Tidak semua karya patung yang berada di ruang publik bisa disebut sebagai karya patung monumen. Istilah monumen memang punya ruang pemaknaan yang khusus dan khas, termasuk juga pemakaiannya untuk menyebut karakter nilai dari objek-objek lain tertentu selain karya seni patung.
Pembicaraan mengenai perkembangan seni patung, karya monumen, serta persoalan tentang ruang publik menjadi topik yang menantang bagi diskusi Suwarno Wisetrotomo, Rizki A. Zaelani, dan Asikin Hasan. Pameran POROS, bagi ketiga kuratornya itu, menarik karena menampilkan karya-karya seni rupa yang “sering kali terlihat tapi juga jarang dilihat.” Seseorang sering kali melewati karya-karya seni patung di ruang publik tetapi juga justru, karena saking seringnya, tidak pernah sempat melihat atau memperhatikannya.
Gagasan untuk menampilkan karya-karya di ruang publik, khususnya seni patung, sekaligus membuka pokok-pokok persoalan yang menghubungkan praktik penciptaan karya seni rupa dengan persoalan perencanaan dan pemeliharaan kota. Kisah tentang beberapa kasus pembuatan patung di ruang publik menyiratkan persoalan, tentang betapa pentingnya interaksi bidang keahlian seni rupa (khususnya seni patung) dengan perencanaan dan pengembangan sebuah kota. Pengertian tentang karya patung monumen yang sering kali dikaitkan dengan persoalan sejarah dan masa lalu, pada kenyataannya justru juga melingkupi pengembangan lingkungan hidup perkotaan di masa kini dan yang akan datang. Ekspresi karya seni rupa, dalam praktiknya, terlibat dalam persoalan pembentukan dan pengembangan identitas budaya di lingkungan hidup perkotaan. Penciptaan karya seni patung di ruang publik, memang, bukan hanya soal seni rupa saja tetapi persoalan tentang narasi keberadaan ruang-ruang publik yang terus-menerus hidup, berubah, bergerak, dan mengisahkan berbagai persoalan.