pemberani tersebut. Namun, sekaligus bersukacita. Sebab, Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Untuk itu Bung Karno membangun patung monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng (1963), sekaligus menandai rontoknya benteng terakhir kolonialisme Belanda di tanah air. Digambarkan sosok lelaki bertelanjang dada, seperti berteriak sekeras-kerasnya kepada dunia, membuka lebar-lebar kedua tangan dan kakinya, berdiri gagah memutus mata rantai atau belenggu yang lama mengekangnya. Karya itu dikerjakan oleh seniman yang sama dengan pembuat Patung “Selamat Datang” yaitu Edhi Sunarso. Di masa itu, hanya dia satu-satunya yang mampu memvisualkan gagasan Bung Karno dalam bentuk trimatra, berukuran raksasa, dan terbuat dari logam.

Tidak jauh dari situ atau sekitar 3,1 km dari Hotel Indonesia, terdapat Tugu Tani, (1964) demikian nama yang lebih akrab dikenal masyarakat. Padahal patung itu merujuk pidato Bung Karno pada peresmiannya 24 Juni 1964 disebut sebagai “Patung Pahlawan”. Karya bersama Matvei dan Otto Manizer, pematung dari Rusia itu menggambarkan kontras antara kerasnya perjuangan dan lembutnya kasih sayang. Kedua pematung sempat melakukan survei di kawasan Jawa Barat selama tiga bulan untuk mempelajari karakter, rupa, dan cerita perjuangan. Seperti “Selamat Datang”, patung ini mendapat posisi ruang yang sangat strategis, di mana orang dapat melihatnya dari segala arah. Kehadirannya juga menegaskan pergaulan luas Bung Karno dengan dunia seni rupa. Ia mengenal seniman mancanegara tidak hanya dari buku, tapi menemui langsung ke studionya, melihat karya-karyanya, dan berdiskusi sebagaimana kedua pematung Rusia itu.

Sekarang mari kita melipir ke kawasan Kemayoran, dulu adalah Bandar Udara Internasional, yang hanya berjarak sekitar 7,5 km dari Hotel Indonesia. Di ruang VVIP bandar udara itu terdapat tiga panel relief beton karya tiga perupa ternama: S. Sudjojono, Harijadi S., dan R.M. Soerono, dibantu oleh kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM) dari Yogyakarta. Relief-relief itu menceritakan tentang mitologi di beberapa daerah di Indonesia. Ada juga gambaran aktivitas masyarakat sehari-hari. Relief yang lain menggambarkan kekayaan flora dan fauna di tanah air. Sayangnya relief tersebut tidak lagi dapat diakses publik, sejak Bandar Udara yang pernah menjadi salah satu bagian cerita komik terkenal Tin Tin itu ditutup pada tahun 1985.

Lagi, sekitar 2,8 km dari Hotel Indonesia ada pusat perbelanjaan modern pertama Sarinah (1966) untuk mewadahi segala produk dari pelbagai daerah, agar tercipta keadilan sosial dan kesejahteraan bagi rakyat. Di sini pula, untuk pertama kali pusat perbelanjaan dalam gedung bertingkat menggunakan peralatan modern seperti eskalator. Tangga elektronik berjalan itu, memberi pengalaman baru yang mengesankan bagi masyarakat. Di Lantai Dasar, menyongsong tamu-tamu, dibentangkan sebuah relief sepanjang 15 meter, dengan ketinggian 2,9 meter. Relief itu bercerita tentang keperkasaan para nelayan, petani, dan ibu-ibu penjaja hasil bumi mereka.

Hanya dalam tempo lima tahun, di era 1960-an itu ibu kota Jakarta telah memiliki sejumlah karya monumental berupa gedung, patung, relief, mozaik, mural, dan lain sebagainya. Sampai hari ini semua masih berdiri utuh, kendati secara visual tak lagi dapat dinikmati sebagaimana kondisi awalnya. Sebab, ruang-ruang ibu kota sudah semakin ramai oleh pelbagai objek, dan mulai kehilangan titik apinya. Patung Dirgantara di kawasan Pancoran yang dikeluhkan banyak orang, karena dikepung jalan layang dan elemen rupa lainnya, atau Monas yang tak lagi bisa dilihat dengan leluasa, karena terhalang bangunan dan gedung-gedung tinggi yang terus tumbuh di sekitarnya, perlahan-lahan ikut mengerutkan makna yang terkandung di dalamnya. Setidak-tidaknya selaku simbol negara, ia telah kehilangan wibawa.

***

Awal 1970-an, modal asing mengalir deras ke Indonesia. Kecenderungan politik masa revolusi yang cenderung ke kiri dan berpihak kepada keadilan sosial masyarakat, kemudian berbelok ke kanan; kapitalisme atau mungkin neokapitalisme yang lebih dekat pada elit ekonomi tertentu. Aktivis mahasiswa memprotes pemerintahan baru yang terlalu berorientasi pada ekonomi dan ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, kebijakan pemerintah tak terhalang oleh demonstrasi dan protes itu. Dengan cepat gedung-gedung perkantoran bisnis tumbuh di Jakarta dari Pusat ke Selatan, Barat, Timur, dan Utara. Uang banyak membuat kita dapat membangun apapun. Termasuk di antaranya pembangunan karya-karya seni rupa publik. Persis di ujung Jalan Sudirman dibangun patung “Pemuda Membangun” (1971), karya Munir Pamuntjak. Patung itu seolah-olah menyambung riwayat pertumbuhan patung-patung monumen di ruang publik yang dibangun masa pemerintahan sebelumnya.

Mulai muncul pula patung-patung bergaya abstrak misalnya, “Dinamika Dalam Gerak” (1973) di kawasan Slipi karya Rita Widagdo, Patung Ikatan (1977) di kawasan Gedung DPR/MPR RI karya But Muchtar, dan Patung “Tonggak Samudra” (1980) di Tanjung Priok karya G. Sidharta. Beriringan dengan itu dibangun Monumen Proklamasi (1980) karya Nyoman Nuarta. Tujuh tahun kemudian dibangun patung Arjuna Wijaya (1987), oleh pematung yang sama. Monumen Gerakan 66 (1996) karya Dolorosa Sinaga di kawasan Rasuna Said. Pada 2003 diresmikan patung Jenderal Sudirman karya Sunaryo di tengah blok taman yang membelah Jalan Sudirman. Di luar itu karya-karya elemen estetika yang diinisiasi oleh lulusan ITB mulai mengisi interior gedung-gedung perkantoran pemerintah maupun swasta, tumbuh sebagai varian baru karya-karya di ruang publik.

Derasnya pertumbuhan di masa pembangunan ekonomi sejak 1970-an itu, di satu sisi mengembirakan karena kita dapat melihat keragaman dalam karya-karya. Namun, di sisi lain kurang memiliki narasi yang dapat memberi pengetahuan pada publik, sehingga kehadirannya seringkali tidak mendapat respons positif, apalagi pemandangan di sekitarnya cenderung kumuh tak terpelihara. Keadaan makin parah oleh tiadanya sumber daya manusia mumpuni dari pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas keberlangsungan patung-patung tersebut.

Problem lain yang dapat dicatat adalah, sikap ketidakkonsistenan para pengambil keputusan dari waktu ke waktu baik daerah maupun pusat. Sejumlah patung dan relief yang dibangun susah payah dan dengan biaya tinggi—karena kebijakan temporer, tiba-tiba harus dipindahkan. Lebih miris lagi ada karya yang dibongkar begitu saja, karena alasan ini dan itu yang sifatnya pragmatis. Problem ketidaktahuan dan ketidakpedulian berlangsung terus hingga kini, dari level bawah hingga atas. Patung dan relief yang dibongkar atau digusur itu umumnya yang dibangun setelah era 1970-an, karya-karya yang relatif lebih muda dan belum mencapai usia cagar budaya.

Publik terpelajar sudah mencoba untuk bicara, hanya saja mereka tidak didengar. Sebab suara mereka yang kritis di media massa dan ruang-ruang diskusi tidak cukup untuk menghadapi kerasnya pragmatisme di kalangan pengambil keputusan. Kasus yang sempat menarik perhatian publik terjadi pada 2005, ketika Patung Kartini yang dibangun atas sumbangan masyarakat Jepang di Jalan Taman Suropati digusur dari tempatnya dan digantikan dengan objek yang lain. Para ahli sejarah, arkeologi, dan tokoh seni rupa keberatan atas pembongkaran dan pemindahan tersebut dengan alasan bahwa objek seni di ruang publik sejak awal pembangunannya sudah mempertimbangkan secara matang segala aspek yang melingkupinya: estetika, lokasi, kesejarahan, dan lingkungannya.

Pergerakan yang serba cepat melahirkan pelbagai prasangka dan paradoks: cepat dibangun dan cepat pula dibongkar. Hal itu mengesankan sebuah pemborosan dan lemahnya manajemen serta aturan dalam tata ruang kota. Monumen bersejarah kian ditinggalkan, atau orang-orang sudah tak tahu lagi arti pentingnya. Mungkin ini isyarat bahwa, masa terang karya-karya seperti itu telah berakhir di ujung senja yang makin gelap. Tapi kita tetap optimis, terang matahari akan datang kembali. Mungkin dimulai dari terbitnya pameran ini.